Share

Bukan Surga Terindah
Bukan Surga Terindah
Penulis: Rusmiko157

Bab 1. Pernikahan Suamiku

Sah. Satu kata yang diserukan oleh para saksi itu akhirnya terdengar. Aida mengucap syukur kepada Sang Pencipta, karena prosesi ijab qabul antara Hanan Pramudya dan Rumi Adinda berjalan dengan lancar. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum tipis ketika dia memutar badan ke arah seorang gadis dengan kebaya putih yang terlihat begitu cantik.

"Ayo, Rum. Temui suamimu," ajak Aida seraya menggamit lengan sang mempelai wanita.

Rumi menyentuh tangan Aida yang berada di lengannya. Gadis cantik itu menahan Aida untuk tak beranjak lebih dulu.

"Suami kita, Mbak," ralat Rumi.

Sejenak ekspresi Aida tampak membeku. Lalu, wanita berusia 30 tahun itu mengulas senyum tipis di bibirnya.

"Iya, suami kita. Tapi untuk hari ini, Hanan adalah Raja dan kamu adalah Ratu-nya," balas Aida.

"Mbak–"

"Sudah, jangan berdebat sekarang. Hanan sudah menunggu kamu di sana," potong Aida.

Wanita anggun itu segera menarik Rumi untuk berdiri. Keduanya berjalan beriringan, dengan tangan Aida yang menggamit erat lengan Rumi. Semua mata memandang, semua orang yang hadir dalam acara itu menatap kedua wanita tersebut dengan ekspresi bermacam-macam. Beberapa tampak menitikkan air mata. Beberapa ada yang terlihat iba.

Tujuh tahun biduk rumah tangga Aida dan Hanan berlayar, mereka sepakat untuk menghadirkan Rumi sebagai madu dalam pernikahan. Permasalahan klasik rumah tangga, menjadi penyebabnya. Buah hati yang tidak kunjung hadir di tengah keluarga, membuat Aida menyarankan poligami pada suaminya. Saran yang awalnya ditentang keras oleh keluarga besar, terutama Hanan.

Aida sendiri yang memilih Rumi sebagai madunya. Bukan sahabat, bukan pula kerabat. Aida mengenal Rumi sebagai salah satu pengurus di Panti Asuhan Nurul Aini yang dikelola oleh keluarga sahabatnya. Tidak hanya sehari dua hari, Aida memikirkan masalah ini. Melalui doa panjang dan pergolakan batin yang pelik, akhirnya Aida berani mengambil keputusan tersebut. Keputusan yang membuatnya rela berbagi suami dengan wanita lain.

"Selamat, ya," ucap Aida saat mengantar Rumi pada Hanan yang duduk di hadapan Penghulu.

Hanya raut sendu yang tampak di wajah Hanan. Lelaki itu menatap Aida lekat-lekat, seolah khawatir jika istri pertamanya akan terluka oleh apa yang dia lakukan. Hanan sangat tahu, di balik senyum yang terukir di bibir Aida, tersimpan luka menganga yang dalam.

"Duduk sini, Rum," bisik Aida seraya menunjuk sisi Hanan.

Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam. Sama sekali tidak berani mengangkat pandangan, sekalipun pada lelaki yang kini telah resmi memperistri dirinya.

Setelah itu, Aida duduk di belakang kedua mempelai bersama ibu dan ibu mertuanya. Pelukan serta elusan yang mendarat di punggung Aida, adalah wujud kepedulian dari dua wanita tersebut. Seolah mereka tahu bahwa Aida hanya berpura-pura tegar menghadapi pernikahan suaminya dengan wanita lain.

“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya ibunya.

Aida melempar senyuman sambil meremas tangan sang ibu.

“Insyaallah, aku bahagia, Ma,” balas Aida pelan dengan netra menatap lurus pada sang ibu, seolah ingin menunjukkan bahwa apa yang dia katakan benar-benar berasal dari dalam hati.

“Surga untukmu, Nak,” timpal sang ibu mertua.

“Aamiin,” sahut Aida sambil tersenyum hangat.

Sampai prosesi itu selesai, senyum di wajah Aida seakan tidak pernah pudar. Yang mana hal itu mengundang decak kagum dari orang-orang yang menghadiri acara tersebut. Kekaguman terhadap seorang istri yang begitu tegar menyaksikan pernikahan kedua suaminya.

Namun, Aida tetaplah manusia biasa. Seorang wanita yang memiliki hati dan rasa. Ketika tamu undangan sedang menikmati jamuan makan, wanita itu pamit ke belakang.

“Ma, aku ke belakang dulu, ya. Mau telepon klien,” pamit Aida pada sang ibu.

“Lho, kamu terima job?” tanya Laila, ibunya.

“Enggak, Ma. Mau batalin job,” jawab Aida sambil nyengir.

“Oh, ya sudah. Cepat balik, ya. Khawatir nanti Hanan nyariin kamu,” pesan sang ibu.

“Iya, Ma. Bentar doang, kok,” balasnya.

Senyum di bibir Aida lenyap ketika wanita itu memutar badan. Aida berjalan cepat menuju kamar dengan tarikan napas yang terasa berat. Dadanya begitu sesak, hingga napasnya tercekat. Kedua netra wanita itu pun telah digenangi oleh cairan bening yang membuat pandangannya buram. Aida semakin mempercepat langkah, berharap masih memiliki tenaga untuk berjalan hingga ke kamar. Namun, sekuat apa pun dia mencoba, sendi-sendi di kakinya terasa begitu lemas. Kaki Aida tak sanggup lagi melangkah, hingga akhirnya wanita itu berbelok ke ruangan terdekat yang dia lihat.

Dalam ruangan itu, Aida tak kuasa lagi menahan tangis. Wanita itu duduk lemas di sofa lalu terisak dalam, sambil menekan dada yang terasa sesak. Aida tidak menyangka bahwa melihat suaminya menikah lagi akan terasa sesakit ini. Padahal. dia sudah berlatih sejak lama untuk menghadapi momen ini. Namun ternyata, dia tidak sekuat itu. Aida terlalu lemah untuk menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi satu-satunya wanita yang ada dalam hidup Hanan.

"Kenapa kamu harus menangis? Bukankah ini adalah pilihanmu?" tanya sebuah suara dari arah belakang Aida.

Wanita itu berpaling cepat ke arah sumber suara dan seketika kelopak matanya melebar.

"Kenan?" cicitnya.

Buru-buru wanita itu berpaling muka lalu menghapus air mata, kala mengetahui saudara kembar suaminya berdiri sambil memegang gelas di dekat jendela. Sungguh, Aida tidak melihat lelaki itu sebelumnya. Dia pikir, dia hanya seorang diri di sana. Namun, ternyata Aida keliru.

“Gimana rasanya ditinggal nikah, Aida? Sakit?” tanya Kenan dengan senyum miring dan satu alis yang terangkat.

Kenan menyesap cairan berwarna merah dalam gelas berkaki di tangannya. Lelaki itu mendengkus pelan, lalu berjalan ke arah Aida dengan sebelah tangan yang terselip di saku celana. Kemeja batik lengan panjang yang membalut tubuh gagah lelaki itu, sangat kontras dengan jenis minuman dalam gelasnya.

"Kamu itu bodoh!" seloroh Kenan seraya berjalan mendekat lalu berhenti di dekat sofa. Memandang Aida beberapa saat, lelaki itu lantas menyesap red wine di gelasnya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Aida? Bukankah seharusnya kamu menikmati pesta di luar sana bersama suami dan madumu?" tanya Kenan.

Aida membuang pandangan. Wanita itu tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Kenan. Apa yang dia lakukan di sana? Menangisi takdir pilihannya sendiri? Sungguh menyedihkan!

Sebuah hela napas panjang dan dalam terdengar, sesaat sebelum Kenan mendaratkan tubunya di samping Aida.

Wanita itu beringsut menjauh, menjaga jarak dari Kenan. Yang mana aksi itu mengundang tawa ringan sang adik ipar.

"Kenapa menjauh? Takut aku ngapa-ngapain kamu?" ejek Kenan yang lantas menyesap minuman dalam gelas, tanpa melepas pandangan dari Aida.

Ada beberapa alasan mengapa Aida tidak bisa terlalu dekat dengan lelaki itu. Selain karena Kenan adalah adik iparnya, juga karena masa lalu yang pernah ada di antara mereka. Jauh sebelum Aida dan Hanan saling mengenal, Kenan lebih dulu mengisi hati Aida. Kembar fraternal, membuat Aida menganggap sekilas kemiripan di antara mereka hanya kebetulan semata. Wanita itu sama sekali tidak tahu bahwa Hanan dan Kenan adalah saudara satu rahim yang pernah berbagi plasenta. Sampai akhirnya mereka dipertemukan dalam acara lamaran.

"Kamu tahu, kan, aku nggak suka bau minuman keras," kata Aida, mencari alasan sekenanya.

Kenan mengangkat gelas di tangan lalu menggoyang-goyangkan cairan merah di dalamnya. Sejenak kemudian, lelaki itu tersenyum miring.

"Tenang saja, aku nggak akan mabuk hanya dengan segelas minuman," ujar lelaki itu.

Aida merasa tidak nyaman. Wanita itu menoleh pada Kenan lantas berkata, "Aku lagi pengin sendiri. Bisa minta tolong tinggalkan aku sendiri?”

"Supaya kamu bisa meratapi suamimu yang sedang bahagia dengan wanita lain?" sambar Kenan dengan nada mengejek.

"Kenan!" tegur Aida.

Bukannya berhenti mengejek, lelaki itu justru memutar badan ke arah Aida. Dia letakkan gelas di atas meja, lalu bertumpu siku pada punggung sofa sambil menatap wanita yang berstatus kakak iparnya itu lekat-lekat.

"Kenapa, hm? Bukankah kamu sendiri yang memaksa Hanan buat kawin lagi? Lalu kenapa sekarang kamu nangis-nangis di sini? Bego atau munafik, hah?" cecar Kenan sambil terus mengunci tatapannya.

"Terserah, kamu mau nyebut aku apa. Aku juga nggak peduli anggapan orang-orang padaku. Karena yang aku pedulikan hanyalah kebahagiaan suamiku!" tandas Aida.

“Suami?” dengkus Kenan, "Dengan mengorbankan kebahagiaanmu sendiri?!" tukasnya, yang membuat Aida langsung berpaling muka sambil memejamkan mata.

Lelaki itu menggeleng lemah, menatap tak percaya pada kakak iparnya.

"Kamu yakin Hanan bahagia dengan pernikahan ini? Oh, tentu saja. Hanan pasti bahagia karena dia bisa memiliki dua wanita sekaligus untuk menghangatkan ranjangnya. Tapi kamu juga harus tahu kalau di mata laki-laki itu, daun muda akan selalu terlihat menggoda," imbuh Kenan yang semakin terdengar provokatif.

Aida berpaling cepat pada lelaki itu dengan gigi yang bergemelutuk. Di tengah perasaan yang berkecamuk, Kenan tampak begitu semangat memprovokasinya. Seakan lelaki itu sangat bahagia melihatnya menderita.

"Jaga ucapan kamu! Hanan bukan kamu! Aku sangat mengenal Hanan dan aku yakin dia bisa berlaku adil. Sebab itu, aku berani mengambil keputusan untuk dimadu," sanggah Aida.

"Berani bertaruh?" Kenan tersenyum miring dengan satu alis terangkat.

"Rumah tanggaku bukan barang taruhan!" tegas Aida.

Senyum menyebalkan di bibir Kenan membuat Aida merasa semakin geram. Apalagi saat Kenan mencondongkan tubuh ke arahnya lalu berujar lambat, "Yang muda rasanya lebih nikmat.”

Tak pelak, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kenan, hingga wajah lelaki itu berpaling ke kanan. Kenan menyentuh sisi wajahnya yang terasa panas sembari menggerak-gerakkan rahang dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak.

"Sekali lagi kamu bicara kurang ajar, aku akan–"

"Akan apa?!" potong Kenan seraya memutar kepala, menantang Aida dengan tatapan mata. "Mengadukanku pada suamimu?"

Aida mengepalkan kedua tangan. Rahang wanita itu tampak mengeras dengan wajah merah padam.

"Yakin, suamimu bakal percaya dengan yang kamu katakan? Kurasa tidak. Dia percaya padaku. Lagipula, dia pasti akan mendahulukan istri mudanya di luar sana yang butuh banyak bimbingan. Terutama untuk urusan ... ranjang," ucap Kenan dengan senyum licik penuh maksud.

Tidak memungkiri, apa yang dikatakan Kenan sangat mengganggu pikiran. Membahas perkara ranjang suaminya, hati Aida terasa seperti diremas-remas. Bukan karena dia tidak pernah mempertimbangkan masalah ini sebelum mengambil keputusan, melainkan karena siapa yang tengah membahasnya.

Suasana hati Aida sedang tidak baik. Kondisi jiwanya sedang berada dalam posisi paling rapuh, sehingga mudah saja bagi setan-setan di sisi kanan dan kiri telinganya membisikkan pikiran jahat. Aida bahkan tidak sadar bahwa air matanya telah meleleh membasahi pipi.

"Jangan munafik, Aida! Kamu pikir mudah, menjalani hubungan dengan berbagi hati seperti itu?" Kenan mendengkus sinis, mengejek Aida. "Aku mau lihat, sejauh mana kamu mampu bertahan, atau siapa yang akan lebih diprioritaskan oleh Hanan di antara kalian," bisik Kenan.

Cengkeraman Aida pada pinggiran sofa terlihat semakin kuat. Emosi yang berkecamuk di dalam dada membuat wanita itu tak dapat merasakan sakit, ketika salah satu kukunya patah. Setiap kata yang terlontar dari mulut Kenan, membuat hati Aida seperti tersayat sembilu. Dia ingin menampar lelaki itu sekali lagi. Namun, sendi-sendi di tubuhnya seolah tidak memiliki daya lagi.

"Katakan apa pun yang ingin kamu katakan. Aku tidak peduli!" desis Aida setelah berhasil menguasai emosi.

Tak ingin semakin terluka mendengar ucapan Kenan, Aida memutuskan untuk segera pergi meninggalkan lelaki itu tanpa menoleh lagi.

Kenan memandang punggung ramping kakak iparnya dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan. Lalu, sebuah kalimat terlontar pelan dari lisannya, "Harusnya kamu menikah denganku, Aida."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status