Akhirnya mau tak mau Adara mengalah dan mengajak Julio untuk menonton bioskop bersama, terlihat raut wajah Julio yang sangat senang mereka ajak. Namun itu semua karena ide brilian Mariana yang ingin sekali dekat dengan Julio.Memang tak dipungkiri paras Julio yang sangat tampan dan juga berkarisma membuat Mariana jatuh hati pada lelaki tinggi maskulin itu. Berbanding terbalik dengan Adara yang sama sekali terlihat biasa saja di depan Julio.Dalam perjalanan menuju mall, Mariana sangat aktif mengajak Julio berbincang ketimbang Adara, ia sangat senang sekali bisa sedekat itu dengan lelaki yang ia sukai.“Jul, kamu sedang tidak kita ajak nonton?” tanya Mariana dengan penuh senyuman.Julio menyunggingkan senyumnya seraya melirik ke arah Adara. “Suka kok, lagi pula kebetulan sekali sudah lama aku ingin nonton, ya cuman aku ngak tau mau ke bioskop sama siapa,”“Ya kali aja ajak pacar kamu untuk nonton bersama gitu!”“Pacar? Aku masih single, lagipula aku sedang fokus kuliah saja!” jelas Jul
“Saya nikah dan kawinkan anak saya yang bernama Adara Jayanti binti Handoko dengan Raka Arsenio Mahanta bin Hartawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat, emas lima puluh gram dan uang lima puluh juta rupiah dibayar tunai!”“Saya terima nikah dan kawinnya Adara Jayanti binti Handoko, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap Raka dengan satu tarikan nafas.“Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu.“Sah!” ucap semua tamu yang datang.Begitu sakit dan sesak dada ini mendengar semua orang serempak mengatakan kata Sah, ikrar janji setia pernikahan itu Raka ucapkan dengan lantang.“Kini kamu sudah sah menjadi istriku, Adara!” ucap Raka seraya mengenakan cincin di jari manis sang istri dan mengecup pucuk kening-nya.Acara yang sederhana namun terasa sangat hikmat. Semua para tamu yang hadir menyalami kedua mempelai dan memberi selamat.“Maafkan, Ayah. Jika ini sangat menyakitkan bagimu, Ayah sangat egois hanya mementingkan perusahaan dibandingkan kebahagiaanmu, Adara!” batinnya
“Sedang apa kamu di kamarku?” tanya Raka yang baru saja tiba di kamar.Adara terdiam, dia nampak tak paham dengan apa yang dikatakan Raka kepadanya.“Bukankah ini juga kamarku, kita sudah sah menjadi suami istri. Wajar jika aku berada di kamar ini,” ucap Adara dengan tersenyum simpul.“Status kita memang suami istri. Tetapi kamu tidak tidur di sini, tanda tanganilah surat ini!” jelas Raka dengan menyimpan secarik kertas di atas ranjang.Adara mengambil secarik kertas dan membacanya. “Ini apa?” tanya Adara.“Semua tidak geratis, Sayang. Cepat tanda tangani surat perjanjian itu segera. Semua perlu pengorbanan, Adara,” ucap Raka tersenyum miring.“Kenapa kamu melakukan ini padaku? apa salahku?” tanya Adara dengan hati bergetar.“Aku akan memberimu waktu 8 bulan untuk membantuku bisa sembuh seperti sedia kala. Setelah aku bisa berjalan, kamu bisa pergi semaumu dan kontrak pernikahan kita selesai. Setelah itu kita berpisah, aku akan memberikanmu lima persen saham yang aku tanam di perusaha
Setelah perdebatan di meja makan, Lim dengan sigap membawa Adara ke kamarnya karena Adara sudah melawan dan tak menuruti apa kemauan Raka.“Maafkan saya, Nyonya!” jelas Lim merasa bersalah.“Tidak apa-apa kok, Pak. Lagi pula ini salahku,” ucap Adara memberikan senyum tipis kepada Lim.Pintu kamar pun dikunci dari luar, Adara hanya bisa pasrah dengan kenyataan jika dari awal pernikahannya dengan Raka hanya karena bisnis, namun itu semua dilakukan demi menyelamatkan perusahaan Ayahnya.“Terserah kamu saja Raka, kamu mau mengurungku atau membunuhku sekalipun aku tak peduli. Andai saja Ibu masih ada, mungkin dia akan memelukku dan menguatkanku saat ini. Aish … kenapa kamu menjadi cengeng seperti ini, Adara.”Dia lebih menghabiskan waktu untuk membaca buku, dan menghafal apa yang telah dipelajarinya di kampus. Meski keadaan yang memaksa-nya untuk kuat, Adara selalu yakin di ujung sana akan ada kebahagian untuknya.Sementara Raka yang sudah sampai di kantor tengah kedatangan tamu agung. “Pe
Sudah dua hari Adara tak bisa tidur, dia terus menangis meratapi hidupnya. Apa lagi kali ini dia sangat merindukan Ayahnya. Matanya sembab dan kuyu. Adara memandang matahari pagi yang baru saja terbit dari jendela kamarnya. Suara seseorang membuka kunci dan pintu pun terbuka. “Selamat pagi, Nyonya. Anda sudah diperbolehkan keluar dari kamar oleh, Tuan!” jelas bu Hanifah. Adara tak menggubris perkataan bu Hanifah, dia hanya memandangi pepohonan yang hijau di luar sana. “Nyonya, apa anda mendengar perkataan saya?” tanya bu Hanifah sekali lagi. Adara menatap kearah bu Hanifah dengan lesu. “Iya, saya mau ke kamar mandi dulu.” Bu Hanifah sebenarnya sangat kasihan kepada Adara, melihat wajahnya yang kuyu membuat dia sangat prihatin pada wanita yang baru saja menyandang status menjadi nyonya Raka. Bu Hanifah menyambut hangat Adara yang baru saja tiba di ruang makan. “Anda harus makan, jika tak makan nanti Tuan akan memecat saya!” jelas bu Hanifah memohon. Dengan segala rayuan akhirnya
Pagi ini rumah sangat terasa sepi setelah kedua belas asisten rumah tangga di pecat oleh Raka, Adara yang sedari pagi-pagi buta sudah terbangun dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Mulai dari menyapu seisi rumah dan mencuci pakaian, dia tak mau jika nanti suaminya bangun rumah masih kotor dan juga sarapan belum tersedia di meja. Yang tersisa hanya tinggal bu Hanifah saja. Beliau adalah orang yang paling dituakan di rumah Raka. Semua yang memantau keseharian Adara adalah bu Hanifah. “Semangat Adara, semua ini demi Ayah. Jika perkataannya benar lagi, aku tak mau perusahaan ayah bangkrut dan ayah menjadi sakit gara-gara melihat perusahaannya hancur,” jelas Adara yang sedang membuatkan sarapan untuk suaminya. Sejak tadi pagi bu Hanifah sudah mengamati Adara yang sedang beres-beres rumah dengan giat. Dia tak mau jika Raka memarahinya lagi. “Maafkan saya, Nyonya. Tak bisa membantu anda, ini sudah menjadi keputusan beliau,” lirih bu Hanifah. Pukul tujuh tepat Raka sudah ada di meja
Setelah pulang dari rumah sakit, Raka meminta Adara untuk mempraktekan apa yang dikatakan dokter Jaka tadi siang.“Nih, cepat lakukan!” pinta Raka seraya melempar minyak gosok ke arah Adara.Adara mengambil minyak gosok dan melihat Raka dengan tatapan tajam. “Apa … aku harus memijat kakimu dengan minyak ini?” ucap Adara.Raka mengangguk dan melipat kedua tangannya di dada. “Cepatlah, aku sudah tidak sabar ingin di pijat oleh mu,” jelas Raka yang sudah siap di atas ranjang.Mau tak mau Adara naik ke atas ranjang, dan memperlakukan Raka selayaknya pasien. Adara melakukan semua yang diminta dokter Jaka. Jika bukan karena permintaan dokter jaka mana mau Adara melakukannya.Raka menahan senyumnya, ia sangat senang mengerjai Adara dengan cara menyuruh-nyuruhnya. Adara masih fokus memijat dan tak menggubris perkataan Raka.“Jika ada peluang untuk balas dendam, ingin sekali aku membalas semua yang telah kamu lakukan kepadaku, tetapi kenapa aku tak bisa?” batinya.Raka terus menatap wajah cant
“Kamu harus semangat, ingat Adara hanya delapan bulan saja kamu menderita. Setelah itu kamu bisa menghirup udara segar di luar sana!” batinnya.Dari dulu Adara tak pernah melakukan pekerjaan yang sering para asisten rumah tangganya lakukan, namun setelah menikah dengan Raka, Adara harus merasakan semua-nya.“Adara!” teriak Raka.Adara yang sedang membersihkan rak buku di ruang baca lari tergopoh-gopoh menghampiri Raka yang berada di kamar. Ia terkejut melihat Raka yang sudah tergeletak di lantai.“Astaga! Kamu kenapa? Kenapa bisa jatuh begini!” ucap Adara seraya membantu Raka dengan sekuat tenaga duduk di ranjang.Raka tak bisa berbuat apa-apa, yang ia rasakan hanya rasa sakit yang sangat teramat di bagian tangan dan kepalanya.Raka terdiam, dia masih syok dengan kejadian yang baru saja ia alami. “Raka, lihat aku. Kamu baik-baik saja kan?” tanya Adara, ia meraup wajah Raka dan menatap-nya khawatir.“Minumlah dulu, aku akan memanggil bu Hanifah sebentar,” ucap Adara bergegas beranjak d