"Lo belum bilang kalau gue hamil kan, Din?" tanya Andina. Saat ini mereka tengah berada di taksi. Setelah dipaksa Adinda, Andina akhirnya mau pulang ke rumah. "Sena udah bilang, Kak.""Kenapa bilang sih?" sentak Andina. "Gak... Gue nggak mau pulang. Pak, kita putar balik," ucap Andina pada sopir taksi. "Jangan, Pak. Terus jalan. Saya yang bayar bukan Kakak saya. Jadi, Bapak harus ikut kata saya," ucap Adinda. "Din, gue gak mau pulang. Papa-Mama pasti marah besar," rengek Andina. "Harus pulang, Kak. Hari ini juga lo nikah sama Wildan."Andina tampak syok. "Ha-hari ini?""Iya, Sena udah bawa Wildan ke rumah. Di sana juga ada orangtua Wildan.""Ta-tapi, gue takut diamuk habis-habisan," cicit Andina. "Enggak akan. Palingan juga dinasehati. Lo tahu sendiri Mama sama Papa sayangnya gimana ke elo."Sesampainya di kediaman keluarga Wijaya, Risma menghambur mendekap Andina. Menciumi puncak kepala Andina bertubi-tubi. Lalu, beralih mengusap perut rata Andina. Di sana terdapat janin yang a
Gabriella Larasati. Gadis yang pintar, cantik, tinggi semampai, dan juga memiliki kulit seputih salju. Siapa pria yang tidak menaruh minat kepadanya. Apalagi, karirnya sebagai model sedang berada di atas. Ella tentunya bisa mendapatkan pria tampan dan kaya manapun yang dia mau. Namun, hati Ella hanya tertaut pada mantan kekasihnya. Tujuan Ella kembali ke Indonesia juga karena mantan kekasihnya itu. Ella ingin memperbaiki hubungan yang sempat retak. Dari bandara, Ella menuju kampus mantan kekasihnya. Sengaja Ella tidak pulang ke rumah terlebih dahulu. Ya, karena tujuannya pulang hanya untuk bertemu sang mantan, apalagi. Menggigit bibirnya kesal, bosan dirasakan Ella. Gadis cantik itu sudah dua jam menunggu kehadiran mantan kekasihnya, tapi sayang sekali yang dicarinya sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.Memutar otak, kembali berpikir. "Astaga... Kenapa baru kepikiran sih," ucap Ella. Masuk ke dalam mobil, menyuruh sang sopir melajukan kendaraan pada alamat yang dituju.T
Tok... Tok... Tok"Bukain gih pintunya! Mantan lo pasti balik lagi tuh," perintah Adinda."Males ah. Lo aja sono yang bukain," tolak Sena. Adinda mencebikkan bibirnya. "Dih..."Pintu kembali diketuk dengan tidak sabaran. Tok... Tok... Tok"Iya sebentar," sahut Adinda."Biar Mama yang buka pintunya, takutnya si Ella itu datang lagi," ucap Indah saat berpapasan dengan Adinda di ruang tengah. "Nggak usah, Ma. Mama istirahat aja ya," tolak Adinda. "Hmm... Yasudah, Mama kembali lagi ke kamar."Ceklek! Geng Andromeda berdiri di depan pintu. Memandang Adinda dan mengulum senyum canggung. "Oh kalian," ucap Adinda bernada malas. "Hai musuh kami... Lama tidak berjumpa. Eh, sekalinya berjumpa sudah menjadi Nyonya dari ketua geng Andromeda," ucap Aldo tidak tahan ingin mengeluarkan godaannya."Buruan ngomong ada perlu apa atau pintunya gue tutup nih," ketus Adinda. "Jangan galak-galak dong cantik," ucap Bima ikutan menggoda Adinda. Adinda dibuat kesal dengan dua teman Sena ini. Hendak men
Usai sudah jam mata kuliah yang terasa amat membosankan hingga membuat Sena menguap berulang kali. Mengemasi buku dan alat tulis, memasukkan ke dalam ransel, Sena keluar kelas terlebih dahulu. Hawa di luar kelas lebih terasa menyejukkan ketimbang di dalam kelas. Aldo ikut menyusul Sena ke luar. "Buru-buru amat sih?""Bosen gue dengerin ocehan itu orang," ucap Sena. "Heh, sopan! Begitu dia juga dosen lo.""Hmm..." gumam Sena. "Eh tungguin!" ucap Arfan setengah berlari mengejar Sena dan Aldo. "Rizal sama Bima ngapain masih di dalam sih?" tanya Sena. "Biasalah. Mereka berdua kan kalau ada tugas langsung di kerjain di tempat," ucap Arfan. "Oh ya, Sen. Kita jadi nyerang geng Roxy kan?" tanya Aldo. "Iya, jadi. Entaran ya. Pengen makan dulu gue laper," ucap Sena. Setelah mengisi energi dengan makan siang, geng Andromeda siap baku hantam dengan geng Roxy. Memasuki halaman basecamp geng Roxy yang terlihat lenggang, geng Andromeda menunggu di depan camp itu. Tidak mau langsung asal masu
"Din, antar pesanan ke alamat ini ya!" ucap Ara."Oke, siap."Melepaskan apron, Adinda mengambil box berisi pesanan pembeli. Adinda paling senang saat disuruh mengantar pesanan seperti ini. Hitung-hitung bekerja sekalian motoran keliling kota. Sepanjang jalan, Adinda terus melantunkan lagu-lagu yang membuat hatinya kian membuncah. Hingga tidak terasa, dua puluh menit sudah dilaluinya. Memasuki perumahan elit, Adinda diperiksa oleh bagian keamanan terlebih dahulu. Setelah dipastikan aman, Adinda boleh masuk ke dalam kompleks. Berhenti tepat di rumah mewah berwarna putih, Adinda kembali memeriksa alamat yang dituju. Oh, rupanya sudah benar. "Permisi, Pak. Saya mau antar makanan dan minuman," ucap Adinda pada satpam yang berjaga di depan rumah. "Baik, Mbak. Saya terima ya. Terima kasih."Adinda belum sempat pergi dari rumah itu. Sekian detik berikutnya pemilik rumah keluar dan memanggilnya. "Eh tunggu, Mbak!""Iya, Kak. Ada apa ya?" tanya Adinda. "Pesanan Kakak sudah saya titipkan
"Hallo, Sena...""Ya, Ma?" tanya Sena pada mamanya. "Besok hari Sabtu keluarga Wijaya dan keluarga Gunandar mau liburan ke puncak. Kamu sama Dinda bisa ikut kan?" "Bisa, Ma, tapi kalau tunggu Dinda pulang kerja dulu gimana?""Yaudah gini aja, besok kita berangkat dulu. Kalian nyusul aja ya," usul Indah. "Oke, Ma."Mengulum senyum semringah. Siapa sih yang tidak suka diajak liburan? Jelas Sena mau. Sudah lama juga Sena jarang pergi bersama keluarganya. Menghampiri Adinda, Sena menyampaikan kabar bahagia. Ah, Sena tidak sabar. Adinda pasti juga akan senang bila diajak berlibur dengannya. "Besok sabtu kita ke puncak," bisik Sena tepat di belakang Adinda. "Ih, Sena... Gue pikir siapa.""Gimana, mau kan?""Tumben lo ngajakin gue liburan. Lagi kesambet ya?" selidik Adinda. "Enak aja. Itu, Mama yang ajak.""Oh..." Adinda hanya ber oh ria."Lo bisa kan?" tanya Sena. "Bisa.""Entar gue antar lo ke tempat kerja ya? Pulangnya kita bisa langsung nyusul ke villa.""Hm..."***Udara dingin k
Semenjak menikah dengan Andina, Wildan masih menjalin kasih dengan Renita-kekasihnya. Wildan tidak bisa meninggalkan wanita itu begitu saja hanya karena menikah dengan Andina. Wildan merasa lebih cinta untuk Renita lebih besar daripada untuk Andina. Bagi Renita sendiri, tidak masalah menjalin hubungan dengan suami orang. Ya, cinta terlalu membutakan arah, membuat yang tidak benar dibenar-benarkan. Wildan mencuri-curi kesempatan untuk menghubungi Renita. Cukup lama keduanya saling bersua melalui via telepon, membuat rasa rindunya sedikit terobati. "Sayang, besok kamu ke kosan aku ya. Kangen..." ucap Renita manja. "Aku usahakan ya," jawab Wildan seadanya.Mendengar suara hentakan kaki, Wildan buru-buru mengakhiri sesi obrolan mereka. "Udah dulu ya, Sayang. Dina kayaknya mau ke sini. Bye, Yang.""Sayang... Ishhh. Malah dimatiin," gerutu Renita. "Barusan aku kaya dengar kamu lagi ngomong deh, Wil," ucap Andina.Wildan tersentak. Takut Andina mengetahui hubungannya dengan Renita. Yang
Andina telah diperiksa dokter dan dinyatakan hanya mengalami keram saja. Semua orang yang ada di sana berangsur meninggalkan kamar Andina. Ibu hamil itu harus istirahat agar kondisinya kembali membaik. Sena dan Adinda juga masuk ke dalam kamar mereka. Berdiri di depan almari, Sena mengemasi baju yang semalam telah ditata. Memasukkannya kembali ke dalam tas ransel. "Buruan kemasin bajunya. Gue tunggu lima menit." ucap Sena dingin. Adinda melongo, "hah?""Emangnya kita mau ke mana? Mau pulang sekarang, iya?""Cepetan kemasin bajunya, Dinda! Nggak usah banyak tanya bisa nggak?" ketus Sena. "Iya... Iya..." sunggut Adinda sebal. Liburan yang diharapkan bisa menambah keharmonisan serta mempererat hubungan kekeluargaan justru menimbulkan masalah dan kekacauan. Daripada tetap berada di villa dan menimbulkan masalah baru, lebih baik Sena dan Adinda yang mengalah pergi."Loh... loh... kalian mau ke mana?" tanya Indah. Heran mendapati anak-menantunya membawa ransel. "Semuanya... Sena sama D