Share

Bab 2. Dia

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-03 12:01:41

“Suamimu itu helpfull pada semua orang. Setiap perempuan dibantu dan disenyumin. Orang bisa salah sangka, lo.”

Laila, teman sekerjaku, saat itu mengingatkan. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya.

Mas Ammar adalah sosok yang sempurna sebagai laki-laki. Penampilannya yang memanjakan mata setiap perempuan, ditambah senyuman yang selalu menghias wajahnya yang manis. Begitu juga, sikapnya yang ramah dan siap membantu siapapun. Tapi, aku yakin itu hanya bentuk keramahan.

“Dia memang begitu, dari dulu. Makanya aku suka dia. Habisnya dia baik banget. Beda sama aku yang tersenyum sama orang saja susah. Dia seperti penyempurna bagiku, La,” ucapku memberikan alasan.

Perbedaan kepribadian antara aku dan suamiku memang bertolak belakang. 

Mas Ammar begitu terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang. Sedangkan aku, melakukan seperti dia justru  merasa menyiksa. Aku tidak bisa mengobrol dan menyebarkan senyuman tanpa alasan. Tidak bisa saja, walaupun dipaksa.

Kenyamananku ada di depan meja kerja, berkutat dengan gambar dan rancangan bangunan. Tidak peduli dengan pinggang pegal dan mata pedas, aku bisa menghabiskan waktu dengan pekerjaanku yang menyenangkan ini.

Karenanya, Mas Ammar seperti penyeimbang kekuranganku ini. Dia bisa beramah tamah dengan siapapun, baik laki-laki ataupun perempuan.

“Baik boleh. Tapi kalau berlebihan bahaya juga, lo, Aida. Apalagi, suamimu bekerja dengan cewek-cewek model yang cantik-cantik dan masih itu. Bisa jadi banyak yang naksir, tuh!”

Saat itu, aku tertawa lagi menanggapi peringatan Laila.

Bagaimana Mas Ammar tidak bersinggungan dengan perempuan cantik? Pekerjaan sebagai fotografer sekaligus pemilik studio memaksanya melakukan itu. Toh, itu hanya sebatas pekerjaan.

“Dia profesional, tidak mungkin melakukan hal-hal aneh! Dia juga sudah tua, sama kayak aku. Sudah kepala empat,” jawabku menepis anggapan yang berlebihan itu

Sahabatku langsung memelototiku. “Eh, jangan salah. Perempuan muda sekarang banyak yang suka laki-laki estewe!”

“Estewe? Apa tuh?!” seruku sembari mengernyit.

“Setengah tuwa, Aida. Itu lagi tren zaman sekarang. Laki-laki yang sudah berusia matang, apalagi kepala empat, dinilai sebagai usia puncak. Mereka memandang secara ekonomi sudah cukup mapan. Itu yang diincar perempuan di luar sana.”

“Tenang saja. Mas Ammar tidak mungkin demikian,” ucapku yakin.

Kalau faktor ekonomi yang menjadi incaran mereka, aku bisa mengatakan aman. Semua aset yang kami miliki, semua hasil dari pekerjaanku. 

Mas Ammar memang bekerja, tetapi dia lebih menyalurkan kegemarannya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Dari mana datangnya, itu adalah rezeki keluarga kecil kami.

“Kamu harus waspada! Karena perselingkuhan ini bisa terjadi karena ada kesempatan!” serunya membuatku tertawa terbahak-bahak. Seperti himbauan untuk mencegah pencurian saja, itu yang aku pikirkan saat itu. Kenapa tidak sekalian dianjurkan menggunakan gembok kunci ganda?

Namun, ternyata ucapan Laila itu benar. Aku seperti kecolongan karena kebebalanku ini.

‘Aku harus menuntut penjelasan,’ ucapku dalam hati sambil meraih ponsel yang berisi bukti menjijikkan itu.

Dengan tangan yang gemetar dan air mata yang masih luruh, aku menghubungi Mas Ammar. 

Aku harus mencari kejelasan apa yang terjadi sebelumnya. 

Walaupun aku mulai meragukan kesetiaannya, tapi ada sedikit ketidakpercayaan, dan aku ingin mendengar dari mulutnya sendiri. 

Sebelum ada pengakuan langsung, aku anggap ini hanya bualan belaka.

******

[Nomor yang Anda tuju, tidak dapat dihubungi. Silakan periksa kembali nomor tujuan Anda]

Aku menghela napas kasar.

Ini sudah untuk kesekian kali aku menekan nomor ponsel suamiku itu. Namun, hanya terdengar nada sibuk di seberang sana.

Satu menit.

Dua menit.

.

.

Dan, sekarang sudah lebih dari tiga puluh menit. Tidak ada tanda-tanda nada bersambung. Sebegitu sibuknya, kah dia?

Memang ini hal yang sering terjadi, dan sekarang baru aku sadar kenapa.

Sebelumnya aku hanya berpikir, dia pasti sibuk bekerja. 

Namun setelah melihat foto itu, aku mulai mempunyai prasangka lain. Bisa jadi dia sedang asyik dengan wanita itu. Bukankah kalau sedang dimabuk cinta, waktu bersama terasa indah dalam waktu yang lama?

Aku memejamkan mata–berusaha tegar dan tenang menghadapi masalah ini.  

Emosiku harus dikontrol dengan baik. 

Jangan sampai aku dikalahkan dengan amarah yang membuatku di posisi kalah. 

Kring!

Baru saja aku akan meletakkan ponsel, benda pipih ini memberikan tanda ada panggilan masuk. 

Segera aku menilik layar ponsel. 

Ternyata, bukan nomor ponsel Mas Ammar, tapi ada nomor yang tidak aku kenal. “Halo.”

“Halo selamat siang. Apakah benar ini dengan orang tua dari Daniel Wicaksana?”

“Benar. Saya Aida, mamanya,” jawabku sembari mengernyit menyimpan pertanyaan.

“Kami dari Global Hospital, memberitahukan bahwa saudara Daniel mendapat kecelakaan ---“

Deg! “Daniel?!” 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tasya Usman
Benar mbak
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri g berguna dan terlalu dibutakan cinta. kecelakaan daniel hadiah utk kebodihan mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 107. Merah Muda - TAMAT

    Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 106. Lelaki di Sebelahku

    “Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 105. Goyah?

    “Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 104. Keliling

    “Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 103. Mengobrol

    POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 102. Awal Langkah Baru

    Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status