Share

Bukan Suami Pilihan
Bukan Suami Pilihan
Author: Kinanti Kirana

Keputusan Yang Sulit

“Saya nikah dan kawinkan anak saya yang bernama Adara Jayanti binti Handoko dengan Raka Arsenio Mahanta bin Hartawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat, emas lima puluh gram dan uang lima puluh juta rupiah dibayar tunai!”

“Saya terima nikah dan kawinnya Adara Jayanti binti Handoko, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap Raka dengan satu tarikan nafas.

“Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu.

“Sah!” ucap semua tamu yang datang.

Begitu sakit dan sesak dada ini mendengar semua orang serempak mengatakan kata Sah, ikrar janji setia pernikahan itu Raka ucapkan dengan lantang.

“Kini kamu sudah sah menjadi istriku, Adara!” ucap Raka seraya mengenakan cincin di jari manis sang istri dan mengecup pucuk kening-nya.

Acara yang sederhana namun terasa sangat hikmat. Semua para tamu yang hadir menyalami kedua mempelai dan memberi selamat.

“Maafkan, Ayah. Jika ini sangat menyakitkan bagimu, Ayah sangat egois hanya mementingkan perusahaan dibandingkan kebahagiaanmu, Adara!” batinnya merasa bersalah.

Handoko dan juga para tamu yang datang terlihat sedang berbincang. Namun raut wajah Handoko terlihat tidak bahagia di hari pernikahan anaknya.

Adara menghampiri Ayah-nya dan menyapa ayah mertuanya. “Ini dia menantu ku yang cantik, selamat datang di keluarga besar Mahanta. Semoga kamu senang menjadi bagian dari keluarga besar kami,” ucap Hartawan seraya menggenggam kedua tangan Adara.

Adara tersenyum simpul di hadapan mereka. “Iya, Ayah. Aku akan berusaha menjadi menantu yang terbaik,” ucap Adara dengan senyum manisnya.

Handoko meminta izin untuk lebih berlama-lama dengan Adara, anak kecil yang tumbuh menjadi gadis cantik itu kini telah dipersunting lelaki yang tampan dan kaya raya.

“Kenapa harus aku yang menikah dengan lelaki itu? lelaki cacat yang kini sudah menjadi suamiku!” jelas Adara merasa hancur.

Handoko menatap wajah Adara dengan pilu. “Maafkan Ayah, tapi hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan,” ucap Handoko dengan terpaksa.

Adara terkejut ketika mendengar pernikahan mereka hanya karena bisnis semata. Ia menahan tangis dan mencoba tegar.

“Hanya karena bisnis Ayah tega menjadikan ku jaminan kepada mereka! Kenapa harus aku yang menjadi korban untuk kelangsungan perusahaan, Ayah? kenapa harus anakmu ini, Ayah?”

Handoko terima semua makian dan rasa kecewa Adara kepadanya.

“Tidak ada, Sayang. Bahkan rumah yang kita tempati sudah Ayah gadaikan ke Bank, itu pun tak cukup untuk menutupi kekurangan perusahaan. Maafkan Ayah, Ayah sangat menyesal!” ucap Handoko tertunduk dengan berlinangan air mata.

Adara sungguh kecewa dengan Ayahnya, Ia tega merenggut kebahagiaan dan masa depan Adara hanya demi bisnis Handoko mengorbankan anak semata wayangnya.

Dengan berat hati dan penuh rasa kecewa kepada sang Ayah, mau tak mau Adara harus menerima semua yang telah ditakdirkan untuknya.

Bulir-bulir air mata membasahi wajah keriput yang kini termakan usia. Adara menangis di pelukan sang Ayah, lelaki hebat ini yang dulu menjadi tempat mengadu dan mencurahkan semua isi hati Adara.

Namun setelah kepergian mendiang sang istri, Handoko berubah drastis, bahkan dia rela melakukan apa saja demi kemajuan perusahaan. Handoko mengusap air mata di wajah Adara, dan mengantarkannya kembali ke atas pelaminan.

“Kamu kenapa, Sayang? Ayah, kenapa mata Adara merah?” tanya Raka yang terkejut melihat mata istrinya itu sembab.

“Raka, kini tugas saya sebagai Ayah sudah selesai. Ayah sudah mengantarkan Adara hingga ke pelaminan dan menikahkan kalian berdua. Ayah titip kepadamu jaga dan sayangi Adara dengan sepenuh hati, apa kamu bisa menjaga amanat yang Ayah beri?” tanya Handoko.

“Pasti, aku akan menyayangi istriku dengan sepenuh hati, Ayah!” jelas Raka.

Senyum mengembang di wajah tampan Raka. Bagaimana bisa pernikahan tanpa cinta akan terjalin, jika  mereka berdua saja baru di pertemukan di atas pelaminan.

Akhirnya Handoko bisa bernafas dengan lega. Meski fisik Raka yang kurang sempurna, namun Raka terlihat sangat baik dan ramah, apalagi Adara bisa diterima dengan baik di keluarga besar Mahanta.

“Apakah aku bisa menjadi istri yang baik untuknya? apa aku bisa menjalani rumah tangga dengan lelaki yang baru aku kenal ini? dan apakah aku bisa menjadi istri penyabar untuk suamiku yang memiliki kekurangan ini?” batinnya terus bertanya-tanya.

Sebagian tamu telah meninggalkan kediaman Hartawan, begitu pula dengan Handoko yang telah pulang setelah berpamitan dengan Adara dan Raka.

“Apa kamu menikmati acara ini, Adara?” tanya Raka dengan wajah datarnya.

Adara menatap wajah suaminya yang seketika berubah dingin. “Apa maksudnya?”

“Bagaimana bisa dua orang yang baru saja bertemu di ikat dengan janji pernikahan, dan mereka harus tinggal di satu atap?”

Adara semakin tak mengerti dengan perkataan Raka. “Coba jelaskan apa yang sebenarnya kamu katakan, aku tak mengerti sama sekali!”

“Sungguh kamu ingin tahu?”

Adara menghela nafasnya dengan perlahan. Ia mengangguk dan ingin mengetahui apa yang sebenarnya Raka katakan kepadanya.

Raka mendekat ke arah Adara, begitu pun sebaliknya. “Aku tak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi!” ucap Raka dengan sinis.

Adara terkejut dengan perkataan Raka, baru saja ia menjadi seorang istri dari lelaki yang ada di sampingnya ini. Namun dengan mudahnya Raka melukai hati Adara dengan berkata demikian.

“Lantas mengapa kamu mau menikahiku? Jika kamu tak menginginkan pernikahan ini terjadi?” jelas Adara merasa hancur.

Raka hanya terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Adara dan malah sibuk dengan ponselnya. Setelah acara selesai di mereka segera pulang ke kediaman Raka. Sesuai permintaan Raka, dia tak mau berlama-lama melangsungkan acara resepsi pernikahannya.

Adara masih bertanya-tanya dengan semua ini, belum lagi pertanyaan yang Adara tanyakan tak di jawab oleh Raka. Adara mencoba membantunya untuk masuk ke dalam mobil.

“Jangan sentuh aku,” sergah Raka seraya menangkis tangan Adara dengan kasar.

Manik coklat terang itu membulat menatap kearah Raka, Adara terkejut dengan perlakuan Raka terhadapnya, semua perkataan dan perlakuan Raka membuat Adara sakit hati.

Adara mundur satu langkah di belakang Raka, ia menggenggam tangan kanannya yang terasa sakit.

“Apa yang salah denganku?” batinnya.

Adara mematung, dia masih tak bisa mencerna semua yang baru saja terjadi. Dia masih kecewa dengan sang ayah, belum lagi perlakuan suami-nya yang membuat Adara semakin tak nyaman.

“Hei! Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? kamu mau masuk atau aku tinggal di sini?” teriak Raka yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil.

Adara tersadar dari lamunan dan segera masuk kedalam mobil. Raka masih terdiam seribu bahasa. Bagaimana bisa lelaki yang kini menjadi suaminya itu memperlakukan-nya dengan tidak baik.

Adara mencoba memberanikan diri menatap wajah suaminya. Ia pandangi dan terus bertanya dalam hati, apakah benar lelaki yang duduk di samping-nya kini adalah suami sekaligus teman hidup-nya?

“Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status