Share

Pasrah Pada Takdir

Setelah perdebatan di meja makan, Lim dengan sigap membawa Adara ke kamarnya karena Adara sudah melawan dan tak menuruti apa kemauan Raka.

“Maafkan saya, Nyonya!” jelas Lim merasa bersalah.

“Tidak apa-apa kok, Pak. Lagi pula ini salahku,” ucap Adara memberikan senyum tipis kepada Lim.

Pintu kamar pun dikunci dari luar, Adara hanya bisa pasrah dengan kenyataan jika dari awal pernikahannya dengan Raka hanya karena bisnis, namun itu semua dilakukan demi menyelamatkan perusahaan Ayahnya.

“Terserah kamu saja Raka, kamu mau mengurungku atau membunuhku sekalipun aku tak peduli. Andai saja Ibu masih ada, mungkin dia akan memelukku dan menguatkanku saat ini. Aish … kenapa kamu menjadi cengeng seperti ini, Adara.”

Dia lebih menghabiskan waktu untuk membaca buku, dan menghafal apa yang telah dipelajarinya di kampus. Meski keadaan yang memaksa-nya untuk kuat, Adara selalu yakin di ujung sana akan ada kebahagian untuknya.

Sementara Raka yang sudah sampai di kantor tengah kedatangan tamu agung. “Pengantin baru kenapa masih sibuk ke kantor, bukankah kamu bisa mengambil libur dan menghabiskan waktu untuk bulan madu!” jelas Hartawan yang tengah duduk di single sofa di ruangan Raka.

Raka tersadar dari lamunannya dan menatap ayahnya. “Sejak kapan Ayah ada di situ?” tanya Raka.

“Sudah beberapa menit yang lalu, Ayah kesini karena mendengar kamu kembali lagi ke kantor. Ayah sangat senang karena kamu tak patah semangat dengan keadanmu yang sekarang. Kapan kamu akan memberikan cucu untuk Ayah? Ayah sudah tak sabar ingin sekali menimang cucu darimu,” jelas Hartawan penuh senyuman.

“Cucu dari mana, yang ada aku tak suka dengan wanita itu, dia wanita yang pembanggakang dan menjengkelkan. Berbeda jauh dengan Viona yang cantik dan juga pintar,” batinnya.

Hartawan menatap anak bungsunya itu yang terus melamun. “Oh iya, ngomong-ngomong kapan kamu akan melanjutkan terapi?” tanya Hartawan.

Raka menatap lelaki paruh baya itu dengan lesu. “Entahlah, mungkin setelah beberapa pekerjaan yang telah lama aku tinggalkan ini selesai, aku akan menjadwalkan ulang berkunjung ke dokter terapis,” jelas Raka.

“Kamu harus segera sembuh dan bisa berjalan, kelak jika kamu memiliki anak. Kamu harus mengajarinya berbisnis yang sukses sepertimu,” ucap Hartawan dengan bangga.

“Itu pasti, Ayah. Aku akan mengajarkan anakku sukses seperti Dady-nya.” ucap Raka dengan bangga.

Setelah berbincang-bincang santai dengan anak bungsunya, Hartawan segera kembali ke kantor utama karena dia harus menghadiri rapat.

Dalam pikiran Raka hanya ada Viona yang paling ia cinta, dia tak peduli orang lain akan berkata apa tentang dirinya dengan Viona.

Raka mengambil ponselnya dan menghubungi Viona yang sudah lama ia rindukan.

“Hai, Babe!” ucap Raka dalam panggilan telepon.

“Raka, akhirnya kamu menghubungiku juga!” sahut Viona dengan penuh senyuman.

“Kamu di mana, aku sangat merindukanmu, Sayang!” ucap Raka.

“Aku di tempat biasa, apa kamu mau kemari?” tanya Viona dengan mesra.

“Tentu saja, setelah urusanku selesai aku akan menemuimu di tempat biasa. Kali ini kamu harus membayar semua kerinduan ku ini, Baby!” ucap Raka dengan penuh semangat

Setelah selesai berbincang dengan Viona di telepon, Raka segera ke ruang rapat. Dia dibantu Lim menuju ruang rapat.

Semua para staf dan pegawai yang lainnya hadir, rapat pun dimulai. Raka sudah tak sabar ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan bertemu dengan Viona untuk melepas rindunya.

***

Terdengar suara orang yang sedang membuka kunci pintu kamar dari luar. “Nyonya, saya mau mengantarkan makan malam untuk anda. Sepertinya tuan akan pulang larut malam,” ucap bu Hanifah.

“Simpan saja di meja, nanti aku makan.”

Seorang pelayan menaruh nampan yang berisikan makan malam, ia melihat nampan yang tadi siang masih utuh dan tak tersentuh sedikitpun oleh Adara. “Maaf, Bu. Makan siang nya masih utuh belum di makan,” ucap si pelayan kepada bu Hanifah.

Bu Hanifah yang melihatnya langsung menatap Adara dengan penuh tanya. “Nyonya, kenapa anda melewatkan makan siang anda? Tuan memang marah, tetapi dia menyuruh saya memberi anda makan!” jelas Bu Hanifah.

“Aku tidak lapar, Bu. Bawa saja kembali keluar,” pinta Adara.

“Nanti jika, Nyonya. Sakit bagaimana?” jelas bu Hanifah khawatir.

“Tenang saja, saya tidak akan mati hanya gara-gara tidak makan satu hari. Tapi maaf bisa tinggalkan saya sendiri!” pinta Adara.

Mereka segera pergi meninggalkan kamar Adara dan menguncinya kembali. Bagaimanapun mereka hanya menjalankan tugas dari tuannya.

“Hh! Satu hari aku tak makan, tak akan membuatku mati kelaparan,” ucap Adara.  

Setelah selesai rapat Raka bergegas menemui Viona yang sudah lama ia rindukan. Mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen milik Viona.

Raka sangat menikmati perlakuan Viona, sejak dulu hanya Viona yang bisa memuaskan hasrat Raka. Meski Raka cacat tetapi Viona tetap bersamanya.

“Apa benar rumor yang beredar jika kamu telah menikah, Sayang?” tanya Viona yang masih berada di pelukan Raka.

Raka menghela nafas lirih. “Kamu tahu dari mana jika aku sudah menikah?”

“Aku tahu dari rekan kerjamu yang mengunjungi bar tempo hari, benar kamu menikah dengan anak rekan bisnis, Ayah?”

“Iya, memang aku sudah menikah. Tetapi aku tak mencintainya, aku hanya mencintamu Viona. Aku sama sekali tak menyentuh wanita itu, lagi pula dia bukan tipeku!” jelas Raka.

“Yang benar, tetapi kenapa pernikahan kalian tak diadakan dengan meriah?” tanya Viona.

“Itu semua karena keinginanku, dan ayah tak bisa menolak apa yang aku mau. Yang terpenting kan aku sudah menjalankan perintah ayah untuk menikah dengan wanita itu!” jelas Raka.

Viona terdiam dan menenggelamkan wajahnya. “Kamu kenapa?” tanya Raka.

“Jika semua orang sudah tahu tentang pernikahan kamu, bagaimana denganku? Apa aku hanya dijadikan wanita pemuas mu saja?” tanya Viona murung.

“Sebenarnya jika kamu mau, aku bisa menikahimu sekarang juga. Tetapi aku tak bisa melakukannya, jika itu terjadi perusahaan yang aku pimpin akan diambil alih oleh si Bruno. Kamu tahu jika kakak ku yang satu itu terkenal sangat kejam.”

Viona tak bisa berkata apa-apa lagi jika Raka sudah menyangkut pautkan dengan Bruno. “Ku tunggu dudamu saja, daripada nanti aku yang terkena masalah dengan, kak Bruno,”

“Memangnya kamu mau menungguku sampai aku berubah status menjadi duda?” tanya Raka dengan tersenyum.

“Iya, aku akan menunggumu sampai kamu menjadi duda. Duda tampan.”

Raka mengecup pucuk kening Viona dengan lembut dan mendekapnya erat tubuhnya. Raka hanya punya sedikit waktu dengan Viona, dia harus segera pulang untuk mengurus istri barunya itu yang ia kurung di kamar.

Sesampainya di rumah, Raka bergegas menuju kamar Adara. Dia hanya ingin melihat kondisi istrinya itu baik-baik saja di dalam kamar.

Pintu pun terbuka lebar, Raka dengan kursi rodanya masuk ke dalam kamar. “Ternyata dia sudah tidur, jika kamu membangkang lagi aku tak akan segan untuk mengantarkanmu ke rumah orang tuamu dan mencabut semua kerja sama antara perusahaan ku dengan perusahaan, Ayah” lirih Raka.

Adara yang belum tidur mendengar perkataan Raka, dia hanya bisa memendam rasa sakit hatinya dan meneteskan air mata.

“Tega sekali kamu,” batinnya terluka.

Raka segera keluar dari kamar dan kembali mengunci pintu. “Jika bukan karena terpaksa, mana mau aku menikahimu. Apa lagi kamu bukan tipeku. Ini semua karena si Bruno sialan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status