“Sedang apa kamu di kamarku?” tanya Raka yang baru saja tiba di kamar.
Adara terdiam, dia nampak tak paham dengan apa yang dikatakan Raka kepadanya.
“Bukankah ini juga kamarku, kita sudah sah menjadi suami istri. Wajar jika aku berada di kamar ini,” ucap Adara dengan tersenyum simpul.
“Status kita memang suami istri. Tetapi kamu tidak tidur di sini, tanda tanganilah surat ini!” jelas Raka dengan menyimpan secarik kertas di atas ranjang.
Adara mengambil secarik kertas dan membacanya. “Ini apa?” tanya Adara.
“Semua tidak geratis, Sayang. Cepat tanda tangani surat perjanjian itu segera. Semua perlu pengorbanan, Adara,” ucap Raka tersenyum miring.
“Kenapa kamu melakukan ini padaku? apa salahku?” tanya Adara dengan hati bergetar.
“Aku akan memberimu waktu 8 bulan untuk membantuku bisa sembuh seperti sedia kala. Setelah aku bisa berjalan, kamu bisa pergi semaumu dan kontrak pernikahan kita selesai. Setelah itu kita berpisah, aku akan memberikanmu lima persen saham yang aku tanam di perusahaan ayah. Bagaimana semua itu sepadan bukan dengan apa yang ayahmu inginkan? kamu tak perlu khawatir lagi dengan nasib keluargamu.”
Hati Adara sungguh hancur, bagaimana bisa janji suci yang baru saja Raka ucapkan baginya hanya permainan semata.
Mau tak mau Adara menandatangani surat perjanjian bersama Raka, luruh sudah air mata yang sedari tadi membendung di pelupuk matanya.
“Kamarmu ada di sebelah, sudah sana pergi aku mau istirahat. Oh ia satu hal lagi, besok kamu harus menemui bu Hanifah. Banyak belajarlah kepada beliau!” jelas Raka.
Tanpa berkata lagi Adara segera beranjak dari ranjang, ia berjalan gontai keluar dari kamar pengantin mereka. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, Raka enggan menatap wajah istrinya yang pergi meninggalkan dirinya.
Malam pertama yang di gadang-gadang akan seromantis seperti di dalam drama-drama korea yang sering ditonton, namun nyatanya malam pertama kelam yang Adara dapatkan.
“Kenapa hidupku seperti ini, ibu … sakit sekali di sini, apa ini yang dinamakan pernikahan tanpa cinta?” ucap Adara seraya meremas pakain yang ia kenakan.
Bulir-bulir air mata pun membasahi wajah cantik Adara. Mau bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur, keputusan-nya untuk menikah dan menjadi istri Raka tak bisa diubah, apalagi perjanjian yang sudah ditandatangani.
“Aku pasti bisa, bukankah hanya 8 bulan saja aku harus bertahan dan menjadi istrinya, setelah itu aku bisa pergi dari kehidupan dia selamanya.”
Di dalam sana Raka memikirkan bagaimana kehidupannya selanjutnya, satu atap dengan wanita yang baru ia kenal. Apakah Adara bisa membantu Raka sembuh selama delapan bulan kedepan?
***
Pagi-pagi sekali Adara sudah membuatkan sarapan untuk sang suami, dia langsung masuk ke kamar suaminya dan membangunkan-nya
“Selamat pagi Mas, ayo bangun kita sarapan bersama,” pinta Adara yang duduk di tepi ranjang memabangunkan suaminya perlahan.
“Ayo bangun, bukankah jika bangun kesiangan rezekinya akan di patok ayam. Ayo cepat bangun,”
jelas Adara mengguncang tubuh Raka dengan lembut.Raka yang merasa terganggu kini mulai naik darah dan kesal kepada Adara. “Kamu! bisa gak sih jika masuk ke kamar orang pake ketuk pintu dulu?” jelas Raka meradang.
Adara terdiam, dia tak menyangka jika itikad baik membangunkan suaminya itu malah di sabut dengan makian. Ini yang dinamakan sakit tak berdarah.
“Aku kan istrimu, Mas. Masa masuk kamar harus ketuk pintu segala!” jelas Adara yang tak mau kalah dengan perkataan Raka.
“Kamu—”
“Kenapa pake melotot segala, memangnya aku takut, hah!” ucap Adara menantang.
Dengan secepat kilat Raka mencengkram rahang Adara dengan kuat, dia tak mau jika seorang Raka akan luluh dan takluk pada wanita yang baru ia kenal.
“Banyak bicara ternyata, memangnya siapa kamu berani seperti ini kepadaku, hah! kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak atas aku dan hidupku!” jelas Raka terus mencengkram-nya dengan kuat.
Ia menahan rasa sakit sekaligus menahan air mata yang akan menetes. “Sampai kapan pun aku tak akan pernah takut padamu, aku berhak atasmu. Kamu adalah suamiku, terserah kamu mau melakukan apapun padaku yang terpenting aku sudah menunaikan tugasku sebagai istrimu.”
Raka melepaskan cengkramannya, manik coklat terang itu menatap sendu wanita yang kini pergi dari hadapannya.
“Aku sudah ikhlas, aku tak akan perduli kamu mau melakukan apapun padaku. Iya, hanya 8 bulan saja Adara, kamu harus kuat!” ucap Adara yang berdiri dibalik pintu seraya mengusap air matanya.
Raka terdiam, ia melihat semua keperluannya sudah tersedia di sofa. Mulai pakaian dan segala aksesorisnya telah tersusun rapi sempurna seperti setiap hari pelayan menyiapkan untuknya.
“Jika pelayan tak mungkin menyimpan pakaian ku di sofa, tetapi ini semua tertata rapi dan semua tersedia di sini.”
Walaupun Raka lumpuh, dia sudah terbiasa melakukannya sendiri. Dia tak mau merepotkan orang lain hanya untuk membantunya untuk membersihkan tubuhnya.
Setelah selesai Raka segera menghampiri Adara yang sudah siap di ruang makan, dia terlihat sedang membaca buku sambil menunggu suaminya datang.
Raka menatap Adara dan duduk berhadapan dengan-nya. Adara sibuk dengan buku yang tengah di bacanya sampai-sampai dia tak menyadari jika Raka sudah berada di depannya.
“Bisa-bisanya dia membaca buku di meja makan!” batin Raka.
Ehem …
“Memangnya ruang makan untuk membaca buku?” ucap Raka dengan ketus.
Adara meletakan buku dan menatap lelaki yang ada di hadapannya. Raka menatap tajam pada Adara, Adara dia masih merasakan rasa sakit di rahangnya.
“Aku masih bisa merasakan cengkraman tangannya di rahangku,” batinnya.
Adara tertunduk. “Maaf, aku kira kamu belum keluar dari kamar, biar aku ambilkan sarapan untukmu” jelas Adara.
Dia menyendoki nasi kedalam piring dan tak lupa memberi lauk pauk kedalamnya.
“Mau kemana kamu pagi-pagi sekali sudah rapih?” tanya Raka dengan tatapan yang tak biasa.
Adara duduk kembali setelah mengambilkan sarapan untuk suaminya. “Aku mau berangkat ke kampus, jam sembilan aku ada kelas,” jelas Adara penuh semangat.
“Siapa yang mengizinkan kamu untuk pergi dari rumah?” tanya Raka dengan nada tinggi.
“Aku seorang mahasiswa, dan aku punya kewajiban untuk menuntut ilmu,” jelas Adara.
“Kamu tidak boleh pergi dari rumah ini!”
“Kenapa aku tidak boleh pergi kuliah? apa alasanmu melarangku pergi?” tanya Adara.
Selama ini Adara tak pernah dibentak atau diperlakukan kasar oleh orang tuanya. Baru sehari menikah dan menjadi istri dari Raka Arsenio, Adara merasa begitu tertekan karena perlakuan Raka yang begitu kasar kepadanya.
“Hari ini kamu tak usah kemana-mana, biar nanti aku yang urus semua!”
“Tapi!”
“Apa kamu tuli, hah! aku sudah melarangmu untuk pergi. Kamu masih saja tetap membantah perkataan ku!” ucap Raka kesal.
“Lelaki macam apa kamu ini, Raka!” bentak Adara.
“Berani kamu berkata seperti itu kepadaku! Lim, bawa dan kurung dia di kamar. Jangan sampai dia keluar dari kamar-nya.”
Setelah perdebatan di meja makan, Lim dengan sigap membawa Adara ke kamarnya karena Adara sudah melawan dan tak menuruti apa kemauan Raka.“Maafkan saya, Nyonya!” jelas Lim merasa bersalah.“Tidak apa-apa kok, Pak. Lagi pula ini salahku,” ucap Adara memberikan senyum tipis kepada Lim.Pintu kamar pun dikunci dari luar, Adara hanya bisa pasrah dengan kenyataan jika dari awal pernikahannya dengan Raka hanya karena bisnis, namun itu semua dilakukan demi menyelamatkan perusahaan Ayahnya.“Terserah kamu saja Raka, kamu mau mengurungku atau membunuhku sekalipun aku tak peduli. Andai saja Ibu masih ada, mungkin dia akan memelukku dan menguatkanku saat ini. Aish … kenapa kamu menjadi cengeng seperti ini, Adara.”Dia lebih menghabiskan waktu untuk membaca buku, dan menghafal apa yang telah dipelajarinya di kampus. Meski keadaan yang memaksa-nya untuk kuat, Adara selalu yakin di ujung sana akan ada kebahagian untuknya.Sementara Raka yang sudah sampai di kantor tengah kedatangan tamu agung. “Pe
Sudah dua hari Adara tak bisa tidur, dia terus menangis meratapi hidupnya. Apa lagi kali ini dia sangat merindukan Ayahnya. Matanya sembab dan kuyu. Adara memandang matahari pagi yang baru saja terbit dari jendela kamarnya. Suara seseorang membuka kunci dan pintu pun terbuka. “Selamat pagi, Nyonya. Anda sudah diperbolehkan keluar dari kamar oleh, Tuan!” jelas bu Hanifah. Adara tak menggubris perkataan bu Hanifah, dia hanya memandangi pepohonan yang hijau di luar sana. “Nyonya, apa anda mendengar perkataan saya?” tanya bu Hanifah sekali lagi. Adara menatap kearah bu Hanifah dengan lesu. “Iya, saya mau ke kamar mandi dulu.” Bu Hanifah sebenarnya sangat kasihan kepada Adara, melihat wajahnya yang kuyu membuat dia sangat prihatin pada wanita yang baru saja menyandang status menjadi nyonya Raka. Bu Hanifah menyambut hangat Adara yang baru saja tiba di ruang makan. “Anda harus makan, jika tak makan nanti Tuan akan memecat saya!” jelas bu Hanifah memohon. Dengan segala rayuan akhirnya
Pagi ini rumah sangat terasa sepi setelah kedua belas asisten rumah tangga di pecat oleh Raka, Adara yang sedari pagi-pagi buta sudah terbangun dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Mulai dari menyapu seisi rumah dan mencuci pakaian, dia tak mau jika nanti suaminya bangun rumah masih kotor dan juga sarapan belum tersedia di meja. Yang tersisa hanya tinggal bu Hanifah saja. Beliau adalah orang yang paling dituakan di rumah Raka. Semua yang memantau keseharian Adara adalah bu Hanifah. “Semangat Adara, semua ini demi Ayah. Jika perkataannya benar lagi, aku tak mau perusahaan ayah bangkrut dan ayah menjadi sakit gara-gara melihat perusahaannya hancur,” jelas Adara yang sedang membuatkan sarapan untuk suaminya. Sejak tadi pagi bu Hanifah sudah mengamati Adara yang sedang beres-beres rumah dengan giat. Dia tak mau jika Raka memarahinya lagi. “Maafkan saya, Nyonya. Tak bisa membantu anda, ini sudah menjadi keputusan beliau,” lirih bu Hanifah. Pukul tujuh tepat Raka sudah ada di meja
Setelah pulang dari rumah sakit, Raka meminta Adara untuk mempraktekan apa yang dikatakan dokter Jaka tadi siang.“Nih, cepat lakukan!” pinta Raka seraya melempar minyak gosok ke arah Adara.Adara mengambil minyak gosok dan melihat Raka dengan tatapan tajam. “Apa … aku harus memijat kakimu dengan minyak ini?” ucap Adara.Raka mengangguk dan melipat kedua tangannya di dada. “Cepatlah, aku sudah tidak sabar ingin di pijat oleh mu,” jelas Raka yang sudah siap di atas ranjang.Mau tak mau Adara naik ke atas ranjang, dan memperlakukan Raka selayaknya pasien. Adara melakukan semua yang diminta dokter Jaka. Jika bukan karena permintaan dokter jaka mana mau Adara melakukannya.Raka menahan senyumnya, ia sangat senang mengerjai Adara dengan cara menyuruh-nyuruhnya. Adara masih fokus memijat dan tak menggubris perkataan Raka.“Jika ada peluang untuk balas dendam, ingin sekali aku membalas semua yang telah kamu lakukan kepadaku, tetapi kenapa aku tak bisa?” batinya.Raka terus menatap wajah cant
“Kamu harus semangat, ingat Adara hanya delapan bulan saja kamu menderita. Setelah itu kamu bisa menghirup udara segar di luar sana!” batinnya.Dari dulu Adara tak pernah melakukan pekerjaan yang sering para asisten rumah tangganya lakukan, namun setelah menikah dengan Raka, Adara harus merasakan semua-nya.“Adara!” teriak Raka.Adara yang sedang membersihkan rak buku di ruang baca lari tergopoh-gopoh menghampiri Raka yang berada di kamar. Ia terkejut melihat Raka yang sudah tergeletak di lantai.“Astaga! Kamu kenapa? Kenapa bisa jatuh begini!” ucap Adara seraya membantu Raka dengan sekuat tenaga duduk di ranjang.Raka tak bisa berbuat apa-apa, yang ia rasakan hanya rasa sakit yang sangat teramat di bagian tangan dan kepalanya.Raka terdiam, dia masih syok dengan kejadian yang baru saja ia alami. “Raka, lihat aku. Kamu baik-baik saja kan?” tanya Adara, ia meraup wajah Raka dan menatap-nya khawatir.“Minumlah dulu, aku akan memanggil bu Hanifah sebentar,” ucap Adara bergegas beranjak d
Adara terkejut mendengar perkataan Ayah nya, kenapa sang Ayah bisa berkata demikian. Apa seorang ayah bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya? “Tenang saja, Raka memperlakukanku dengan baik kok. Bahkan kedua orang tuanya pun sangat menyayangiku!” jelsa Adara. “Syukurlah kalau begitu, Ayah jadi tenang mendengarnya!” Senyum mengembang di wajah cantik Adara, dia tak mau memperlihatkan wajah sedihnya di depan sang Ayah, cukup dia yang merasakan dan memendam nya sendiri. “Oh, iya. Bagaimana dengan perusahaan? Apa semua berjalan dengan baik?” tanya Adara. Handoko tersenyum simpul di hadapan Adara, Handoko berbincang panjang lebar tentang perusahaan yang sekarang sudah semakin maju pesat. “Alhamdulillah, berkat Raka semua kembali normal. Ayah sudah bisa melunasi semua hutang ke bank dan para pekerja pun sudah mendapat upah yang layak,” jelas Handoko. “Syukurlah kalau begitu, aku senang mendengarnya!” Handoko tak bisa berlama-lama bersama sang anak, ia harus kembali ke kantor karena
“Dasar laki-laki kurang ajar, bisa-bisanya dia nyosor seperti itu. Awas saja, jika dia berani seperti itu lagi, aku tak akan segan memukul kepalanya.”Raka tertawa kecil mendengar perkataan Adara, dia hanya bisa menyampaikan isi hatinya. Si manusia setengah serigala itu kini bisa selembut dan sehangat itu. Apa jangan-jangan semua ada kaitannya dengan novel yang ia baca tadi?Adara mengerutkan keningnya dengan ekspresi tak suka. “Apa aku tak salah dengar, aku harus tidur denganmu?” ucap Adara.Raka tersenyum manis di depan Adara, ia sengaja melakukan itu untuk menarik hati Adara supaya ia mau menuruti apa yang Raka mau.“Memangnya kamu tak mau tidur dengan suamimu ini?” jelas Raka meyakinkan.Ia menatap Raka dengan sinis, bagaimana bisa Raka mencari kesempatan dalam kesempitan. Bukankah tadi dia sedang tidak enak badan hingga pagi tadi membuat orang yang ada di rumah itu panik!“Aku tak mau! Lagi pula kamu bukan tipeku, ingat kita menikah tidak karena cinta!” tegas Adara.Raka terus me
Setiap hari Adara melatih Raka dengan penuh semangat, kali ini dia mengajaknya untuk berkeliling mansion. Tak terasa sudah 4 bulan berlalu mereka berlatih namun belum saja ada kemajuan.“Kamu kenapa, nampak lesu sekali?” tanya Adara.Raka memalingkan pandangan dan terdiam. Adara berlutut di hadapan Raka dan memandangi wajah nya yang murung.“JIka kamu mau, aku bisa menjadi pendengar yang baik untuk mu!” jelas Adara tersenyum manis.Ia menatap Adara dengan lesu. “Menurutmu aku lelaki seperti apa? apa aku lelaki yang sangat menyedihkan dan tak berguna?” tanya Raka.Sejenak Adara terdiam, kenapa Raka bisa berkata demikian, sebenarnya ada apa dengan Raka?“Maksud nya?”“Iya, katakan saja dengan jujur. Aku lebih menyukai wanita yang jujur tanpa topeng di depanku!”Dalam hati memang Adara sangat kesal jika Raka sudah dalam mode menyebalkan, namun kali ini Raka berkata yang sebenarnya.“Kamu itu adalah lelaki yang diberi keistimewaan oleh Tuhan, buktinya di saat kamu seperti ini masih banyak