Share

Tak Ingin Pulang

Malam kian larut. Emily tak tahu sudah berapa lama dia berjalan. Yang dia tahu kakinya terasa sakit sekarang. Rasanya seperti tak bisa dipakai untuk menopang tubuhnya lagi. Dengan segera Emily mencari tempat untuk duduk. Dia memandang sekeliling dengan perasaan bingung dan takut.

Emily melihat kalau dia berada di tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Saat ini dia berada di sebuah jalan raya yang tidak terlalu besar. Jalan itu ramai dilalui kendaraan bermotor. Tapi di kanan dan kiri jalanan itu tampak berjejer rumah-rumah dan juga toko-toko. Emily tahu jika dia tidak mungkin terlalu jauh dari rumahnya. Tapi dia tak mengenali tempat ini karena memang rasanya belum pernah dia lewati sebelumnya.

Aku masih bisa kembali pulang. Ini pasti belum terlalu jauh dari rumah papa. Tapi..., aduh, kakiku sakit! Dan lagi rasanya aku memang tidak ingin pulang. Aku tidak mau melihat Sandra dan Tomy! 

Emily pun melihat ada sebuah bangku kayu di depan sebuah toko yang tutup. Dengan menahan rasa sakit di kedua kakinya, dia tertatih berjalan menghampiri bangku kayu itu. Rupanya tadi dia berjalan sambil melamun hingga tak menyadari kalau kedua kakinya telah dia pakai berjalan lebih lama dari yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Pantas saja sekarang kedua kakinya itu terasa mau copot.

Emily duduk di sana sambil meringis merasakan sakit pada kakinya. Oh, kenapa aku harus berada di tempat ini sekarang? Sementara Sandra dan Tomy sedang berbahagia di rumah papa dan menikmati malam pertama mereka sebagai pengantin baru.

Sekarang aku harus apa? Aku tak tahu harus kemana. Dan lagi kakiku sakit. Aku tak kan sanggup lagi untuk berjalan jauh. 

Seketika Emily menyadari kalau dia tidak membawa ponselnya dan tidak membawa sepeser pun uang untuk sekadar membeli makanan dan minuman. Emily benar-benar bingung. Tak ada yang bisa dia hubungi untuk dimintai pertolongan. Dia sendirian sekarang, dengan kaki yang sakit dan tanpa uang.

Emily pun mulai diserang oleh rasa haus dan lapar. Dia baru ingat kalau dia memang belum makan apa-apa sejak pagi. Tapi dia tidak punya uang. Bagaimana caranya dia membeli makanan?

Bagaimana ini? Kakiku sakit, perutku lapar, rasanya aku tak kuat untuk berdiri.

Berbagai macam perasaan pun berkecamuk di dadanya. Dia merasa sedih, kecewa dan marah! Juga merasa bodoh karena telah berada di tempat ini sekarang. Hari ini benar-benar sial! 

Emily meremas perutnya yang terasa perih karena kosong. Emily butuh makanan. Tak perlu sepiring nasi. Sepotong roti pun cukuplah untuk mengusir rasa lapar ini. Roti? Huf! Indera penciuman Emily tersentuh oleh aroma harum roti dari sebuah toko roti yang tak jauh dari tempatnya duduk. Emily pun menoleh ke arah toko roti itu. Duh, alangkah menyiksanya harum makanan saat perut sedang kelaparan seperti ini. Emily tak tahan. Dia ingin mencicipi, sedikit saja pun tak apa. Tapi itu tidak mungkin. Apakah dia harus meminta?

Emily terus duduk di sana. Menyiksa dirinya dengan aroma roti dan kue yang tak henti menyentuh penciumannya, sambil terus merasakan kakinya yang berdenyut sakit. Tak ada yang bisa dia lakukan selain membiarkan malam yang semakin jatuh, hingga keadaan di sekelilingnya pun perlahan semakin sepi, tak lagi seramai tadi.

Rasa panik dan takut pun menyerang Emily. Dia tahu jika sebentar lagi pasti akan sepi. Aktivitas orang-orang itu akan berakhir dan toko-toko itu pun akan tutup. Lalu bagaimana dengan dirinya? 

Emily terisak pelan. Apakah yang akan terjadi dengan dirinya malam ini? Oh, Emily takut! Benar-benar takut!

Emily terus menangis sampai sebuah suara terdengar menyapanya. Dengan tersentak kaget Emily menoleh. Dan dia mendapati seorang laki-laki berdiri di dekatnya. Laki-laki itu memandangnya bingung sementara Emily balas memandangnya dengan perasaan takut.

Siapa dia? Kenapa tiba-tiba saja dia sudah berada di sini? Emily tak melihat kedatangannya tadi. Apakah dia orang jahat? Wajahnya tampak galak. Tapi dia terlihat rapi dan bersih. Dari penampilannya, dia tidak terlihat seperti penjahat.

"Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu menangis seperti ini?" tanya laki-laki itu. Suaranya terdengar baik dan tak menyeramkan.

Emily tak menjawab. Dia terus memperhatikan laki-laki itu dengan perasaan takut dan bingung.

"Saya perhatikan sejak tadi kamu duduk di sini seperti orang bingung. Dan sekarang kamu menangis. Ada apa? Kamu kesasar atau dijahati orang? Saya baru sekali ini melihat kamu," kata laki-laki itu lagi.

"Mas memperhatikan saya?" tanya Emily takut.

"Ya. Saya memperhatikan karena kamu sudah lama duduk di sini seperti orang bingung. Saya pikir kamu habis dijahati orang," kata laki-laki itu lagi.

Emily menggeleng. Dia masih terus waspada.

"Sebaiknya kamu cepat pulang. Sebentar lagi semua toko tutup dan akan sepi. Bahaya kalau kamu terus berada di sini," nasihat laki-laki itu.

Emily tahu memang berbahaya untuk tetap berada di sini saat keadaan sekeliling sudah sepi. Tapi kakinya tak kuat lagi untuk berjalan jauh dan perutnya pun semakin melilit karena lapar. Emily pun menoleh lagi pada toko roti yang masih buka itu. Dia sungguh-sungguh merasa lemas karena rasa lapar yang menggila.

"Sebaiknya kamu pulang sekarang. Mumpung belum terlalu malam," kata laki-laki itu lagi.

Emily pun kembali menggeleng. "Saya lapar," ucapnya pelan. 

"Lapar? Kamu mau makan?" tanya laki-laki itu.

"Saya nggak punya uang," sahut Emily pelan.

Laki-laki itu pun menatap Emily dengan iba. 

"Kamu mau roti?" tanyanya menawarkan. 

Emily menatap laki-laki itu. Benarkah? Sepotong roti? Ya, aku mau!

"Itu toko roti saya. Kalau kamu mau, saya akan berikan kamu roti. Tapi sebaiknya kamu duduk di toko saya aja. Lebih aman kamu duduk di sana dari pada di sini," ajak laki-laki itu berbaik hati.

Hati Emily bersorak gembira. Rupanya tuhan telah mengirimkan laki-laki pemilik toko roti itu untuk memberinya makanan. Oh, ini seperti satu keberuntungan yang tak di duga! Emily pun bersyukur tuhan cepat mengirimkan seorang penolong baginya.

Emily berdiri dan melangkah pelan mengikuti laki-laki itu yang berjalan mendahuluinya. Dan semakin dekat dia dengan toko roti itu, semakin tajam harum roti itu menusuk hidungnya. Oh, alangkah nikmatnya aroma lezat ini!

Laki-laki itu mengajak Emily untuk duduk di dalam toko rotinya. Ada sebuah meja kecil dengan empat kursi di sana. Emily pun segera duduk dengan nyaman. Setidaknya kursi itu jauh lebih nyaman dari pada bangku kayu yang tadi didudukinya.

Sebuah roti cokelat dihidangkan oleh laki-laki itu di atas piring. Lalu dia mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas yang ada di sudut toko roti itu dan menaruhnya di depan Emily. Emily segera meneguk air dingin itu dengan rakus seolah-olah dia baru saja berjalan di padang pasir yang gersang dan tandus hingga tubuhnya kini kerontang kehabisan cairan. Kemudian tanpa malu-malu dia pun segera melahap roti cokelat pemberian laki-laki itu. Dan hanya dalam waktu yang singkat, roti itu pun habis dimakannya.

"Mau lagi?" tanya laki-laki itu sambil menatap Emily.

Emily menggeleng. Setelah haus dan laparnya berkurang, rupanya rasa malunya pun kembali hingga dia malu untuk mengangguk meski pun sesungguhnya dia masih ingin memakan roti itu sepotong lagi.

"Betul kamu udah kenyang?" tanyanya yang sepertinya tahu isi hati Emily.

Emily diam. Dia masih merasa lapar.

Laki-laki itu pun berdiri dan mengambil sebuah roti manis untuk Emily. 

"Kalau masih lapar, bilang aja. Nggak usah malu-malu," katanya sambil meletakan piring roti yang baru saja diambilnya ke depan Emily yang masih duduk diam.

Emily mengambil roti itu dan kembali dengan lahap menghabiskannya.

"Terima kasih," ucap Emily setelah menghabiskan roti keduanya itu.

Laki-laki itu mengangguk. "Sekarang pulanglah kamu. Bahaya buat seorang gadis berkeliaran di malam hari seperti ini," ucapnya.

Emily menggeleng.

"Kamu nggak punya ongkos?" tanya laki-laki itu.

Emily bingung harus menjawab apa.

"Wajah kamu cantik, pakaian yang kamu pakai bagus, penampilan kamu bersih dan wangi. Jangan bilang kalau kamu nggak punya rumah. Saya tahu kamu bukan gelandangan," kata laki-laki itu dengan pandangan penuh selidik.

Emily menunduk. "Saya nggak mau pulang," ucapnya lirih.

"Jadi kamu pergi dari rumah? Bertengkar dengan orangtua? Atau dengan suami?" tanya laki-laki itu sambil terus menatap Emily lekat-lekat.

"Saya belum punya suami," sahut Emily.

"Jadi bertengkar dengan orangtua?"

Emily kembali hanya menggeleng.

Laki-laki itu menghela napas panjang. Entah karena bingung atau kesal melihat sikap Emily yang seperti itu. Tapi suaranya masih tetap lembut saat dia bicara dengan Emily.

"Dengarkan nasihat saya. Saya nggak tahu masalah apa yang kamu hadapi di rumah. Tapi bagaimana pun juga, untuk gadis secantik dan semuda kamu, rumah tetaplah menjadi tempat yang paling baik dan paling aman. Jadi pulanglah kamu segera."

"Saya nggak mau pulang!" Kali ini Emily bicara dengan suara yang lebih keras.

"Jadi kamu mau kemana? Ada tempat yang kamu tuju?" 

Lagi-lagi Emily menggeleng.

"Kamu nggak mau pulang, tapi nggak ada tempat yang kamu tuju? Kamu mau jadi gelandangan?"

"Pokoknya saya nggak mau pulang!"

"Tapi berbahaya kalau kamu berkeliaran di jalanan. Banyak orang jahat di luar sana. Kalau nanti kamu diperkosa gimana?"

Emily menangis. Laki-laki itu pun kini tampak kebingungan.

"Jangan menangis seperti itu di sini. Nanti orang pikir saya menjahati kamu," pintanya.

"Tapi saya nggak mau pulang!"

"Jadi kamu mau menggelandang? Toko saya sebentar lagi tutup. Lantas kamu mau kemana? Saya nggak mungkin meninggalkan kamu di pinggir jalan sendirian."

Emily terus terisak pelan. Ya, harus kemanakah dia sekarang?

Laki-laki itu melihat pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Seharusnya toko saya tutup sejak tadi. Saya lelah. Saya mau istirahat," katanya seolah mengusir Emily secara halus.

"Tapi saya harus kemana?" Tangis Emily semakin kencang.

"Hentikan tangisan kamu! Apa kamu mau orang-orang datang kemari dan menuduh saya telah berbuat jahat sama kamu?" kata laki-laki itu cepat.

Tangis Emily tak berhenti. Dia merasa tak karuan. 

"Siapa namamu?" tanya laki-laki itu kemudian.

"Emily," sahut Emily.

"Dengar Emily, malam ini saya akan memberikanmu tempat untuk menginap. Tapi cuma malam ini! Besok pagi kamu harus pulang!" kata laki-laki itu hingga tangis Emily seketika berhenti.

Benarkah? Emily memandang laki-laki yang sedang menatapnya itu dengan perasaan bingung. Dia tidak mengenal laki-laki ini. Tapi sepertinya dia orang baik. 

"Terima kasih, mas...."

"Abi. Panggil saya Abi," kata laki-laki itu memberitahukan namanya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Abi, gak bakal nyesel mungut Em deh
goodnovel comment avatar
Armedi Alfianus Barus
ceritanya menarik
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
nah loh gx kelar kelar bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status