Beranda / Romansa / Bukan Surga Terindah / Bab 4. Kamar Istri Muda

Share

Bab 4. Kamar Istri Muda

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-30 11:15:03

Pintu ditutup.

Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang.

"Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan.

Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya.

Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya.

Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "gadis belia" karena usia yang masih sangat muda–yang kini menjadi tanggung jawabnya. Entahlah, Hanan merasa Rumi ini lebih cocok menjadi adiknya. Selisih usia mereka terlalu jauh, dan seketika Hanan merasa seperti lelaki bejat yang hendak mengeksploitasi anak di bawah umur.

Lelaki itu mengetuk pintu. Tidak lama dia menunggu dan papan kayu itu sudah dibuka dari dalam. Tampak Rumi dengan wajah polosnya, mengintip dari celah pintu.

"Pak Hanan," sapa Rumi.

Hanan mendesah kasar saat lagi-lagi mendengar Rumi memanggilnya "Pak".

"Boleh aku masuk?" tanya Hanan datar sambil berusaha menekan kesabaran.

"Bo-boleh," jawab Rumi tergagap.

Gadis itu lantas membuka pintu lebih lebar, supaya suaminya bisa masuk ke kamar. Sejenak, ada keraguan dalam benak. Rumi tidak biasa berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan laki-laki. Berkali-kali, Rumi harus meyakinkan diri bahwa Hanan adalah suaminya. Lelaki itu memiliki hak atas dirinya. Jadi, siap tidak siap dia harus membiasakan diri akan hal ini.

Dengan raut wajah datar, Hanan melenggang masuk. Saat melewati Rumi, lelaki itu hanya menoleh dan mempertemukan pandangan mereka sekilas. Tidak bermaksud mengintimidasi, tetapi terasa seperti itu bagi Rumi.

Gadis itu menutup pintu lalu menyusul Hanan sambil menahan degup jantung yang ribut di dalam dada.

"Pak–"

"Berhenti memanggilku 'Pak'!" sergah Hanan.

Lelaki itu memutar badan, menatap lelah pada gadis yang baru saja dia nikahi.

"Bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya? Jangan memanggilku seperti itu lagi," tandas Hanan dengan suara yang sedikit tinggi.

Rumi terlihat tegang dan ketakutan. Gadis itu menunduk dalam dengan jemari yang saling meremas.

"Maaf," ucapnya dengan suara bergetar.

"Astaga!" keluh Hanan seraya memijit pangkal alis ketika melihat Rumi hampir menangis.

"Kamu takut sama aku?" tanya Hanan sambil memiringkan kepala, berusaha mendapatkan perhatian Rumi.

Ingin menjawab jujur, tetapi Rumi takut. Gadis itu pun akhirnya menggelengkan kepala, meski sebenarnya dia sudah hampir mengompol karena ketakutan.

Hanan melipat tangan di pinggang lalu menengadah sambil membuang napas keras dengan mata yang memejam. Setelah itu, dia kembali menurunkan pandangan pada Rumi yang masih menunduk dalam di hadapannya.

"Duduk sini kamu!" titah Hanan sambil menunjuk permukaan ranjang.

Rumi mengangkat pandangan sejenak. Saat bersitatap dengan Hanan, dia langsung menunduk lagi. Setelah itu, dia melangkahkan kaki dengan takut-takut, lalu duduk di tepi ranjang seperti perintah sang suami.

"Lihat aku!" perintah Hanan yang sekarang tengah berdiri di dekat Rumi.

Gadis itu menggigit bibir dalamnya kuat-kuat dengan mata mengerjap gelisah. Lalu, dia angkat wajah dengan perlahan tanpa berani membantah.

Percayalah, butuh nyali yang besar bagi Rumi untuk bersitatap dengan sang suami. Jantung di dalam dadanya pun turut membuat ulah. Berdentum cepat, seolah-oleh hendak melompat keluar dari rongga dada.

Sambil berusaha mengendalikan napas, Rumi meneguk ludah. Baru kali ini, dia melihat wajah Hanan dengan jelas. Garis rahang tegas yang dicukur bersih, membuat wajah lelaki itu terlihat cukup tampan di mata Rumi. Alis tebal dan hidung mancung yang menghiasi wajah itu pun tak luput dari perhatian si gadis. Ditambah postur tubuh Hanan yang proporsional, lelaki itu terlihat gagah dengan kaus lengan panjang yang ditarik hingga bawah siku. Rumi pun sadar bahwa secara fisik, Hanan cukup memikat hati. Namun, dia tidak berani berharap lebih.

"Sudah puas memandangiku?" Hanan menjentikkan jari di depan wajah Rumi.

Hanan menyuruh gadis itu melihat padanya, bukan untuk meminta penilaian, melainkan supaya gadis itu memperhatikan apa yang hendak dia katakan.

"Maaf, Pak," ucap Rumi spontan seraya menurunkan pandangan. Betapa malunya dia saat tertangkap basah memperhatikan Hanan dengan begitu intens.

"Ck! 'Pak' lagi!" keluh Hanan sambil membuang muka. "Susah, ya, ngomong sama kamu,” imbuhnya dengan nada bicara yang terdengar kesal.

"Maaf," cicit Rumi yang merasa serba salah.

Tidak hanya panggilan itu yang membuat Hanan kesal. Kata maaf Rumi yang berulang kali diucapkan pun membuatnya muak. Lelaki itu berusaha menekan kuat-kuat tingkat kesabarannya. Sebab dia tahu, Rumi bersikap seperti itu hanya karena belum terbiasa dengan dirinya. Hanan mengerti bahwa situasi ini pasti tidak mudah juga untuk Rumi. Intinya, mereka semua masih dalam tahap penyesuaian diri.

"Ini terakhir kali aku ingatkan kamu. Jangan panggil aku seperti itu lagi. Mengerti?" tekan Hanan dengan nada bicara yang diusahakan biasa saja.

Rumi mengangguk, tetapi sebentar kemudian dia mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk bertanya, "Lalu, saya harus panggil apa?"

"Terserah! Cari panggilan lain selain yang tadi," jawab Hanan yang masih terdengar sedikit ketus. Sebentar kemudian, lelaki itu berkata, "Panggil nama saja lebih baik."

Hanan sudah biasa dipanggil nama oleh Aida, dan dia justru merasa nyaman seperti itu. Terdengar seperti panggilan sayang, honey. Senada dengan panggilannya untuk Aida, darling. Senyum samar terukir di sudut bibir Hanan tanpa sadar, ketika teringat dengan panggilan sayang itu.

Namun, rupanya Rumi memiliki pikirkan lain. Gadis itu merasa sungkan jika harus memanggil sang suami dengan namanya saja. Terpaut usia yang cukup jauh, membuat Rumi tidak setuju dengan panggilan tersebut.

"Sepertinya tidak sopan kalau hanya panggil nama. Bagaimana kalau saya panggil 'Mas' saja?" tawar Rumi.

Sejujurnya, Hanan merasa geli dipanggil "Mas". Namun, panggilan itu terdengar jauh lebih baik dibandingkan dengan "Pak". Bukan ide yang buruk. Hanan hanya perlu membiasakan diri dengan panggilan tersebut.

"Terserah kamu," sahut Hanan. "Oya, malam ini aku tidur di sini," imbuh si lelaki.

Seketika, Rumi merasa gusar. Gadis itu terlihat gugup dengan bola mata yang bergulir liar. Melihat sang suami berjalan memutari ranjang lalu duduk di sisi lain tempat tidur, membuat debar di dalam dadanya kembali mengentak.

'Apa dia akan meminta haknya malam ini?' batin Rumi pias.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Surga Terindah   Bab 83. Bahagia dalam Cara yang Berbeda

    Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany

  • Bukan Surga Terindah   Bab 82. Ikhlas yang Sesungguhnya

    “Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet

  • Bukan Surga Terindah   Bab 81. Dari Hanan untuk Rumi

    Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal

  • Bukan Surga Terindah   Bab 80. Pecah

    Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 79. Cahaya dalam Gelap

    Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“

  • Bukan Surga Terindah   Bab 78. Keputusan Berat

    Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status