Home / Romansa / Bukan Sopir Biasa / 3. Target Menikah

Share

3. Target Menikah

Author: Yetti S
last update Last Updated: 2024-07-25 17:44:47

“Iya, cepat naik! Bisa kan naik motorku ini? Atau perlu aku bantu naiknya?” ucap Bagas, yang membuat kedua bola mata Armila membelalak.

“Eh, nggak usah! Aku bisa naik kok ke atas motor kamu ini, Mas. Lagiannya ngojek kok pakai motor beginian. Bikin repot penumpang saja. Untung aku hari ini nggak pakai rok,” sahut Armila dengan gelengan kepalanya. Dia lalu dengan hati-hati mulai menaiki motor Kawasaki Ninja milik Bagas.

Bagas hanya tertawa mendengar ucapan Armila barusan.

“Sudah siap?” tanya Bagas memastikan.

“Sudah.” Armila berkata sambil mengacungkan ibu jarinya, setelah selesai mengenakan helm.

“Biar nggak terlambat sampai di kantor, aku mau ngebut sedikit ini ya. Jadi pegangan yang kencang supaya nggak jatuh!” ucap Bagas, yang diangguki oleh Armila. Pria itu tersenyum kala melihat anggukan kepala gadis itu dari kaca spion motor.

Entah mereka sadar atau tidak, karena pagi ini ada yang berubah dari sebutan yang mereka ucapkan. Kalau semalam mereka menyebut dengan kata saya, kini berubah menjadi aku.

Dalam hitungan detik, motor Bagas melaju meninggalkan area rumah orang tua Armila. Melewati mobil yang dikemudikan oleh Arman, sang duda yang diminta oleh ibunda Armila untuk menjemput anak sulungnya itu.

“Itu kayak si Armila? Bagaimana sih ini? Tadi mamanya minta aku jemput dia. Tapi, kenapa sekarang malah naik ojek itu si Armila?” gumam Arman dengan wajah masam.

Sementara itu, motor Kawasaki Ninja milik Bagas kini sudah meliuk-liuk di sela mobil yang mulai memadati jalan raya. Setelah melewati beberapa mobil dan ada sela untuk melaju cukup kencang, Bagas lalu menaikkan kecepatan laju motornya, hingga tanpa sadar Armila memeluk pinggang pria itu. Agar tak terjatuh dari atas motor.

Jantung Bagas bertalu-talu kala kedua lengan Armila memeluk dengan erat pinggangnya. Tiba-tiba saja ada gelenyar aneh yang dia rasakan, diam-diam menyusup di relung hatinya.

‘Edan tenan, kenapa jadi kayak begini sih? Bikin nggak fokus nyetir saja ini. Tapi, aku kan yang tadi suruh dia pegangan kencang. Nggak sangka kalau dia akan pegangan pinggangku. Aku nggak masalah memang, tapi kok jadi grogi begini ya,’ ucap Bagas dalam hati.

Sementara itu Armila yang masih memegang erat pinggang Bagas, kini memejamkan matanya karena takut kalau terjatuh.

‘Gile juga ini cowok. Ngebut banget ini. Kayak lagi balapan motor saja. Jantung rasanya sampai mau copot saking takut,’ ucap Armila dalam hati.

Akhirnya setelah melaju cukup kencang di jalan raya, Bagas menghentikan motornya di depan gedung perkantoran, di mana kantor tempat Armila bekerja berada.

“Makasih ya, Mas.” Armila berkata sambil menyerahkan helm pada Bagas.

Armila berdiri dengan tubuh yang lemas. Tangannya pun gemetaran kala meraih dompet dari dalam tas. Hal itu terlihat jelas oleh Bagas.

“Simpan saja uang kamu, Armi. Kamu belum ambil uang kan? Itu untuk makan siang kamu saja nanti,” ucap Bagas dengan senyuman, yang tanpa sadar hanya memanggil gadis itu dengan namanya saja. Tanpa embel-embel Mbak seperti tadi malam.

“Lho, kok gratisan lagi sih, Mas? Aku jadi nggak enak ini,” ucap Armila dengan hembusan napas kasar.

“Nggak apa-apa.”

“Lagiannya kok jadi beralih ke ojek sih? Tadi malam kan narik taksi,” celetuk Armila dengan mata yang memicing, dan memperhatikan Bagas dengan seksama.

“Namanya juga cari uang. Ya, dari berbagai macam jenis lah. Kalau pagi sampai siang, aku jadi tukang ojek online. Kalau siang sampai malam, aku jadi sopir taksi online,” jelas Bagas dengan senyuman.

‘Memang bisa begitu, ya?’ ucap Armila dalam hati.

“Terserah deh mau gimana. Tapi, kamu terima aja ini uangku. Kembali dua puluh lima ribu. Itu masih cukup untuk makan siang nanti, sebelum aku ambil uang di atm,” ucap Armila dengan terus menyodorkan uang ke arah Bagas.

“Nggak ada kembaliannya. Sudah, nggak apa sih gratis juga. Jangan menolak rezeki, nggak baik,” sahut Bagas kalem.

Armila menghela napas panjang dan melirik ke jam tangannya. Waktu tinggal sepuluh menit lagi sebelum dia terlambat tiba di kantor.

“Ya sudah lah kalau begitu. Makasih ya, bye.”

Armila lalu melambaikan tangannya pada Bagas, lalu berjalan cepat memasuki gedung perkantoran itu.

Bagas lalu memutar motornya dengan senyum yang masih mengembang di bibir. Tapi senyum itu seketika sirna dari bibirnya, ketika sebuah mobil mewah keluaran salah satu negara Eropa, dengan plat nomor yang sangat dia kenal, tengah melintas di sebelahnya. Wajah Bagas seketika menegang dan kedua tangannya terkepal erat.

***

Armila baru saja menghempaskan bobot tubuhnya di kursi, ketika ponselnya berdering. Dia menghela napas panjang ketika melihat nama sang mama terpampang di layar ponselnya.

“Mama ngapain sih telepon aku? Mau ngomel? Ck, malas amat aku angkat teleponnya. Paling nanti ujung-ujungnya aku dimarahi,” gumam Armila seorang diri.

Ponsel Armila terus berdering, sehingga rekan kerjanya merasa terusik.

“Mil, angkat sih itu teleponnya. Berisik tau, Mil,” celetuk Rita.

“Ini mama gue yang telepon. Pasti mau ngomel, Rit. Mau gue matiin ini teleponnya, takut kualat gue,” sahut Armila dengan mengedikkan kedua bahunya.

“Kalau takut kualat, ya diangkat dong. Kalau dimarahi, dengerin saja. Masuk kuping kiri, keluar kuping di kuping kanan. Beres deh itu,” sahut Rita kalem.

Akhirnya, Armila menerima juga panggilan telepon dari sang mama.

“Halo, Ma.”

“Halo, Mil. Kamu ini bikin malu Mama saja. Kamu beneran naik ojek tadi rupanya. Kamu nggak dengerin omongan Mama tadi, hah! Si Arman padahal sudah sampai, tapi kamu malah milih naik ojek. Pokoknya Mama nggak mau tahu. Nanti pulang kerja, kamu harus mau dijemput sama Arman. Mama mau kamu sama dia melakukan pendekatan. Ingat umur sih, Mila! Ada dong target untuk menikah. Jangan santai begitu!” ucap Astuti di seberang sana dengan nada suara tinggi, sehingga membuat Armila berjalan cepat menuju ke toilet. Agar Rita yang duduk di sebelahnya, tak mendengar ocehan sang mama.

“Mama ini bagaimana sih? Aku ini nggak mau pendekatan sama Om Arman, Ma. Dia itu sudah om-om. Masak aku nikah sama lelaki yang umurnya nyaris sama dengan umur Mama,” sahut Armila sambil berdecak sebal, ketika dirinya sudah berada di salah satu bilik toilet.

“Ya habisnya, kelamaan nunggu kamu bawa pacar ke rumah. Sebentar lagi umur kamu tiga puluh tahun, Mil,” pekik Astuti di seberang sana, yang sepertinya sangat kesal pada anak sulungnya itu.

Armila mendengus kesal. Dia memijat pelipisnya sambil mencoba berpikir, apa kiranya yang bisa mematahkan niat mamanya perihal perjodohan itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya.

“Sebenarnya...aku sudah punya pacar, Ma,” sahut Armila ragu-ragu.

“Eh, sudah punya pacar? Kenapa nggak dibawa ke rumah, lalu dikenalkan pada Mama dan papa? Biar Mama bisa menilai pacar kamu itu, Mil. Coba kalau memang benar kamu sudah punya pacar, bawa ke rumah malam ini. Kalau nggak dibawa ke rumah, itu artinya kamu bohong,” ucap Astuti di seberang sana.

“I-iya, aku akan ajak dia ke rumah malam ini,” sahut Armila gugup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 61

    “Bagaimana hasil tes nya, Yah? Apa benar anak yang dilahirkan Santi adalah anaknya Bara?” tanya Bagas setelah Haryo tiba di rumah.Haryo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Entah anak siapa itu? Tapi, Ayah sudah kasih kompensasi kok sama dia sebesar lima milyar. Setelah itu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”“Syukurlah kalau ternyata anak itu bukan anaknya Bara,” timpal Armila, yang membuat semua yang ada di ruangan itu mengalihkan tatapan padanya.“Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bagas dengan kening berkerut.“Ya...dia kan jadi nggak ada akses untuk datang dan masuk ke keluarga besar kamu, Mas. Aku melihat adanya ancaman kalau dia bisa masuk ke dalam keluarga ini,” sahut Armila kalem.“Tenang, Armila. Bunda nggak akan berdiam diri kalau itu terjadi. Cukup satu orang saja yang pernah menjadi duri di keluarga ini. Bunda nggak akan membiarkan duri lain melukai hati menantu Bunda.” Hesti berkata sambil menepuk pelan pundak Armila, berusaha menenangkan hati menant

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 60

    Beberapa menit kemudian, Haryo dan Bayu sudah tiba di depan laboratorium. Di sana juga sudah hadir Santi, yang kali ini ditemani oleh ibunya. Tak lama, petugas laboratorium memanggil nama Haryo dan menyerahkan hasil tes DNA.Haryo lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan loket penerimaan hasil tes. Jemari Haryo dengan cepat merobek amplop tersebut, untuk segera tahu hasilnya.Sementara itu, Santi tampak agak cemas menunggu Haryo mengeluarkan kertas tersebut.‘Semoga bayiku memang benar anaknya Bara. Supaya masa depannya terjamin. Tentu akan bangga kalau menjadi bagian dari keluarga itu,’ ucap Santi dalam hati.Jantung Santi kini berdegup kencang kala Haryo mulai membuka lipatan kertas hasil tes DNA. Dia menahan napas kala melihat Haryo menghela napas panjang. Santi dengan sabar menunggu Haryo berkata sesuatu padanya. Tapi hingga lima menit berlalu, Haryo masih bungkam. Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.“Bagaimana hasilnya, Om?” tanya Santi yang mulai tak sabar

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 59

    Haryo terdiam. Dia bingung harus menjawabnya, karena hatinya masih meragu. Namun, tatapan Santi yang terus ke arahnya, mau tak mau Haryo berucap juga.“Baiklah, nanti saya akan beri nama kalau sudah tahu hasil tes DNA. Sekarang Bayu sedang mengurus administrasinya, agar saya dan anak kamu bisa melakukan tes DNA, Santi,” sahut Haryo, yang membuat Santi menghela napas panjang.Beberapa menit kemudian, Bayu pun tiba di ruangan itu. Dia lalu meminta Haryo dan bayinya Santi untuk ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA.Akhirnya, mereka pun bergegas ke laboratorium.Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah keluarga Bagas. Tampak di rumah itu kedatangan seorang wanita pemilik event organizer, yang sekaligus sahabat dari Hesti. Wanita itu diminta Hesti datang, untuk membicarakan acara tujuh bulanan Armila.“Wah, cucu kamu sudah mau tambah satu lagi. Selamat ya, Hes. Kebetulan juga kesehatan kamu sudah semakin membaik sekarang,” ucap Indah-sahabat Hesti.“Iya, alhamdulillah. Oh ya, na

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 58

    “Mas, kita pulang sekarang, yuk! Aku capek, mau istirahat,” ajak Armila, yang langsung diangguki oleh sang suami.“Ayo, Dek!” sahut Bagas. Dia lalu menoleh pada Santi yang masih cemberut. “San, aku duluan. Semoga operasi caesar nya nanti berjalan lancar. Nanti aku kasih tahu ayah kalau kamu sudah mau lahiran. Biar ayah mengatur waktunya untuk tes DNA.”Santi mengangguk lemah secara berkata, “Iya, dan terima kasih atas doanya. Oh ya, kasih tahu istri kamu tuh. Jangan ketus-ketus jadi orang.”Bagas hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang Santi lontarkan. Di saat yang sama, Armila hanya tersenyum mendengar kata-kata Santi barusan.“Istriku aslinya nggak ketus kok, San. Dia baik hati orangnya. Makanya aku jatuh cinta sama dia. Selain cantik, dia juga baik. Mungkin tadi itu karena dia capek saja. Maklum saja namanya juga ibu hamil,” sahut Bagas ramah. Dia lalu menggandeng tangan Armila seraya berkata pada sang istri, “Yuk, kita pulang sekarang!”Armila mengangguk dan mengeratka

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 57

    Bagas yang gemas pada sikap sang istri, lantas mendekatinya. “Apa sih yang kamu lihat di situ, Dek? Kayaknya asyik banget sampai nggak mau menoleh ke arah Mas.”“Ini lho, Mas. Aku sedang cari nama bayi perempuan dan bayi lelaki. Soalnya kan anak kita belum ketahuan jenis kelaminnya. Jadi harus siapin dua nama dong.”“Terus sudah dapat?” tanya Bagas kalem.“Belum. Pusing aku jadinya, Mas. Nama-namanya pada bagus semua. Bingung pilih yang mana.”“Sudah, nggak usah bingung. Mas sudah siapin kok nama untuk anak kita nanti. Sekarang kita berangkat saja ke rumah sakit, yuk! Semoga saja USG kali ini bisa kelihatan jenis kelamin anak kita,” sahut Bagas. Dia lalu merangkul pundak Armila dan mengecup kening wanitanya itu.“Siapa namanya, Mas? Jadi penasaran aku.”“Ada saja. Nanti juga kamu akan tahu, Dek.” Bagas senyum-senyum sambil menggandeng tangan Armila keluar kamar.“Ish, kok main rahasia begitu sama istrinya. Siapa namanya, Mas? Kasih tahu dong ke aku sekarang. Kepo kan aku jadinya,” cel

  • Bukan Sopir Biasa   Bab. 56

    “Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status