Malam itu Emily tidur bersama Inung di kamar Abian. Sedangkan Abian tidur di kamar sebelah yang biasanya kosong. Laki-laki itu mengalah. Dia memberikan Emily kamar yang lebih nyaman untuk ditempati. Dan lagi tempat tidur yang ada di kamar Abian itu besar. Bisa ditempati berdua dengan Inung. Sedangkan di kamar sebelah yang kosong, tempat tidurnya berukuran kecil. Tak kan mungkin ditempati berdua. Biarlah, tak apa. Toh cuma satu malam saja. Besok pagi Emily sudah akan kembali ke rumahnya.
Kembali ke rumah? Benarkah? Rasanya Emily masih berpikir dua kali untuk pulang. Karena malam ini saja dia tak dapat tidur sedikit pun. Rasa sakit hati dan kecewa membuatnya terjaga sepanjang malam. Tiap kali matanya terpejam, bayang-bayang pengkhianatan Sandra dan Tomy pasti akan jelas terlihat. Dan Emily akan kembali merasakan sakit dan perih pada hatinya.
Sudah tahu sakit, kenapa terus dibayangkan? Ya, kenapa terus dibayangkan? Mungkin karena Emily tak bisa untuk melupakan. Mungkin karena rasanya terlalu sakit. Atau mungkin karena Emily senang menyiksa dirinya sendiri dengan rasa sakit itu.
Emily kembali menangis. Dia terisak pelan. Hatinya serasa diremas.
Sedang apakah mereka sekarang? Sedang menikmati malam pertama yang indah, atau sedang merasa bersalah atas kepergianku ini? Tapi..., sudahkah mereka menyadari kalau aku tak lagi berada di sana? Atau mungkin mereka terlalu bahagia sampai-sampai tak menyadarinya?
Jika mereka menyadarinya, atau bahkan jika mereka merasa bersalah, akankah sakit hati ini berkurang? Rasanya tidak! Mereka telah membuat duniaku hancur! Langitku gelap hingga langkahku hilang arah. Pantaskah jika aku membenci?
Kakak dan kekasihku, mestinya mereka bisa jadi orang yang selalu menjaga hatiku. Orang yang bisa ku percaya dan ku andalkan. Tapi kenapa justru mereka yang mengkhianati dan melukaiku? Kini mereka membangun rumah tangga di atas lukaku. Sungguh aku tak percaya mereka sanggup melakukan itu.
Air mata Emily pun semakin deras. Isak tangisnya semakin keras hingga membangunkan Inung dari tidurnya. Perempuan muda yang sejak semula telah tahu jika Emily sedang dirundung masalah itu pun kini menatap Emily dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.
Masalah apa yang sedang dihadapi gadis cantik ini? Dia terlihat begitu sedih, hati Inung berbisik.
"Kok, menangis? Ada apa?" tanya Inung dengan suara yang lembut.
Emily menoleh sedikit terkejut. Dia baru menyadari kalau tangisannya telah membangunkan Inung dari tidurnya.
"Maaf saya udah mengganggu tidur Mbak Inung," kata Emily merasa tak enak. Dia pun cepat menghapus air matanya dengan jemari tangannya.
"Ada masalah apa? Kenapa menangis?" tanya Inung lagi.
Emily menggeleng pelan.
"Mungkin saya emang nggak bisa bantu kamu untuk menyelesaikan masalah kamu itu. Tapi biasanya, dengan kita bercerita, itu bisa sedikit meringankan beban di hati," kata Inung masih dengan suara yang lembut.
Emily pun berpikir bimbang. Haruskah dia bercerita? Tapi kata-kata Inung itu memang benar. Jika kita bercerita dan mencurahkan isi hati pada seseorang, biasanya beban di hati memang akan sedikit berkurang. Dan di menit berikutnya Emily pun mulai bercerita, membagi kisahnya dengan Inung.
***
Sementara itu di rumah orangtua Emily, suasana menjadi panik ketika mereka menyadari kalau Emily tak ada dimana-mana. Emily tak ada di kamarnya, juga di semua ruangan di rumah itu.
Monik orang pertama yang menyadari kalau Emily tak ada dimana-mana malam itu. Ketika dia mulai cemas menunggu Emily yang tak juga datang menemuinya di halaman samping, Monik pun menyusul Emily ke kamarnya. Tapi dia tak menemukan Emily di sana. Monik segera menelepon Emily untuk menanyakan ada dimanakah sahabatnya itu sekarang. Tapi ternyata Monik mendapati hp Emily yang berdering di atas meja rias di kamarnya.
Akhirnya Monik mencari Emily ke ruangan lain di rumah itu. Dia juga mencari sahabatnya itu di antara para tamu. Tapi Emily tak ada. Dan hingga malam larut dan para tamu undangan sudah pulang, Monik belum juga menemukan Emily. Hingga mulai muncul pikiran-pikiran buruk di kepala Monik terhadap sahabatnya itu.
Dimanakah Emily?
Tadi setelah lelah mencari, Monik duduk diam menunggu. Mungkin Emily sebentar lagi akan datang menemuinya. Mungkin Emily hanya keluar sebentar, tidak lama, karena tadi Monik melihat ada dompet Emily tergeletak di samping hpnya di atas meja riasnya. Jadi itu berarti Emily tidak mungkin pergi jauh. Tapi nyatanya sampai pesta itu sepi, Emily belum juga kelihatan batang hidungnya.
Monik yang ditemani oleh Edo itu pun akhirnya menemui ibunda Emily untuk menanyakan keberadaan sahabatnya yang sedang patah hati itu. Tapi rupanya ibunda Emily pun tak mengetahui dimana putrinya itu berada.
"Saya sudah mencari Emily, tapi Emily nggak ada, tante," ucap Monik di ujung ceritanya.
"Emily tidak ada?" tanya ibunda Emily terkejut.
"Rasanya nggak mungkin Emily pergi jauh tanpa membawa dompetnya. Mobilnya pun ada di garasi. Tapi dia nggak ada dimana-mana sampai sekarang."
"Biar tante telepon dia," kata ibunda Emily mulai cemas.
"Hpnya ada di kamarnya, tante. Emily juga nggak bawa hpnya," sahut Monik segera.
"Kalau begitu Emily pasti ada di sekitar sini. Dia tidak mungkin pergi jauh tanpa mobilnya, dompetnya juga hpnya," kata Ibunda Emily berharap.
Mereka pun mencari. Bahkan Edo dan ayah Emily sampai berkeliling dengan mobil ke sekitar. Tapi Emily tak juga ditemukan. Hingga saat menjelang tengah malam pencarian mereka tak membuahkan hasil, mereka pun menjadi panik.
Dimanakah Emily?
Emily tak ada. Tapi mobil, dompet dan hpnya ada. Lantas kemanakah dia? Jika kabur, kenapa tanpa membawa satu pun barang miliknya? Kemana Emily pergi hanya dengan membawa baju di badan? Ini aneh! Benar-benar aneh!
Ibunda Emily menangis. Begitu pun Sandra dan juga Monik. Kemana Emily pergi? Adakah seseorang yang membawanya? Tapi siapa? Jika pun ada yang mengajaknya pergi, setidaknya Emily pasti akan membawa dompet dan hpnya. Tak mungkin dia tinggalkan di kamarnya. Oh, rasa cemas menciptakan pikiran-pikiran buruk di kepala mereka.
Hingga hampir pagi mereka terus mencari. Tapi Emily seperti menghilang ditelan bumi. Semua teman Emily sudah dihubungi, tapi jawaban mereka semua sama. Mereka tak tahu tentang keberadaan Emily sekarang.
Emily hilang! Kabur? Diculik? Dia hilang tanpa jejak. Kemanakah dia? Mereka semua tahu, Emily sedang terluka. Apakah dia melakukan sesuatu yang mencelakai dirinya?
Tidak! Semoga Emily tidak melakukan hal senekat itu! Emily gadis yang pintar. Dia pasti bisa berpikir dengan baik dan tak mungkin mencelakai dirinya sendiri, harap mereka dalam hati. Tapi tentu saja menghibur hati tak menghapus rasa cemas sama sekali. Seiring berjalannya waktu, rasa cemas itu malah semakin padat memenuhi rongga dada dan membuat mereka kian dilanda gelisah.
Tanpa mengucap, mereka semua menyesali pengkhianatan yang dilakukan Sandra dan Tomy. Pasti itu yang menyebabkan Emily menghilang seperti ini. Sedangkan mereka semua tahu jika dunia luar adalah belantara bagi gadis manja seperti Emily. Apa yang bisa Emily lakukan di luar sana untuk bisa bertahan hidup? Dan bagaimana jika dia bertemu dengan orang yang jahat? Ah, mereka pun semakin panik!
Dimanakah Emily?
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer