Home / Rumah Tangga / Bukan Surga Impian / 4 : Tawaran Kedua

Share

4 : Tawaran Kedua

Author: Authorfii
last update Last Updated: 2024-11-04 17:31:49

Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun I*******m milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu.

“Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.

“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja. Apalagi memang Kiara dan ibunya adalah dua orang yang ikut andil dalam traumanya ini.

Jenna sedikit sengaja membuatnya terbatuk-batuk, karena sekarang kondisinya mulai tidak bersahabat. Pikiran Jenna melayang entah ke mana, banyak hal yang tiba-tiba dia pikirkan. Pacuan jantung di dalam sana pun, mulai tidak bisa dia kontrol. Semakin dibiarkan, malah semakin tak terkendali. Jenna tidak bisa menahan lagi, sesak di dadanya semakin menjadi.

Satu orang yang menjadi tujuan Jenna saat ini—dokter Cahaya. Hanya dia yang bisa menolong Jenna saat ini.

Dengan menahan sesak di dada, Jenna menekan nomor darurat di ponselnya. Ada beberapa detik sebelum panggilannya terjawab oleh dokter Cahaya.

“Halo, Jenna!” Jenna masih kesulitan bicara. Bayangan di mana dokter Cahaya memintanya untuk menjadi madu wanita itu tiba-tiba saja mengusik pikiran Jenna. Ingin egois karena dia tak ingin menyetujui permintaan wanita itu, tapi Jenna sangat membutuhkan pertolongan dokter Cahaya saat ini.

Sekarang persetan dengan permintaan itu. Jenna bisa seribu kali menolaknya jika dokter Cahaya kembali membicarakan hal itu. Lagipula, bisa saja dokter Cahaya mengatakan hal itu hanya sedang ada masalah dengan suaminya. Bukan benar-benar keinginan dari hati yang paling dalam.

“H-halo, Dok?” Tenggorokan Jenna tercekat, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dalam tenggorokannya. Ia kesulitan bicara ataupun bernafas melalui mulut.

Dokter Cahaya yang sepertinya tau dengan nada bicara Jenna, langsung melempar tanya. “Kamu kambuh kembali, Jenna?”

Jenna tidak menjawab melalui suara, tapi dia menganggukkan kepala meskipun dokter Cahaya tidak melihatnya.

“Kamu di mana sekarang? Tenang, kamu harus tenang! Jangan biarkan pikiran buruk meracuni kamu. Ayo, kamu gunakan teknik yang sudah kita pelajari waktu itu. Atur pernafasan kamu.” Dokter Cahaya menuntun Jenna untuk lebih rileks menghadapi kecemasannya yang kambuh.

“Sekarang kenapa? Kamu nggak akan kambuh kayak gini kalau tanpa sebab, kan?” Sesuai dugaan dokter Cahaya, Jenna memang sudah jarang kambuh jika tidak ada sebab.

“Bisa kamu tahan sebentar! Kamu kirim posisi kamu di mana via W******p sekarang." Pada akhirnya, Jenna menurut dengan mengirim lokasi pada dokter Cahaya.

Sementara di posisi dokter Cahaya saat ini, wanita itu tengah berada di ruang rawat. Semalam, dia mimisan parah dan dilarikan ke rumah sakit. Alhasil, siang ini Cahaya masih berada di rumah sakit dengan baju pasiennya.

Mendengar jika Jenna kesulitan mengontrol gejala kecemasannya, wanita itu sangat khawatir. Dia menduga pasti Jenna kambuh jika bukan karena kondisi di rumah, pasti karena melihat sesuatu yang seharusnya tidak gadis itu lihat.

Dengan sedikit terhuyung, Cahaya turun dari bangsal rumah sakit. Dia juga mencabut paksa selang infus yang ada di punggung tangannya. Sedikit perih dan mengeluarkan darah, tapi tidak apa-apa. Jenna membutuhkan pertolongannya.

“Kamu harus kuat, Cahaya!” Cahaya menyemangati dirinya sendiri kala merasakan kepalanya bak tertusuk ribuan jarum. Begitu sakit dan perih.

Tepat ketika tangan Cahaya menyentuh gagang pintu, sang suami datang dari luar dan terkejut dengan Cahaya yang hendak pergi.

“Sayang! Kamu mau ke mana?” Reyhan datang tepat waktu. Pria itu kembali menuntun Cahaya untuk berbaring di bangsal.

“Mas! Aku harus menemui Jenna, Mas! Dia butuh pertolonganku,” papar Cahaya.

“Jenna? Untuk apa kamu menemui gadis itu? Kamu lagi sakit, Cahaya!”

“Tapi Jenna juga sekarang butuh pertolonganku.” Cahaya melirih.

“Aku tau dia pasien kamu, tapi kamu saat ini lagi sakit. Biarkan saja dia, aku yakin dia pasti bisa menanganginya sendiri.” Reyhan tidak habis pikir dengan istrinya, yang begitu peduli pada keadaan Jenna. Sampai-sampai dia merelakan tubuhnya yang sakit parah untuk menemui gadis itu.

“Tapi, Mas?” Cahaya masih merengek. Jujur saja, Cahaya hanya takut jika Jenna tidak bisa mengontrol gejala itu hingga menyebabkannya hilang kesadaran.

“Biar aku yang cari dia, kamu di sini saja.”

***

Jenna berjalan dengan tertatih-tatih untuk sampai ke rumah sakit. Pasokan di dadanya kian menipis, seolah hampir habis dipakai berjalan dari parkiran menuju lobi rumah sakit.

“Suster! Bisa tolong panggilkan Dokter Cahaya?” Jenna menghentikkan salah seorang suster yang kebetulan lewat.

“Dokter Cahaya? Tapi dia sepertinya tidak masuk hari ini. Beliau sedang cuti,” jawab suster tersebut.

“Cuti? Ya sudah, terimakasih.”

Sepeninggal suster tadi, Jenna mengambil duduk di kursi tunggu. Dia sandarkan punggung pada kursi, lalu memejamkan matanya. Untuk beberapa saat, dia mencoba teknik pernafasan yang katanya berguna mengusir kecemasan.

Di saat fokus Jenna hampir berhasil, sebuah dering ponsel membuat konstrasi Jenna buyar seketika. Dilihatnya, itu adalah panggilan telepon dari dokter Cahaya. Maka dengan segera, Jenna pun mengangkat panggilan tersebut.

“Kamu di mana, Jenna? Aku mencarimu di lokasi yang kamu berikan, tapi tidak ada.” Dokter Cahaya langsung mencecarnya.

“Aku udah di lobi rumah sakit. Aku mau menemui Dokter, tapi katanya Dokter sedang cuti.”

“Aku di rumah sakit juga. Kamu tunggu di situ, biar aku ke sana.” Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Jenna memandang layar ponselnya tersebut dengan nanar.

Ternyata benar saja, tidak ada 5 menit Jenna menunggu—dokter Cahaya datang dari arah barat. Tapi … dia memakai baju pasien? Sebenarnya apa yang terjadi?

“Jenna! Bagaimana? Apa gejalanya sekarang sudah mereda?” Dokter Cahaya langsung mengambil duduk di sebelah Jenna. Wanita itu bahkan tidak segan-segan mempraktikkan bagaimana caranya melakukan teknik pernafasan untuk mengusir cemas.

"Bagaimana sekarang? Sudah mereda?" tanya Cahaya yang diangguki oleh Jenna.

"Aneh. Kenapa ada Dokter, gejalanya berangsur-angsur berkurang?" Jenna menggeleng tak percaya.

"Mungkin itu karena alam bawah sadar kamu sudah mencatat, kalau aku adalah penolong kamu. Alhasil, cukup dengan kehadiranku saja—gejala itu berkurang. Ini sugesti yang kamu buat tanpa sadar, Jenna." Jenna mengangguk saja sebagai respon. Ya! Mungkin saja memang seperti itu pada kenyataannya.

"Dokter? Dokter nggak salah pakai baju pasien kayak gini? Apa yang terjadi?" Akibat tergesa-gesa dan khawatir dengan keadaan Jenna, Cahaya tidak sempat untuk mengganti baju. Alhasil sekarang, Jenna pasti bertanya tentang keadaannya.

"Kita bicara di ruanganku yuk! Ada hal penting lainnya yang harus kubicarakan pada kamu."

Dua perempuan berbeda usia itu, saling merangkul satu sama lain. Keduanya berjalan beriringan menuju ruangan dokter Cahaya. Memang, jika orang lain melihatnya. Mungkin akan mengira jika Cahaya dan Jenna adalah adik dan kakak, karena keduanya begitu akrab. Padahal, status mereka hanyalah seorang dokter dan pasiennya.

Setibanya di ruangan dokter Cahaya, Jenna menuntun Cahaya untuk duduk di kursi kebesarannya. Jenna merasa, sekarang Cahaya lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Terbukti dari lengannya yang tadi dia rangkul.

"Apa yang terjadi, Dok? Dokter nggak kenapa-napa, kan?" Ada sorot kekhawatiran dari manik mata Jenna.

"Kamu masih ingat dengan tawaranku beberapa hari yang lalu, Jenna?" Bukannya menjawab pertanyaan Jenna, dokter Cahaya malah membahas topik lain.

"Ya, aku ingat. Dokter memintaku menjadi madu Dokter, bukan? Tapi itu nggak mungkin! Aku tau Dokter mungkin lagi ada masalah sama suami, terus kepikiran kayak gitu. Dokter nggak boleh lagi ngomong kayak gitu ya!"

Cahaya tersenyum dengan respon Jenna. Wanita itu kembali meraih tangan Jenna yang berada di atas meja.

"Jenna, semua itu benar. Aku benar-benar memintamu untuk menjadi maduku, tapi itu semua bukan tanpa alasan. Dan ini tawaran kedua untuk kamu, maukah kamu menjadi maduku?" Mulut Jenna sedikit terbuka ketika Cahaya mengatakan hal itu. Dia benar-benar syok dengan perkataan Cahaya.

"Dok, itu nggak mungkin!" Jenna menggelengkan kepala.

"Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Surga Impian    52 : Akhir Semua Luka

    Sempat diinfokan jika Jenna mengalami kritis, pasca melahirkan secara Caesar. Reyhan beserta keluarga besarnya dan keluarga Jenna, mengalami kegundahan hati luar biasa. Mereka tak henti merapal do'a untuk Jenna, pun mengikuti semua perkembangan yang dijelaskan oleh dokter. Syukurnya, masa kritis yang sempat membuat mereka khawatir sepenuh hati itu pada akhirnya usai. Jenna kembali sadar setelah dia tertidur selama hampir seharian. Bahkan bayinya, belum sempat mendapatkan asi pertama setelah dilahirkan ke dunia. Perihal masalah yang membuat Jenna kritis. Selain adanya traumatis yang cukup mendalam, ada juga pendarahan yang membuatnya kekurangan darah. Alhasil, Reyhan mengerahkan semua orang yang bisa dia mintai tolong untuk mencarikan beberapa kantung darah. Syukurnya, semua sudah teratasi dalam tepat waktu. "Kita patut bersyukur, Pak. Bu Jenna mau berjuang untuk tetap bertahan," kata dokter yang menangani Jenna. Reyhan bahkan tak mampu lagi menyembunyikan air matanya. Dia sudah me

  • Bukan Surga Impian    51 : Bertemu Sang Madu

    32 minggu kemudianMenjalankan hidup sebagai calon ibu, bagi Jenna bisa dibilang ada senangnya, ada juga tidak senangnya. Tapi jujur, senangnya lebih banyak dibandingkan tidak senangnya. Semasa hamil, Jenna justru merasa dirinya bak seorang ratu dalam rumah. Semua keinginan dan kebutuhannya dipenuhi dengan baik oleh sang suami dan keluarga. Bahkan perihal pekerjaan saja, Jenna tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan yang berat. Untuk hal yang tidak senang, Jenna cukup merasakan hormonnya turun naik. Dia tau, hal itu disebabkan oleh keadaannya yang sedang mengandung. Pernah satu waktu, Jenna ingin sekali seharian penuh bersama dengan Reyhan. Entah itu karena hormonal, atau ngidam yang katanya keinginan si cabang bayi. Jenna sebenarnya tak mempermasalahkan, jika sang suami menyanggupi. Hanya saja, dia merasa tidak enak—jika Reyhan harus mengabaikan pekerjaannya demi keinginan Jenna. Alhasil, Jenna yang menahan keinginan—sempat merasakan emosinya naik turun dan mood-nya hancur s

  • Bukan Surga Impian    50 : "Selamat tidur, Ya Zawjati."

    Setiap insan, memanglah tidak ada yang sempurna. Pasti ada cela di balik kesempurnaannya. Sama halnya dengan Reyhan, semasa pernikahan—dirinya merasa sudah cukup baik memperlakukan Cahaya. Meski mengaku tak cinta, tapi Reyhan begitu menyayangi Cahaya. Semua itu berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Namun Reyhan tak tau, jika pernyataan 'tak cinta' darinya—ternyata menyakiti hati sang istri, Cahaya. Sampai-sampai dia menahan rasa sakit itu bertahun-tahun lamanya. Terdengar tidak adil memang, saat Cahaya merasa sakit hati dengan tidak adanya pernyataan cinta itu. Dia justru menghadirkan sosok perempuan yang Reyhan cintai sejak dulu hingga kini. Membuatnya bersatu dengan perempuan yang ia kira, hadir hanya sebagai ibu pengganti untuk Anala. Setelah semua fakta itu terungkap, rasanya Reyhan merasa malu jika mengatakan dirinya suami yang baik untuk Cahaya. Nyatanya, dia tidak lebih dari seorang pria yang memupuk luka di hati perempuan baik hati seperti Cahaya. Reyhan tau,

  • Bukan Surga Impian    49 : Bukan Surga Impian

    Dalam hidup, hakikatnya terdapat dua hal yang dialami setiap insan. Sebuah kebahagiaan dan kesedihan. Tapi ada beberapa orang, yang mungkin saja diberikan kesedihan lebih lama untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal abadi. Salah satunya kebahagiaan yang kekal abadi adalah diberikannya surga dari Sang Maha Kuasa. Menilik kembali kehidupannya di masa lalu, bagi Jenna hidupnya pasang surut. Ada sedih dan ada juga bahagia. Kebahagiaan yang paling dirasakan, adalah saat keluarga kecilnya utuh dan saling menyayangi. Sementara kesedihan yang paling menyayat hati dirasakan, adalah ketika keluarga kecilnya hancur karena kesalahan sang ayah. Melempar dirinya ke masa lalu, bukan berarti Jenna ingin menyimpan perasaan dendam atas kesalahan sang ayah. Ataupun dirinya yang kembali membuka luka lama yang sulit untuk sembuh itu. Tapi dari kesedihan itu dirinya banyak belajar. Belajar bagaimana menjadi perempuan yang tidak goyah dengan seorang lelaki yang bermodalkan 'cinta', belajar menjadi perem

  • Bukan Surga Impian    48 : Sindrom Couvade

    Sudah ada beberapa hari ini, Jenna bolak-balik ke rumah ayahnya untuk merawat sang ayah serta Dania—ibu tirinya yang sekarang sudah mulai bisa berjalan lagi. Tentu saja, apa yang Jenna lakukan atas izin dari suaminya sendiri—Reyhan Dirgantara. Pria itu, bahkan setiap hari menjelang sore—datang menjemput Jenna bersama Anala. Ayah dan anak perempuannya itu selalu kompak memakai baju dengan warna sama akhir-akhir ini setiap kali datang menjemput Jenna. Seperti sore ini, Reyhan dan Anala kompakan memakai baju berwarna maroon untuk menjemput Jenna. Kedatangan mereka, disambut tawa kecil dari Jenna yang merasa lucu dengan tingkah keduanya. "Jadi, hari ini temanya maroon?" tanya Jenna dengan senyum kecil di wajah. "Iya, Bunda. Malahan ya, tadi Papa maunya pake baju pink. Terus aku bilangin, emangnya Papa mau diledekin Bunda pake baju yang warnanya cewek banget. Eh, nggak jadi deh." Anala menyahuti pertanyaan Jenna sebelumnya. Anak gadis itu, menceritakan apa yang terjadi di rumah sebelum

  • Bukan Surga Impian    47 : Hakikat Ikhlas

    Setelah hijrah, Jenna banyak sekali belajar lebih memperdalam lagi ilmu agama. Untuk yang kali ini, dia tidak ingin lagi salah melangkah di saat ujian datang. Tentu saja, apa yang dia lakukan di masa lalu—marah karena Allah memberikannya ujian lewat keluarga kecil yang hancur, Jenna malah melampiaskan kemarahan dalam bentuk kemaksiatan. Dia membuka kembali auratnya, dia tidak lagi rajin setiap hari membaca Alquran, dia tidak lagi melakukan sunnah-sunnah yang sangat dianjurkan, bahkan untuk shalat—dia sering sengaja telat, meskipun tidak sampai meninggalkan. Lewat hidayah yang dia jemput, dan dia dapatkan secara tak terduga. Usai almarhumah dokter Cahaya memintanya menjadi madu, Jenna merasakan jika dirinya sudah terlanjur jauh dari Allah. Maka sekarang yang dilakukan oleh Jenna, selain dia bergaul dengan orang-orang sholih. Dia juga belajar memperdalam ilmu agama seorang diri. Sebelum resmi menikah dengan Reyhan, dia juga sudah sering datang ke majelis ilmu. Apalagi setelah menika

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status