Share

Bab 6 - Rencana Pernikahan

"Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."

Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar?

Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba.

Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin," tegurnya saat melihat buah hatinya malah memisahkan sayuran hijau dan hanya memakan daging panggangnya saja.

"Tapi Mommy, Iel nggak suka."

"Jangan membantah Mommy. Ini bagus buat kamu. Ayo makan!" Emily tanpa sadar sedikit menaikkan nada suaranya saat anaknya masih saja keras kepala. Tentu saja Javier langsung bereaksi dan tertunduk takut. Menahan air mata yang hampir keluar. Astaga! Emily refleks menepuk mulutnya saat menyadari dia hampir melampiaskan emosinya pada sang anak. "Sayang, maaf—"

Javier berpaling dan Emily hanya bisa bersabar melihat anaknya yang merajuk. Putranya itu memang tidak menangis, hanya berusaha menahannya.

Apa yang terjadi pada Javier, disaksikan jelas oleh Keenan yang duduk di sebelah bocah lelaki itu. Dia yang menyadari Javier hendak menangis, langsung berusaha menenangkan. "Javier, kenapa kamu nggak mau makan sayur?"

"Pahit. Iel nggak suka, Dad," gumam Javier sambil menunduk.

"Benarkah? Tapi sayur bagus lho untuk kamu. Kamu bisa cepat besar kayak Daddy. Kamu memangnya nggak mau cepat besar?" Keenan berusaha membujuk Javier yang masih tertunduk. Lambat laun, anak lelaki itu akhirnya mau menatapnya.

"Mau, Iel mau kayak Daddy biar bisa jagain Mommy, tapi Iel nggak suka sayur."

"Jadi kamu tetap nggak mau makan?"

Tidak ada jawaban dari Javier. Anak lelaki itu hanya diam dan menatap Keenan dengan bimbang.

"Ya, sudah kalau kamu tetap nggak mau. Sini, sayurnya buat Daddy saja. Biar Daddy yang jagain Mommy." Keenan berniat mengambil sayuran di piring Javier dan menyadari kalau bocah laki-laki itu tampak tak rela.

"No, Daddy! Iel mau makan! Cuma Iel yang boleh jagain Mommy!"

Keenan terkekeh melihat Javier akhirnya menahan tangannya dan meletakkan kembali sayuran itu ke dalam piringnya. Dia yang gemas tanpa sadar mengusap puncak kepala Javier dan tidak tahu kalau semua orang yang di meja makan, sejak tadi menatap ke arahnya. Termasuk Emily yang saat ini nyaris tak berkedip. Mereka seakan takjub melihat Keenan yang berhasil membujuk Javier, sampai anak lelaki itu makan sayur dengan lahap.

"Wah, Ken! Kamu sudah sangat cocok jadi Ayah. Astaga, itu sangat manis. Iya 'kan, Sayang?" Nyonya Silvi memecah keheningan. Menyenggol Tuan Vian yang masih terdiam.

Perhatian semua orang pun terpecah. Tak terkecuali Keenan yang kini menyurutkan senyumnya saat menyadari apa yang dilakukannya. Apalagi ketika matanya tak sengaja bertatapan dengan Emily. Keenan melihat jelas ketidaksukaan dalam sorot mata wanita itu.

"Keenan memang calon suami yang terbaik. Tidak biasanya Javier bisa langsung akrab dengan orang lain. Bahkan sampai memanggil Daddy. Saya bersyukur Javier akan punya orang tua lengkap," sahut Nyonya Karin. Tampak kepuasan memenuhi wajahnya karena semuanya berjalan baik.

Sayangnya, hal itu membuat Emily yang mendengarnya menjadi kesal. Ibunya bicara seolah mengenal Javier lebih dari dia sendiri. Seakan peduli, tapi kenyataannya tidak.

"Astaga, syukurlah kalau begitu. Saya juga ingin sekali punya cucu dan menantu. Putra saya selama ini selalu sibuk bekerja dan tidak pernah mau berkencan dengan wanita. Sampai muncul rumor yang menyebutnya gay."

"Ya ampun, benarkah?"

Nyonya Silvi mengangguk. "Iya, kepala saya rasanya pusing, tapi untunglah semua itu tidak benar. Emily sudah membuktikannya—"

"Ma!" tegur Keenan saat mendengar ibunya bicara tanpa rem. Dia menatap tajam ibunya agar tidak membahas hal memalukan waktu itu.

"Hmm, maaf menyela. Ini sudah malam, saya tidak bisa lama-lama. Javier sepertinya sudah mengantuk dan besok harus sekolah." Emily yang tidak tahan dengan pembicaraan ini langsung memanfaatkan Javier yang tampak beberapa kali mengusap matanya. Tanda anaknya mengantuk. Sepertinya Javier makan kekenyangan.

"Kamu bisa tidurkan anakmu di sini," perintah Tuan Dave.

"Maaf, Ayah, aku lupa tidak membawa pakaian sekolah Javier. Kami pulang saja," tolak Emily sambil tersenyum halus. Dia sudah sangat malas di sini.

"Ah, kalau begitu, biar Keenan yang mengantarmu." Nyonya Silvi langsung bersuara, lalu melirik Keenan. Dia tersenyum penuh rencana.

"Tidak usah, saya bawa—"

"Kalian 'kan akan menikah, tidak ada salahnya sambil saling mengenal satu sama lain. Ini saat yang bagus," sambungnya sambil mengedipkan mata pada putranya. "Ayo cepat, antar calon istri dan anakmu."

Keenan hanya membuang napas kasar mengetahui rencana ibunya. Namun tak ayal, dia pun menurut dan mendekati Emily. "Ayo."

***

"Kau kesal?"

Keenan mengemudikan mobil Emily sambil sesekali melirik wanita yang sejak tadi memasang ekspresi masam. Tak sedikit pun senyum terukir di wajah cantik itu. Pertanyaannya memang bodoh. Sudah sangat jelas Emily tidak menyukai rencana pernikahan mereka. Wanita itu sejak tadi terus gelisah dan memasang ekspresi muram.

"Diamlah."

"Tidak apa-apa kalau kau belum menyukaiku, cukup Javier yang menyukaiku."

"Apa maksudmu? Kau masih—"

"Tidak, tidak seperti itu. Seperti yang kaulihat tadi, orang tuaku menyukaimu dan Javier. Jadi aku tidak bisa membantahnya."

"Aku bisa mencarikanmu wanita lain."

Keenan terdiam, lalu menatap Emily yang masih ngotot tidak mau menikah dengannya. Wanita itu, padahal tidak ada ruginya menikah dengannya. "Ya, aku tahu, kau bisa mencarikanku wanita lain, tapi bagaimana dengan Javier? Anakmu sangat senang bisa memiliki Ayah. Apa kau belum mengerti juga?"

Tatapan Keenan jatuh pada bocah laki-laki yang kini tampak menguap beberapa kali di pangkuan Emily. Sebentar lagi, Javier pasti akan tidur. Jujur dia merasa sangat terenyuh dengan Javier. Anak berusia enam tahun yang berusaha bersikap dewasa dan kuat. Anak yang seharusnya masih mendapat kasih sayang seorang ayah. "Javier berusaha terlihat kuat di depanmu. Dia tahu sebagai anak lelaki, dia harus bisa menjaga ibunya. Emily, apa kau masih tidak menyadarinya? Anakmu ini terlalu dewasa."

Emily bergeming. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Keenan cukup menusuk hatinya. Hingga pandangannya tertuju pada Javier yang mulai memejamkan mata. Dia menyadari itu, jelas sangat sadar. Javier selalu berusaha melakukan semuanya sendiri tanpa bantuannya. Anaknya juga tidak manja atau terus mengintilinya saat bekerja. Javier tidak pernah masalah ditinggal saat dia harus ke restoran dan selalu menunggunya begitu pulang.

Apakah selama ini tindakannya itu egois? Javier memang tidak pernah meminta ayah, tapi tatapan mata polosnya tidak pernah berbohong dan mengatakan dengan jelas kalau memang anaknya butuh sosok ayah. Emily menggigit bibir bawahnya menahan perasaan sedih. Dia kemudian menatap ke arah Keenan. "Kau, kenapa kau sangat peduli dengan anakku?"

Pertanyaan itu membuat Keenan yang sedang menyetir, sedikit terkejut. Dia nyaris kehilangan konsentrasinya. Kenapa? Keenan mengulang pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Namun sayangnya, dia tidak menemukan jawabannya. Ini juga seperti bukan dirinya, karena sebenarnya Keenan tidak terlalu menyukai anak-anak. Waktunya juga lebih sering dihabiskan bersama tumpukan kertas.

Javier satu-satunya anak yang Keenan jumpai di sekolah dan berhasil menarik perhatiannya. Anak itu melawan tiga teman sekelasnya saat mereka mengejek Emily. Ya, mereka mengejek Javier tidak punya ayah dan menuduh Emily dengan sesuatu yang buruk. Javier tidak ambil pusing saat anak-anak nakal itu mengejeknya, tapi marah ketika mereka sudah menjelek-jelekan Emily.

Mengingat itu, Keenan tanpa sadar tersenyum. Betapa Javier sangat menyayangi Emily. "Apa semua itu butuh alasan? Aku hanya kagum dengan anakmu. Javier, dia pemberani."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status