“Saya nikah dan kawinkan anak saya yang bernama Adara Jayanti binti Handoko dengan Raka Arsenio Mahanta bin Hartawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat, emas lima puluh gram dan uang lima puluh juta rupiah dibayar tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Adara Jayanti binti Handoko, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap Raka dengan satu tarikan nafas.
“Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu.
“Sah!” ucap semua tamu yang datang.
Begitu sakit dan sesak dada ini mendengar semua orang serempak mengatakan kata Sah, ikrar janji setia pernikahan itu Raka ucapkan dengan lantang.
“Kini kamu sudah sah menjadi istriku, Adara!” ucap Raka seraya mengenakan cincin di jari manis sang istri dan mengecup pucuk kening-nya.
Acara yang sederhana namun terasa sangat hikmat. Semua para tamu yang hadir menyalami kedua mempelai dan memberi selamat.
“Maafkan, Ayah. Jika ini sangat menyakitkan bagimu, Ayah sangat egois hanya mementingkan perusahaan dibandingkan kebahagiaanmu, Adara!” batinnya merasa bersalah.
Handoko dan juga para tamu yang datang terlihat sedang berbincang. Namun raut wajah Handoko terlihat tidak bahagia di hari pernikahan anaknya.
Adara menghampiri Ayah-nya dan menyapa ayah mertuanya. “Ini dia menantu ku yang cantik, selamat datang di keluarga besar Mahanta. Semoga kamu senang menjadi bagian dari keluarga besar kami,” ucap Hartawan seraya menggenggam kedua tangan Adara.
Adara tersenyum simpul di hadapan mereka. “Iya, Ayah. Aku akan berusaha menjadi menantu yang terbaik,” ucap Adara dengan senyum manisnya.
Handoko meminta izin untuk lebih berlama-lama dengan Adara, anak kecil yang tumbuh menjadi gadis cantik itu kini telah dipersunting lelaki yang tampan dan kaya raya.
“Kenapa harus aku yang menikah dengan lelaki itu? lelaki cacat yang kini sudah menjadi suamiku!” jelas Adara merasa hancur.
Handoko menatap wajah Adara dengan pilu. “Maafkan Ayah, tapi hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan perusahaan,” ucap Handoko dengan terpaksa.
Adara terkejut ketika mendengar pernikahan mereka hanya karena bisnis semata. Ia menahan tangis dan mencoba tegar.
“Hanya karena bisnis Ayah tega menjadikan ku jaminan kepada mereka! Kenapa harus aku yang menjadi korban untuk kelangsungan perusahaan, Ayah? kenapa harus anakmu ini, Ayah?”
Handoko terima semua makian dan rasa kecewa Adara kepadanya.
“Tidak ada, Sayang. Bahkan rumah yang kita tempati sudah Ayah gadaikan ke Bank, itu pun tak cukup untuk menutupi kekurangan perusahaan. Maafkan Ayah, Ayah sangat menyesal!” ucap Handoko tertunduk dengan berlinangan air mata.
Adara sungguh kecewa dengan Ayahnya, Ia tega merenggut kebahagiaan dan masa depan Adara hanya demi bisnis Handoko mengorbankan anak semata wayangnya.
Dengan berat hati dan penuh rasa kecewa kepada sang Ayah, mau tak mau Adara harus menerima semua yang telah ditakdirkan untuknya.
Bulir-bulir air mata membasahi wajah keriput yang kini termakan usia. Adara menangis di pelukan sang Ayah, lelaki hebat ini yang dulu menjadi tempat mengadu dan mencurahkan semua isi hati Adara.
Namun setelah kepergian mendiang sang istri, Handoko berubah drastis, bahkan dia rela melakukan apa saja demi kemajuan perusahaan. Handoko mengusap air mata di wajah Adara, dan mengantarkannya kembali ke atas pelaminan.
“Kamu kenapa, Sayang? Ayah, kenapa mata Adara merah?” tanya Raka yang terkejut melihat mata istrinya itu sembab.
“Raka, kini tugas saya sebagai Ayah sudah selesai. Ayah sudah mengantarkan Adara hingga ke pelaminan dan menikahkan kalian berdua. Ayah titip kepadamu jaga dan sayangi Adara dengan sepenuh hati, apa kamu bisa menjaga amanat yang Ayah beri?” tanya Handoko.
“Pasti, aku akan menyayangi istriku dengan sepenuh hati, Ayah!” jelas Raka.
Senyum mengembang di wajah tampan Raka. Bagaimana bisa pernikahan tanpa cinta akan terjalin, jika mereka berdua saja baru di pertemukan di atas pelaminan.
Akhirnya Handoko bisa bernafas dengan lega. Meski fisik Raka yang kurang sempurna, namun Raka terlihat sangat baik dan ramah, apalagi Adara bisa diterima dengan baik di keluarga besar Mahanta.
“Apakah aku bisa menjadi istri yang baik untuknya? apa aku bisa menjalani rumah tangga dengan lelaki yang baru aku kenal ini? dan apakah aku bisa menjadi istri penyabar untuk suamiku yang memiliki kekurangan ini?” batinnya terus bertanya-tanya.
Sebagian tamu telah meninggalkan kediaman Hartawan, begitu pula dengan Handoko yang telah pulang setelah berpamitan dengan Adara dan Raka.
“Apa kamu menikmati acara ini, Adara?” tanya Raka dengan wajah datarnya.
Adara menatap wajah suaminya yang seketika berubah dingin. “Apa maksudnya?”
“Bagaimana bisa dua orang yang baru saja bertemu di ikat dengan janji pernikahan, dan mereka harus tinggal di satu atap?”
Adara semakin tak mengerti dengan perkataan Raka. “Coba jelaskan apa yang sebenarnya kamu katakan, aku tak mengerti sama sekali!”
“Sungguh kamu ingin tahu?”
Adara menghela nafasnya dengan perlahan. Ia mengangguk dan ingin mengetahui apa yang sebenarnya Raka katakan kepadanya.
Raka mendekat ke arah Adara, begitu pun sebaliknya. “Aku tak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi!” ucap Raka dengan sinis.
Adara terkejut dengan perkataan Raka, baru saja ia menjadi seorang istri dari lelaki yang ada di sampingnya ini. Namun dengan mudahnya Raka melukai hati Adara dengan berkata demikian.
“Lantas mengapa kamu mau menikahiku? Jika kamu tak menginginkan pernikahan ini terjadi?” jelas Adara merasa hancur.
Raka hanya terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Adara dan malah sibuk dengan ponselnya. Setelah acara selesai di mereka segera pulang ke kediaman Raka. Sesuai permintaan Raka, dia tak mau berlama-lama melangsungkan acara resepsi pernikahannya.
Adara masih bertanya-tanya dengan semua ini, belum lagi pertanyaan yang Adara tanyakan tak di jawab oleh Raka. Adara mencoba membantunya untuk masuk ke dalam mobil.
“Jangan sentuh aku,” sergah Raka seraya menangkis tangan Adara dengan kasar.
Manik coklat terang itu membulat menatap kearah Raka, Adara terkejut dengan perlakuan Raka terhadapnya, semua perkataan dan perlakuan Raka membuat Adara sakit hati.
Adara mundur satu langkah di belakang Raka, ia menggenggam tangan kanannya yang terasa sakit.
“Apa yang salah denganku?” batinnya.
Adara mematung, dia masih tak bisa mencerna semua yang baru saja terjadi. Dia masih kecewa dengan sang ayah, belum lagi perlakuan suami-nya yang membuat Adara semakin tak nyaman.
“Hei! Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? kamu mau masuk atau aku tinggal di sini?” teriak Raka yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil.
Adara tersadar dari lamunan dan segera masuk kedalam mobil. Raka masih terdiam seribu bahasa. Bagaimana bisa lelaki yang kini menjadi suaminya itu memperlakukan-nya dengan tidak baik.
Adara mencoba memberanikan diri menatap wajah suaminya. Ia pandangi dan terus bertanya dalam hati, apakah benar lelaki yang duduk di samping-nya kini adalah suami sekaligus teman hidup-nya?
“Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?”
“Sedang apa kamu di kamarku?” tanya Raka yang baru saja tiba di kamar.Adara terdiam, dia nampak tak paham dengan apa yang dikatakan Raka kepadanya.“Bukankah ini juga kamarku, kita sudah sah menjadi suami istri. Wajar jika aku berada di kamar ini,” ucap Adara dengan tersenyum simpul.“Status kita memang suami istri. Tetapi kamu tidak tidur di sini, tanda tanganilah surat ini!” jelas Raka dengan menyimpan secarik kertas di atas ranjang.Adara mengambil secarik kertas dan membacanya. “Ini apa?” tanya Adara.“Semua tidak geratis, Sayang. Cepat tanda tangani surat perjanjian itu segera. Semua perlu pengorbanan, Adara,” ucap Raka tersenyum miring.“Kenapa kamu melakukan ini padaku? apa salahku?” tanya Adara dengan hati bergetar.“Aku akan memberimu waktu 8 bulan untuk membantuku bisa sembuh seperti sedia kala. Setelah aku bisa berjalan, kamu bisa pergi semaumu dan kontrak pernikahan kita selesai. Setelah itu kita berpisah, aku akan memberikanmu lima persen saham yang aku tanam di perusaha
Setelah perdebatan di meja makan, Lim dengan sigap membawa Adara ke kamarnya karena Adara sudah melawan dan tak menuruti apa kemauan Raka.“Maafkan saya, Nyonya!” jelas Lim merasa bersalah.“Tidak apa-apa kok, Pak. Lagi pula ini salahku,” ucap Adara memberikan senyum tipis kepada Lim.Pintu kamar pun dikunci dari luar, Adara hanya bisa pasrah dengan kenyataan jika dari awal pernikahannya dengan Raka hanya karena bisnis, namun itu semua dilakukan demi menyelamatkan perusahaan Ayahnya.“Terserah kamu saja Raka, kamu mau mengurungku atau membunuhku sekalipun aku tak peduli. Andai saja Ibu masih ada, mungkin dia akan memelukku dan menguatkanku saat ini. Aish … kenapa kamu menjadi cengeng seperti ini, Adara.”Dia lebih menghabiskan waktu untuk membaca buku, dan menghafal apa yang telah dipelajarinya di kampus. Meski keadaan yang memaksa-nya untuk kuat, Adara selalu yakin di ujung sana akan ada kebahagian untuknya.Sementara Raka yang sudah sampai di kantor tengah kedatangan tamu agung. “Pe
Sudah dua hari Adara tak bisa tidur, dia terus menangis meratapi hidupnya. Apa lagi kali ini dia sangat merindukan Ayahnya. Matanya sembab dan kuyu. Adara memandang matahari pagi yang baru saja terbit dari jendela kamarnya. Suara seseorang membuka kunci dan pintu pun terbuka. “Selamat pagi, Nyonya. Anda sudah diperbolehkan keluar dari kamar oleh, Tuan!” jelas bu Hanifah. Adara tak menggubris perkataan bu Hanifah, dia hanya memandangi pepohonan yang hijau di luar sana. “Nyonya, apa anda mendengar perkataan saya?” tanya bu Hanifah sekali lagi. Adara menatap kearah bu Hanifah dengan lesu. “Iya, saya mau ke kamar mandi dulu.” Bu Hanifah sebenarnya sangat kasihan kepada Adara, melihat wajahnya yang kuyu membuat dia sangat prihatin pada wanita yang baru saja menyandang status menjadi nyonya Raka. Bu Hanifah menyambut hangat Adara yang baru saja tiba di ruang makan. “Anda harus makan, jika tak makan nanti Tuan akan memecat saya!” jelas bu Hanifah memohon. Dengan segala rayuan akhirnya
Pagi ini rumah sangat terasa sepi setelah kedua belas asisten rumah tangga di pecat oleh Raka, Adara yang sedari pagi-pagi buta sudah terbangun dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Mulai dari menyapu seisi rumah dan mencuci pakaian, dia tak mau jika nanti suaminya bangun rumah masih kotor dan juga sarapan belum tersedia di meja. Yang tersisa hanya tinggal bu Hanifah saja. Beliau adalah orang yang paling dituakan di rumah Raka. Semua yang memantau keseharian Adara adalah bu Hanifah. “Semangat Adara, semua ini demi Ayah. Jika perkataannya benar lagi, aku tak mau perusahaan ayah bangkrut dan ayah menjadi sakit gara-gara melihat perusahaannya hancur,” jelas Adara yang sedang membuatkan sarapan untuk suaminya. Sejak tadi pagi bu Hanifah sudah mengamati Adara yang sedang beres-beres rumah dengan giat. Dia tak mau jika Raka memarahinya lagi. “Maafkan saya, Nyonya. Tak bisa membantu anda, ini sudah menjadi keputusan beliau,” lirih bu Hanifah. Pukul tujuh tepat Raka sudah ada di meja
Setelah pulang dari rumah sakit, Raka meminta Adara untuk mempraktekan apa yang dikatakan dokter Jaka tadi siang.“Nih, cepat lakukan!” pinta Raka seraya melempar minyak gosok ke arah Adara.Adara mengambil minyak gosok dan melihat Raka dengan tatapan tajam. “Apa … aku harus memijat kakimu dengan minyak ini?” ucap Adara.Raka mengangguk dan melipat kedua tangannya di dada. “Cepatlah, aku sudah tidak sabar ingin di pijat oleh mu,” jelas Raka yang sudah siap di atas ranjang.Mau tak mau Adara naik ke atas ranjang, dan memperlakukan Raka selayaknya pasien. Adara melakukan semua yang diminta dokter Jaka. Jika bukan karena permintaan dokter jaka mana mau Adara melakukannya.Raka menahan senyumnya, ia sangat senang mengerjai Adara dengan cara menyuruh-nyuruhnya. Adara masih fokus memijat dan tak menggubris perkataan Raka.“Jika ada peluang untuk balas dendam, ingin sekali aku membalas semua yang telah kamu lakukan kepadaku, tetapi kenapa aku tak bisa?” batinya.Raka terus menatap wajah cant
“Kamu harus semangat, ingat Adara hanya delapan bulan saja kamu menderita. Setelah itu kamu bisa menghirup udara segar di luar sana!” batinnya.Dari dulu Adara tak pernah melakukan pekerjaan yang sering para asisten rumah tangganya lakukan, namun setelah menikah dengan Raka, Adara harus merasakan semua-nya.“Adara!” teriak Raka.Adara yang sedang membersihkan rak buku di ruang baca lari tergopoh-gopoh menghampiri Raka yang berada di kamar. Ia terkejut melihat Raka yang sudah tergeletak di lantai.“Astaga! Kamu kenapa? Kenapa bisa jatuh begini!” ucap Adara seraya membantu Raka dengan sekuat tenaga duduk di ranjang.Raka tak bisa berbuat apa-apa, yang ia rasakan hanya rasa sakit yang sangat teramat di bagian tangan dan kepalanya.Raka terdiam, dia masih syok dengan kejadian yang baru saja ia alami. “Raka, lihat aku. Kamu baik-baik saja kan?” tanya Adara, ia meraup wajah Raka dan menatap-nya khawatir.“Minumlah dulu, aku akan memanggil bu Hanifah sebentar,” ucap Adara bergegas beranjak d
Adara terkejut mendengar perkataan Ayah nya, kenapa sang Ayah bisa berkata demikian. Apa seorang ayah bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya? “Tenang saja, Raka memperlakukanku dengan baik kok. Bahkan kedua orang tuanya pun sangat menyayangiku!” jelsa Adara. “Syukurlah kalau begitu, Ayah jadi tenang mendengarnya!” Senyum mengembang di wajah cantik Adara, dia tak mau memperlihatkan wajah sedihnya di depan sang Ayah, cukup dia yang merasakan dan memendam nya sendiri. “Oh, iya. Bagaimana dengan perusahaan? Apa semua berjalan dengan baik?” tanya Adara. Handoko tersenyum simpul di hadapan Adara, Handoko berbincang panjang lebar tentang perusahaan yang sekarang sudah semakin maju pesat. “Alhamdulillah, berkat Raka semua kembali normal. Ayah sudah bisa melunasi semua hutang ke bank dan para pekerja pun sudah mendapat upah yang layak,” jelas Handoko. “Syukurlah kalau begitu, aku senang mendengarnya!” Handoko tak bisa berlama-lama bersama sang anak, ia harus kembali ke kantor karena
“Dasar laki-laki kurang ajar, bisa-bisanya dia nyosor seperti itu. Awas saja, jika dia berani seperti itu lagi, aku tak akan segan memukul kepalanya.”Raka tertawa kecil mendengar perkataan Adara, dia hanya bisa menyampaikan isi hatinya. Si manusia setengah serigala itu kini bisa selembut dan sehangat itu. Apa jangan-jangan semua ada kaitannya dengan novel yang ia baca tadi?Adara mengerutkan keningnya dengan ekspresi tak suka. “Apa aku tak salah dengar, aku harus tidur denganmu?” ucap Adara.Raka tersenyum manis di depan Adara, ia sengaja melakukan itu untuk menarik hati Adara supaya ia mau menuruti apa yang Raka mau.“Memangnya kamu tak mau tidur dengan suamimu ini?” jelas Raka meyakinkan.Ia menatap Raka dengan sinis, bagaimana bisa Raka mencari kesempatan dalam kesempitan. Bukankah tadi dia sedang tidak enak badan hingga pagi tadi membuat orang yang ada di rumah itu panik!“Aku tak mau! Lagi pula kamu bukan tipeku, ingat kita menikah tidak karena cinta!” tegas Adara.Raka terus me