Share

Bab 4. Kamar Istri Muda

Pintu ditutup.

Hanan masih tak beranjak dari tempat, hingga beberapa waktu. Lelaki itu menatap sendu pada pintu kamar tempat dirinya dan Aida mencurahkan cinta dan kasih sayang.

"Maafkan aku, Aida," bisik lelaki itu seraya menyentuh papan kayu di hadapan.

Meski berat, Hanan terpaksa meninggalkan Aida. Lelaki itu memutar badan lalu berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar yang dihuni oleh istri keduanya. Hanan menoleh beberapa kali, sepanjang pintu kamar Aida masih terjangkau oleh pandangan. Seolah berharap Aida akan muncul dari sana dan memanggilnya kembali. Namun, harapan itu hanya berakhir sebatas asa. Pintu kamar tidak lagi terbuka, hingga netra tak lagi dapat menjangkaunya.

Sampai di dasar tangga, Hanan berhenti melangkah lalu sejenak memejamkan mata. Ada rasa sesak yang mengimpit dada, hingga dia merasa kesulitan untuk menghirup udara. Lalu, dia buka mata dan menoleh pada pintu kamar yang ada di samping kirinya.

Ada seorang wanita lain–ah, atau mungkin harus dipanggil "gadis belia" karena usia yang masih sangat muda–yang kini menjadi tanggung jawabnya. Entahlah, Hanan merasa Rumi ini lebih cocok menjadi adiknya. Selisih usia mereka terlalu jauh, dan seketika Hanan merasa seperti lelaki bejat yang hendak mengeksploitasi anak di bawah umur.

Lelaki itu mengetuk pintu. Tidak lama dia menunggu dan papan kayu itu sudah dibuka dari dalam. Tampak Rumi dengan wajah polosnya, mengintip dari celah pintu.

"Pak Hanan," sapa Rumi.

Hanan mendesah kasar saat lagi-lagi mendengar Rumi memanggilnya "Pak".

"Boleh aku masuk?" tanya Hanan datar sambil berusaha menekan kesabaran.

"Bo-boleh," jawab Rumi tergagap.

Gadis itu lantas membuka pintu lebih lebar, supaya suaminya bisa masuk ke kamar. Sejenak, ada keraguan dalam benak. Rumi tidak biasa berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan laki-laki. Berkali-kali, Rumi harus meyakinkan diri bahwa Hanan adalah suaminya. Lelaki itu memiliki hak atas dirinya. Jadi, siap tidak siap dia harus membiasakan diri akan hal ini.

Dengan raut wajah datar, Hanan melenggang masuk. Saat melewati Rumi, lelaki itu hanya menoleh dan mempertemukan pandangan mereka sekilas. Tidak bermaksud mengintimidasi, tetapi terasa seperti itu bagi Rumi.

Gadis itu menutup pintu lalu menyusul Hanan sambil menahan degup jantung yang ribut di dalam dada.

"Pak–"

"Berhenti memanggilku 'Pak'!" sergah Hanan.

Lelaki itu memutar badan, menatap lelah pada gadis yang baru saja dia nikahi.

"Bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya? Jangan memanggilku seperti itu lagi," tandas Hanan dengan suara yang sedikit tinggi.

Rumi terlihat tegang dan ketakutan. Gadis itu menunduk dalam dengan jemari yang saling meremas.

"Maaf," ucapnya dengan suara bergetar.

"Astaga!" keluh Hanan seraya memijit pangkal alis ketika melihat Rumi hampir menangis.

"Kamu takut sama aku?" tanya Hanan sambil memiringkan kepala, berusaha mendapatkan perhatian Rumi.

Ingin menjawab jujur, tetapi Rumi takut. Gadis itu pun akhirnya menggelengkan kepala, meski sebenarnya dia sudah hampir mengompol karena ketakutan.

Hanan melipat tangan di pinggang lalu menengadah sambil membuang napas keras dengan mata yang memejam. Setelah itu, dia kembali menurunkan pandangan pada Rumi yang masih menunduk dalam di hadapannya.

"Duduk sini kamu!" titah Hanan sambil menunjuk permukaan ranjang.

Rumi mengangkat pandangan sejenak. Saat bersitatap dengan Hanan, dia langsung menunduk lagi. Setelah itu, dia melangkahkan kaki dengan takut-takut, lalu duduk di tepi ranjang seperti perintah sang suami.

"Lihat aku!" perintah Hanan yang sekarang tengah berdiri di dekat Rumi.

Gadis itu menggigit bibir dalamnya kuat-kuat dengan mata mengerjap gelisah. Lalu, dia angkat wajah dengan perlahan tanpa berani membantah.

Percayalah, butuh nyali yang besar bagi Rumi untuk bersitatap dengan sang suami. Jantung di dalam dadanya pun turut membuat ulah. Berdentum cepat, seolah-oleh hendak melompat keluar dari rongga dada.

Sambil berusaha mengendalikan napas, Rumi meneguk ludah. Baru kali ini, dia melihat wajah Hanan dengan jelas. Garis rahang tegas yang dicukur bersih, membuat wajah lelaki itu terlihat cukup tampan di mata Rumi. Alis tebal dan hidung mancung yang menghiasi wajah itu pun tak luput dari perhatian si gadis. Ditambah postur tubuh Hanan yang proporsional, lelaki itu terlihat gagah dengan kaus lengan panjang yang ditarik hingga bawah siku. Rumi pun sadar bahwa secara fisik, Hanan cukup memikat hati. Namun, dia tidak berani berharap lebih.

"Sudah puas memandangiku?" Hanan menjentikkan jari di depan wajah Rumi.

Hanan menyuruh gadis itu melihat padanya, bukan untuk meminta penilaian, melainkan supaya gadis itu memperhatikan apa yang hendak dia katakan.

"Maaf, Pak," ucap Rumi spontan seraya menurunkan pandangan. Betapa malunya dia saat tertangkap basah memperhatikan Hanan dengan begitu intens.

"Ck! 'Pak' lagi!" keluh Hanan sambil membuang muka. "Susah, ya, ngomong sama kamu,” imbuhnya dengan nada bicara yang terdengar kesal.

"Maaf," cicit Rumi yang merasa serba salah.

Tidak hanya panggilan itu yang membuat Hanan kesal. Kata maaf Rumi yang berulang kali diucapkan pun membuatnya muak. Lelaki itu berusaha menekan kuat-kuat tingkat kesabarannya. Sebab dia tahu, Rumi bersikap seperti itu hanya karena belum terbiasa dengan dirinya. Hanan mengerti bahwa situasi ini pasti tidak mudah juga untuk Rumi. Intinya, mereka semua masih dalam tahap penyesuaian diri.

"Ini terakhir kali aku ingatkan kamu. Jangan panggil aku seperti itu lagi. Mengerti?" tekan Hanan dengan nada bicara yang diusahakan biasa saja.

Rumi mengangguk, tetapi sebentar kemudian dia mengangkat wajah dan memberanikan diri untuk bertanya, "Lalu, saya harus panggil apa?"

"Terserah! Cari panggilan lain selain yang tadi," jawab Hanan yang masih terdengar sedikit ketus. Sebentar kemudian, lelaki itu berkata, "Panggil nama saja lebih baik."

Hanan sudah biasa dipanggil nama oleh Aida, dan dia justru merasa nyaman seperti itu. Terdengar seperti panggilan sayang, honey. Senada dengan panggilannya untuk Aida, darling. Senyum samar terukir di sudut bibir Hanan tanpa sadar, ketika teringat dengan panggilan sayang itu.

Namun, rupanya Rumi memiliki pikirkan lain. Gadis itu merasa sungkan jika harus memanggil sang suami dengan namanya saja. Terpaut usia yang cukup jauh, membuat Rumi tidak setuju dengan panggilan tersebut.

"Sepertinya tidak sopan kalau hanya panggil nama. Bagaimana kalau saya panggil 'Mas' saja?" tawar Rumi.

Sejujurnya, Hanan merasa geli dipanggil "Mas". Namun, panggilan itu terdengar jauh lebih baik dibandingkan dengan "Pak". Bukan ide yang buruk. Hanan hanya perlu membiasakan diri dengan panggilan tersebut.

"Terserah kamu," sahut Hanan. "Oya, malam ini aku tidur di sini," imbuh si lelaki.

Seketika, Rumi merasa gusar. Gadis itu terlihat gugup dengan bola mata yang bergulir liar. Melihat sang suami berjalan memutari ranjang lalu duduk di sisi lain tempat tidur, membuat debar di dalam dadanya kembali mengentak.

'Apa dia akan meminta haknya malam ini?' batin Rumi pias.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status