Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat.
Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat. "Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak. Tangannya bergerak membuka selimut tebal yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, lalu disusul dengan membuka kelopak mata yang masih terasa berat. "Akan ada drama apalagi hari ini?" Meski dengan ogah-ogahan, tapi Jenna tetap memaksakan diri untuk mengambil posisi duduk. "Jenna! Kalau tidak bangun, Ayah akan dobrak pintunya." Lagi, suara itu mengganggu gendang telinganya. "Iya, iya. Aku udah bangun, Ayah!" teriak Jenna dari dalam kamar. Bibirnya tak henti menggerutu, ketika suara sang ayah tak kunjung menghilang. "Langsung shalat shubuh! Udah gitu kamu turun ke bawah, bantuin mama masak." Jenna mencibir perkataan dari orang tuanya itu. Selama hampir 8 tahun hidup bersama dengan dua benalu, Jenna tak sama sekali ingin berbaur dengan dua benalu itu. Ayahnya saja yang terlalu berusaha untuk mendekatkan mereka semua, padahal Jenna sama sekali tidak ingin hidup bersama dengan dua benalu itu. Begitu suara sang ayah sudah tak terdengar, itu tandanya sang ayah sudah turun lagi ke lantai bawah. Jenna, gadis berusia 25 tahun itu melirik sosok wanita cantik—yang terpampang seperti nyata di figura foto. Foto wanita cantik dengan hijab itu adalah foto mendiang sang bunda, yang sudah lebih dulu pergi sejak 8 tahun yang lalu. "Udah 8 tahun aja ya, Bun? Tapi di 8 tahun itu, aku sama sekali nggak pernah menemukan diriku yang dulu." Enggan membohongi fakta di depan foto sang ibunda, Jenna menahan sesak di dalam hatinya. Sekelebat ingatan tentang masa lalu yang menjadi titik awal dirinya yang sekarang, membuat Jenna mengepalkan kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh. "Aku nggak sangka, kalau Ayah bisa setega itu sama Bunda. Dan lucunya, Ayah bilang melakukan kesalahan itu karena cinta? Apa itu cinta? Apa cinta memang membuat seseorang melakukan kesalahan besar di hidupnya?” Jenna meremas dadanya, selama 8 tahun berlalu—luka itu sama sekali tidak sembuh. Bayangan demi bayangan kesakitan sang ibunda sejak insiden perselingkuhan itu, terus saja terbayang di pikiran Jenna. “Semua terjadi karena benalu itu,” ucap Jenna saat teringat wajah ibu tirinya yang selama 8 tahun ini hidup bersamanya *** Mengabaikan dua tatapan intimidasi dari dua orang perempuan yang dibenci, seorang gadis terus berjalan menuruni undakan anak tangga dengan bersiul ceria. Suasana hatinya hari ini cukup membaik, karena pagi ini dia akan menghadiri acara seminar kepenulisan di salah satu SMA terkenal di Jakarta. Apa pun hal tentang buku, selalu cukup membangkitkan mood di hatinya. Meskipun saat tadi shubuh, suasana hatinya cukup kelam karena teringat masa lalu. “Bangun tidur kesiangan, tidak shalat shubuh, tidak membantu memasak juga. Mau jadi perempuan seperti apa kamu, Jenna?” Perkataan yang terkesan menyudutkan itu sama sekali tidak gadis itu gubris. Justru, dia malah menarik kursi untuk ikut sarapan bersama dengan tiga orang yang sudah lebih dulu duduk di sana. “Jangan sok tau kalau memang nggak tau kenyataannya, Tante. Aku bangun pagi dan shalat shubuh kok, cuma nggak bantu Tante masak aja. Rasanya, tanganku enggan memasak bersama pelakor. Upsss!" Jenna, gadis itu menutup mulutnya. Yang seolah lancang menyebut ibu tirinya itu pelakor. “Maaf ya Tante, bibir aku sukanya ceplas ceplos,” imbuh Jenna. "Jenna! Jaga bicara kamu sama Mama Dania," tegur sang ayah yang memperhatikan bagaimana Jenna memperlakukan istrinya dengan buruk. "Loh, aku bicara fakta Ayah. Tante Dania kan emang pelakor." Jenna tidak takut meskipun tatapan Dania dan Kiara, sudah menghunus tajam padanya. "Kak Jenna! Kak Jenna itu kenapa sih suka banget sebut Mama dengan sebutan pelakor? Aku tau, dulu Mama dan Ayah memang salah. Tapi itu udah masa lalu, Kak. Masa lalu itu sudah seharusnya dilupakan, nggak usah diungkit lagi." Kiara—puteri kedua sang ayah dengan Dania ikut menyahuti. Rasanya geram, saat setiap hari—Jenna memperlakukan sang Mama seperti itu. Melihat respon Kiara yang sok bijak, Jenna mengangguk-anggukkan kepalanya. Adik satu darahnya itu benar-benar ingin membuat namanya kian buruk, dan dia naik menjadi puteri kesayangan ayah ya? Ah, memikirkan itu—Jenna jadi ingat lagi masa lalu. Memang ya, bibit perebutnya pasti turun temurun. "Nggak usah sok bijak deh lo, Kiara! Lo hadir juga karena kesalahan mereka, 'kan?" Pertanyaan telak, Jenna layangkan pada adiknya itu. Tentu saja, kalimat yang Jenna lontarkan barusan—mengundang amarah bagi sang ayah. Meskipun pada kenyataannya benar, pria paruh baya itu tetap tidak menyukai sikap Jenna yang selalu mengungkit masa lalu. "Jenna! Ayah diam bukan berarti Ayah membiarkan kamu terus semena-mena pada Mama Dania dan adik kamu. Ayah diam hanya ingin tau, sampai di mana kamu menjelek-jelekkan mereka berdua lalu tersadar. Tapi ternyata, kamu masih menyimpan masa lalu itu sampai sekarang? Ayah kan sudah bilang, maafkan kesalahan Ayah di masa lalu. Ayah juga sudah minta maaf sama almarhumah bunda kamu. Lalu sekarang, kenapa setiap hari selalu saja mengungkit hal itu?" Farid—ayah Jenna menggeleng tak percaya pada puteri sulungnya. 8 tahun berlalu, seharusnya masa lalu pahit itu habis dimakan oleh waktu. Lalu kenapa Jenna tidak benar-benar melupakannya dan malah menyimpan rasa dendam? "Ayah kira, menjadi seorang penulis—kamu bisa bijak untuk hidup kamu. Jika begini, untuk apa kamu menjadi seorang penulis yang menjadi inspirasi orang, tapi kamu sendiri bersikap seperti ini?!" Dada Jenna naik turun, begitu mendengar ucapan demi ucapan sang ayah yang terlontar. Hatinya kian sesak, saat sang ayah membawa nama profesi yang selama ini Jenna puja. Bagi Jenna, menulis adalah hidupnya. Tanpa menulis, dia bisa mati. Menulis bukan hanya membuat suatu karya lalu terkenal begitu saja. Tapi melalui menulis itu, banyak hormon-hormon kortisol yang ikut keluar bersama luka-luka di hatinya. Selama 8 tahun ini, mendalami profesi yang masih banyak dipandang sebelah mata itu-membuat Jenna keluar dari keterpurukan yang disebabkan oleh sang ayah. Dan sekarang, saat sang ayah membawa nama profesinya atas sikap Jenna pada ibu tiri dan adiknya—Jenna tidak bisa tinggal diam. “Ayah pikir masa lalu itu akan hilang begitu aja, iya? Ayah pikir perbuatan Ayah nggak akan berdampak sama kehidupan aku? Ayah lihat aku sekarang!” Jenna berdiri, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. “Aku yang sekarang adalah hasil dari perbuatan Ayah di masa lalu. Ayah yang udah membentuk kepribadian lain di hidupku. Lalu sekarang Ayah masih bisa menyalahkan aku atas perbuatan Ayah di masa lalu? No, I don't accept it.” Jenna menggeleng tak percaya dengan sang ayah yang tidak berhenti melukai hatinya. Sekarang, gadis dengan rambut berwarna coklat mahoni itu menghembuskan nafas kasar. Matanya sudah tidak kuat untuk menahan air mata yang akan merebak. Air mata itu, sialnya terus mendesak turun untuk membasahi pipinya. Jenna benci keadaan seperti ini sebenarnya, terlihat lemah di hadapan dua benalu yang merusak kehidupan damainya. Tapi saat luka bertubi itu didapatkan dari sang ayah yang selalu dia percaya, Jenna tidak bisa untuk tidak menangis. “Aku yakin banget, dua perempuan iblis itu sedang menertawakan nasibku sekarang ini.” Ucapan Jenna yang diiringi tawa memilukan membuat Farid menoleh. Sekilas, dirinya memang melihat ada senyuman di bibir sang istri-Dania. Tapi itu semua tidak mungkin terjadi. Dania juga menyayangi Jenna, sama halnya dengan Kiara. “Kak Jenna, Kakak nggak boleh ngomong gitu. Aku sama Mama sayang sama Kak Jenna, mana mungkin kami bahagia lihat Kak Jenna kacau? Justru aku menyarankan, gimana kalau Kakak aku antar untuk ketemu dokter jiwa? Siapa tau, jiwa Kakak memang diambang kewarasan.” Jenna tau, perkataan adiknya itu tidak lebih dari perkataan yang meledek dirinya. “Gimana kalau gue aja yang anter kalian berdua ke RSJ? Terutama Tante Dania. Tante Dania kan udah gila, soalnya hancurin rumah tangga sahabatnya sendiri.” Untuk selanjutnya, tawa Jenna meledak begitu saja. Meski tak urung, hatinya masih sakit luar biasa. Jenna hanya ingin, Dania dan Kiara tidak memandangnya dengan gadis lemah begitu saja. Dan perihal ucapan Jenna yang mengatakan jika Dania menghancurkan rumah tangga sahabat, itu memang benar. Bunda Salsa dan Dania adalah sepasang sahabat, mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku putih abu. Namun ya, namanya pelakor. Suami sahabatnya pun dengan lancang dicintai. Lihat saja sekarang, Dania memandang Jenna dengan amarah yang meletup di dada. Sedikit banyaknya dia tersinggung dengan ucapan Jenna. “Ah, lama-lama di sini hawanya jadi panas. Rumah ini yang tadinya adem, kerasa panas banget.” Jenna pura-pura menyeka keringat di dahinya. “oh iya lupa, kan ada dua iblis di rumah ini.” “Ayah, tolong dijaga dua iblis itu ya! Aku khawatir mereka keliaran keluar rumah, terus ngerusak rumah tangga orang lain lagi nanti.” Kalimat terakhir, Jenna ucapkan sembari mengerlingkan mata pada Dania dan Kiara. Setelahnya, gadis itu berlalu pergi usai membuat dua perempuan itu menahan amarah di meja makan. "Bunda, maafin Jenna kalau Jenna sekarang jadi kayak gini. Banyak hal yang berubah setelah kejadian itu."Sempat diinfokan jika Jenna mengalami kritis, pasca melahirkan secara Caesar. Reyhan beserta keluarga besarnya dan keluarga Jenna, mengalami kegundahan hati luar biasa. Mereka tak henti merapal do'a untuk Jenna, pun mengikuti semua perkembangan yang dijelaskan oleh dokter. Syukurnya, masa kritis yang sempat membuat mereka khawatir sepenuh hati itu pada akhirnya usai. Jenna kembali sadar setelah dia tertidur selama hampir seharian. Bahkan bayinya, belum sempat mendapatkan asi pertama setelah dilahirkan ke dunia. Perihal masalah yang membuat Jenna kritis. Selain adanya traumatis yang cukup mendalam, ada juga pendarahan yang membuatnya kekurangan darah. Alhasil, Reyhan mengerahkan semua orang yang bisa dia mintai tolong untuk mencarikan beberapa kantung darah. Syukurnya, semua sudah teratasi dalam tepat waktu. "Kita patut bersyukur, Pak. Bu Jenna mau berjuang untuk tetap bertahan," kata dokter yang menangani Jenna. Reyhan bahkan tak mampu lagi menyembunyikan air matanya. Dia sudah me
32 minggu kemudianMenjalankan hidup sebagai calon ibu, bagi Jenna bisa dibilang ada senangnya, ada juga tidak senangnya. Tapi jujur, senangnya lebih banyak dibandingkan tidak senangnya. Semasa hamil, Jenna justru merasa dirinya bak seorang ratu dalam rumah. Semua keinginan dan kebutuhannya dipenuhi dengan baik oleh sang suami dan keluarga. Bahkan perihal pekerjaan saja, Jenna tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan yang berat. Untuk hal yang tidak senang, Jenna cukup merasakan hormonnya turun naik. Dia tau, hal itu disebabkan oleh keadaannya yang sedang mengandung. Pernah satu waktu, Jenna ingin sekali seharian penuh bersama dengan Reyhan. Entah itu karena hormonal, atau ngidam yang katanya keinginan si cabang bayi. Jenna sebenarnya tak mempermasalahkan, jika sang suami menyanggupi. Hanya saja, dia merasa tidak enak—jika Reyhan harus mengabaikan pekerjaannya demi keinginan Jenna. Alhasil, Jenna yang menahan keinginan—sempat merasakan emosinya naik turun dan mood-nya hancur s
Setiap insan, memanglah tidak ada yang sempurna. Pasti ada cela di balik kesempurnaannya. Sama halnya dengan Reyhan, semasa pernikahan—dirinya merasa sudah cukup baik memperlakukan Cahaya. Meski mengaku tak cinta, tapi Reyhan begitu menyayangi Cahaya. Semua itu berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Namun Reyhan tak tau, jika pernyataan 'tak cinta' darinya—ternyata menyakiti hati sang istri, Cahaya. Sampai-sampai dia menahan rasa sakit itu bertahun-tahun lamanya. Terdengar tidak adil memang, saat Cahaya merasa sakit hati dengan tidak adanya pernyataan cinta itu. Dia justru menghadirkan sosok perempuan yang Reyhan cintai sejak dulu hingga kini. Membuatnya bersatu dengan perempuan yang ia kira, hadir hanya sebagai ibu pengganti untuk Anala. Setelah semua fakta itu terungkap, rasanya Reyhan merasa malu jika mengatakan dirinya suami yang baik untuk Cahaya. Nyatanya, dia tidak lebih dari seorang pria yang memupuk luka di hati perempuan baik hati seperti Cahaya. Reyhan tau,
Dalam hidup, hakikatnya terdapat dua hal yang dialami setiap insan. Sebuah kebahagiaan dan kesedihan. Tapi ada beberapa orang, yang mungkin saja diberikan kesedihan lebih lama untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal abadi. Salah satunya kebahagiaan yang kekal abadi adalah diberikannya surga dari Sang Maha Kuasa. Menilik kembali kehidupannya di masa lalu, bagi Jenna hidupnya pasang surut. Ada sedih dan ada juga bahagia. Kebahagiaan yang paling dirasakan, adalah saat keluarga kecilnya utuh dan saling menyayangi. Sementara kesedihan yang paling menyayat hati dirasakan, adalah ketika keluarga kecilnya hancur karena kesalahan sang ayah. Melempar dirinya ke masa lalu, bukan berarti Jenna ingin menyimpan perasaan dendam atas kesalahan sang ayah. Ataupun dirinya yang kembali membuka luka lama yang sulit untuk sembuh itu. Tapi dari kesedihan itu dirinya banyak belajar. Belajar bagaimana menjadi perempuan yang tidak goyah dengan seorang lelaki yang bermodalkan 'cinta', belajar menjadi perem
Sudah ada beberapa hari ini, Jenna bolak-balik ke rumah ayahnya untuk merawat sang ayah serta Dania—ibu tirinya yang sekarang sudah mulai bisa berjalan lagi. Tentu saja, apa yang Jenna lakukan atas izin dari suaminya sendiri—Reyhan Dirgantara. Pria itu, bahkan setiap hari menjelang sore—datang menjemput Jenna bersama Anala. Ayah dan anak perempuannya itu selalu kompak memakai baju dengan warna sama akhir-akhir ini setiap kali datang menjemput Jenna. Seperti sore ini, Reyhan dan Anala kompakan memakai baju berwarna maroon untuk menjemput Jenna. Kedatangan mereka, disambut tawa kecil dari Jenna yang merasa lucu dengan tingkah keduanya. "Jadi, hari ini temanya maroon?" tanya Jenna dengan senyum kecil di wajah. "Iya, Bunda. Malahan ya, tadi Papa maunya pake baju pink. Terus aku bilangin, emangnya Papa mau diledekin Bunda pake baju yang warnanya cewek banget. Eh, nggak jadi deh." Anala menyahuti pertanyaan Jenna sebelumnya. Anak gadis itu, menceritakan apa yang terjadi di rumah sebelum
Setelah hijrah, Jenna banyak sekali belajar lebih memperdalam lagi ilmu agama. Untuk yang kali ini, dia tidak ingin lagi salah melangkah di saat ujian datang. Tentu saja, apa yang dia lakukan di masa lalu—marah karena Allah memberikannya ujian lewat keluarga kecil yang hancur, Jenna malah melampiaskan kemarahan dalam bentuk kemaksiatan. Dia membuka kembali auratnya, dia tidak lagi rajin setiap hari membaca Alquran, dia tidak lagi melakukan sunnah-sunnah yang sangat dianjurkan, bahkan untuk shalat—dia sering sengaja telat, meskipun tidak sampai meninggalkan. Lewat hidayah yang dia jemput, dan dia dapatkan secara tak terduga. Usai almarhumah dokter Cahaya memintanya menjadi madu, Jenna merasakan jika dirinya sudah terlanjur jauh dari Allah. Maka sekarang yang dilakukan oleh Jenna, selain dia bergaul dengan orang-orang sholih. Dia juga belajar memperdalam ilmu agama seorang diri. Sebelum resmi menikah dengan Reyhan, dia juga sudah sering datang ke majelis ilmu. Apalagi setelah menika