“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Bagiku Papa sudah mati! Aku tidak mau kenal lagi dengan Papa!” Mataku seketika membola mendengar teriakan anak lelakiku. Tadi, ada nomor tak dikenal yang mengirimkan foto suamiku sedang bermesraan dengan seorang wanita padanya. Meski tidak terlalu jelas, tapi itu bukan diriku. Dia pun memberitahukannya padaku dalam keadaan emosi. “Daniel, tidak boleh berkata seperti itu!” tegurku pada akhirnya meski sama sakitnya. “Kenapa, Ma? Orang seperti dia, tidak pantas dipanggil papa!” Ucapan yang keluar dari bibir gemetar itu terdengar sinis. Rahang mengetat dan mata mulai menyiratkan amarah. Anak lelakiku yang mulai beranjak remaja itu mengepalkan tangan dengan keras. Aku mengusap kasar wajah ini sambil memejamkan mata, berharap yang terjadi hanyalah mimpi. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Terlebih, untuk Daniel yang selama ini mengagung-agungkan papanya–hatinya pasti patah untuk kali pertama. Baginya, Mas Ammar adalah segalanya. Dia selalu membanggakan papanya, terlebi
“Suamimu itu helpfull pada semua orang. Setiap perempuan dibantu dan disenyumin. Orang bisa salah sangka, lo.”Laila, teman sekerjaku, saat itu mengingatkan. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya.Mas Ammar adalah sosok yang sempurna sebagai laki-laki. Penampilannya yang memanjakan mata setiap perempuan, ditambah senyuman yang selalu menghias wajahnya yang manis. Begitu juga, sikapnya yang ramah dan siap membantu siapapun. Tapi, aku yakin itu hanya bentuk keramahan.“Dia memang begitu, dari dulu. Makanya aku suka dia. Habisnya dia baik banget. Beda sama aku yang tersenyum sama orang saja susah. Dia seperti penyempurna bagiku, La,” ucapku memberikan alasan.Perbedaan kepribadian antara aku dan suamiku memang bertolak belakang. Mas Ammar begitu terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang. Sedangkan aku, melakukan seperti dia justru merasa menyiksa. Aku tidak bisa mengobrol dan menyebarkan senyuman tanpa alasan. Tidak bisa saja, walaupun dipaksa.Kenyamananku ada di depan meja kerj
“Ba-bagaimana keadaannya?” tanyaku dengan tidak sabar. Kepala ini langsung dipenuhi prasangka buruk. Kecelakaan menyebabkan banyak kemungkinan, bahkan kematian. Apalagi, Daniel tadi menggunakan sepeda motor dengan kondisi emosi yang tidak stabil.Satu masalah belum selesai, sudah muncul kembali kabar yang lebih parah lagi. Aku seperti mendapat serangan dari segala arah. Badan ini seakan dihantam godam sampai luluh lantak dan tidak berasa lagi.Kaki ini sudah tidak kuat lagi menopang bobot badanku, hingga aku luruh ke lantai.“Tenang, Bu. Saudara Daniel dalam keadaan selamat. Namun, kami mengharapkan kedatangan ibu sekarang untuk persetujuan operasi anak ibu.”“Ba-baik. Saya segera ke sana. Tolong lakukan segera yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya!” seruku dengan bibir bergetar.“Kami akan usahakan yang terbaik. Terima kasih. Selamat Siang,” ucapnya setelah memberikan alamat yang harus aku tuju.Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya otak ini. Aku seperti kosong
Aku segera menaruh ponsel di bangku dengan layar tertelungkup. Saat ini, aku belum siap menghadapinya. Perasaan marah dan benci kepadanya, bercampur dengan kekhawatiran dan ketakutan dengan apa yang terjadi pada Daniel.Lebih baik aku abaikan dia, demi kewarasanku sekarang.“Aida!”Aku yang sedang terpekur meratapi masalah ini begitu terkejut. Laila, perempuan itu tampak berlari sembari menunjukkan raut wajah kecemasan. Dia langsung memelukku sembari mengusap lembut punggung ini.“Sabar, ya. Daniel pasti baik-baik saja. Tadi, aku telpon rumah dan dikasih tahu Bik Yanti,” ucapnya kemudian mendudukkan aku kembali.Dia mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu. “Pak Ammar mana?”Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.“Kamu belum menghubunginya?” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari tas, “Oke, aku akan hubungi dia.”“Jangan, Laila,” ucapku cepat sembari menangkup tangannya yang memegang ponsel.“Kenapa?” tanyanya dengan penuh keheranan.Serta-merta, aku menceritakan apa y
Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang. Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi. Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal. Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu. Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini. Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter
“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.Aku memejamkan mata. Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncu