Beranda / Romansa / Bukan Surga Terindah / Bab 5. Makmum yang Lain

Share

Bab 5. Makmum yang Lain

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-30 11:16:42

Nyaris tidak tidur semalaman, membuat mata Aida terlihat bengkak. Wanita itu menoleh lalu meraba permukaan ranjang yang kosong. Dingin, pertanda sudah lama ditinggalkan oleh seseorang yang seharusnya berbaring di sana.

Ah, Aida lupa.

Seseorang yang biasa berbaring di sana sedang menunaikan kewajiban terhadap madunya.

Sudut batin Aida berdenyut nyeri. Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah. Lalu, dia sentuh dada dengan telapak tangan, di mana jantungnya berdetak cepat.

"Jangan lemah, Aida. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ikhlas, kuncinya hanya ikhlas, Aida. Semua ini demi kebahagiaan rumah tanggamu.” Aida menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan kegelisahan dan kegusaran yang dirasakannya.

Wanita itu lantas bangkit, beringsut mundur dan duduk bersandar pada headboard. Aida terlihat beberapa kali menarik napas dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih baik, wanita itu lantas menurunkan kaki ke lantai. Dia pergi mengambil wudu, lalu melaksanakan salat malam.

Cukup lama, Aida tenggelam dalam doa, memohon untuk dikuatkan hatinya. Aida tak beranjak dari sajadah, hingga adzan subuh berkumandang. Bibirnya tak henti melafalkan zikir sebagai tameng untuk menghindari bisikan setan yang dapat melemahkan hatinya.

Persis setelah adzan subuh berhenti berkumandang, wanita itu menoleh ke arah pintu. Lagi-lagi hatinya tercubit, saat sebuah harap tumbuh di dalam hati bahwa lelaki yang biasa menjadi imamnya itu akan muncul dari sana.

"Sekarang bukan aku saja makmumnya," lirih Aida dengan nada getir.

Wanita itu menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Setelah beristigfar beberapa kali, Aida lantas melaksanakan salat subuh seorang diri.

Selesai salat, Aida keluar dari kamar. Dia butuh kegiatan yang bisa mengalihkan pikirannya dari Hanan. Memasak sarapan adalah pilihan Aida. Wanita itu pergi ke dapur dan menyibukkan diri di sana.

"Lho, Bu Aida kenapa di sini?" Mbok Min tergopoh-gopoh mendekat. "Biar saya saja, Bu," imbuhnya seraya mengulurkan tangan untuk mengambil alih pekerjaan Aida.

Sebenarnya bukan sekali dua kali, Aida memasak bersama Mbok Min. Hanya saja, Mbok Min merasa ada yang tidak biasa dari sang Nyonya. Beberapa hari terakhir, Aida begitu sibuk mengurus segala keperluan pernikahan Hanan. Tenaga dan pikiran pasti terkuras, hingga akhirnya terlaksana acara dengan lancar seperti kemarin. Dan dalam kondisi lelah seperti itu, biasanya Aida menyerahkan semua urusan rumah tangga pada asisten. Akan tetapi, pagi ini Aida sudah terlihat menyibukkan diri dengan pisau dan daging.

"Nggak apa-apa, Mbok. Hari ini aku pengin masak menu spesial," kata Aida sambil tersenyum lebar, menutupi batinnya yang gusar.

Mbok Min ikut tersenyum, tetapi batin wanita paruh baya itu merasakan keprihatinan terhadap sikap Aida. Dia merasa kasihan, tetapi takut untuk mengungkapkan.

"Ibu mau masak daging?" Mbok Min melihat daging sapi yang masih terbungkus plastik di atas meja pantry. "Mau dimasak apa, Bu? Biar saya bantu."

"Umh, mending Mbok Min ngerjain yang lain aja, deh. Urusan dapur biar aku yang handle," titah Aida.

"Tapi, Bu–"

"Sudah, Mbok Min nyuci atau ngerjain apa kek. Biar nggak makan gaji buta," tukas Aida tak serius.

Sungguh, Aida butuh sesuatu yang membuatnya sibuk hingga tak sempat memikirkan hal selain apa yang dia kerjakan. Sebab itulah, dia meminta Mbok Min agar tidak membantunya.

Mbok Min pun tidak berani membantah. Wanita itu segera pamit meninggalkan dapur dan mengambil pekerjaan yang lain.

Di tengah-tengah aktivitasnya menyiapkan sarapan, Aida dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Sebuah suara telah berhasil merusak benteng yang susah payah Aida bangun di dalam benaknya.

"Sibuk banget Nyonya Rumah yang satu ini," selorohnya.

Aida terkejut hingga nyaris saja jarinya teriris pisau. Wanita itu memutar badan dan melihat Kenan berjalan ke arahnya dengan senyum mengejek yang sangat menyebalkan.

"Ngapain kamu masih di sini? Bukannya kamu–"

"Sudah pulang?" potong Kenan sambil mendengkus pelan.

Aida berpaling muka dengan bola mata yang berotasi jengah. Aida benci mengakui, tetapi memang tebakan Kenan tepat seperti apa yang dia pikirkan. Sejak meninggalkan lelaki itu di ruangan kemarin, Aida tidak lagi melihat sang adik ipar. Bahkan ketika keluarga berkumpul untuk makan malam, Kenan juga tidak terlihat batang hidungnya. Aida mengira bahwa lelaki itu sudah pulang. Sampai dia melihat Kenan muncul lagi di dapurnya.

Kenan tersenyum miring, menatap Aida yang enggan melihat padanya. Lalu, pandangan Kenan turun pada bahan makanan yang sedang disiapkan oleh wanita itu.

"Tongseng sapi. Ah, makanan paling favorit. Apalagi kalau yang masak kamu," seloroh Kenan.

Aida menggigit bibir dalamnya kuat-kuat. Sekali lagi tebakan Kenan benar. Dia memang ingin memasak tongseng sapi. Entah bagaimana lelaki itu berhasil menerkanya.

"Ken, mending kamu keluar, deh. Jangan ganggu aku, atau aku panggil Hanan ke sini," usir Aida sembari mengancam si lelaki.

Kenan mendengkus lalu menahan tawa dengan cara melipat bibir. Ancaman Aida membuatnya merasa geli.

"Panggil saja," tantang lelaki itu setelahnya. Kenan menarik sudut bibir ke bawah seraya mengedikkan bahu tak acuh. "Aku nggak yakin dia bakal ke sini. Bukankah dia lagi sama istri mudanya?" lanjut lelaki itu.

"Kamu!" Aida menggeram dengan bibir menipis. Ucapan Kenan benar-benar menguras kesabarannya. Dalam sekejap saja, gusar dan gelisah itu telah berganti dengan rasa kesal dan marah.

Senyum serupa seringai licik, terukir di sudut bibir Kenan. Melangkah semakin dekat pada Aida, lelaki itu lantas berkata, "Kasihan sekali mantan pacarku ini."

Aida mundur satu langkah. Dia acungkan pisau daging di tangannya untuk memberi peringatan pada Kenan agar tidak berbuat macam-macam padanya.

"Jangan mendekat! Aku nggak butuh pendapat kamu. Jadi mending sekarang kamu pergi dari sini atau aku bakal teriak!" ancam Aida dengan tangan yang samar-samar tampak gemetar.

Ancaman itu sama sekali tidak membuat Kenan gentar. Lelaki itu justru tertawa, seolah yang dilakukan Aida ini adalah hal yang sangat menggemaskan.

"Teriak saja, kalau kamu mau teriak." Kenan mengikis jarak, mendesak Aida untuk mundur mengikuti ritme langkahnya.

"Mau apa kamu?" hardik Aida dengan suara bergetar, berusaha terlihat berani dan tegar.

Langkah Kenan tidak berhenti. Lelaki itu terus mendesak Aida untuk mundur, hingga punggung wanita itu membentur pintu lemari es di belakangnya. Baru pada saat itu, Kenan berhenti melangkah. Lelaki itu menyelipkan tangan di saku celana dengan dua sudut bibir yang terangkat.

"Kamu mau tahu, apa mauku?" Kenan menatap dua manik Aida lekat-lekat.

Aida mulai panik. Dia tidak memungkiri bahwa tatapan elang Kenan terasa begitu mengintimidasi. Aida menyapu bibir dengan lidah, lantas meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Jantung di dalam dada Aida berdentum-dentum cepat, membuat wanita itu khawatir bahwa Kenan akan mendengar setiap detaknya.

"Aku mau ...." Kenan mengangkat sebelah tangan dan mengarahkannya ke wajah Aida. Hingga membuat wanita itu spontan berpaling muka sembari memejamkan mata.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Surga Terindah   Bab 83. Bahagia dalam Cara yang Berbeda

    Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany

  • Bukan Surga Terindah   Bab 82. Ikhlas yang Sesungguhnya

    “Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet

  • Bukan Surga Terindah   Bab 81. Dari Hanan untuk Rumi

    Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal

  • Bukan Surga Terindah   Bab 80. Pecah

    Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 79. Cahaya dalam Gelap

    Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“

  • Bukan Surga Terindah   Bab 78. Keputusan Berat

    Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status