“Ba-bagaimana keadaannya?” tanyaku dengan tidak sabar.
Kepala ini langsung dipenuhi prasangka buruk. Kecelakaan menyebabkan banyak kemungkinan, bahkan kematian. Apalagi, Daniel tadi menggunakan sepeda motor dengan kondisi emosi yang tidak stabil.
Satu masalah belum selesai, sudah muncul kembali kabar yang lebih parah lagi.
Aku seperti mendapat serangan dari segala arah. Badan ini seakan dihantam godam sampai luluh lantak dan tidak berasa lagi.
Kaki ini sudah tidak kuat lagi menopang bobot badanku, hingga aku luruh ke lantai.
“Tenang, Bu. Saudara Daniel dalam keadaan selamat. Namun, kami mengharapkan kedatangan ibu sekarang untuk persetujuan operasi anak ibu.”
“Ba-baik. Saya segera ke sana. Tolong lakukan segera yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya!” seruku dengan bibir bergetar.
“Kami akan usahakan yang terbaik. Terima kasih. Selamat Siang,” ucapnya setelah memberikan alamat yang harus aku tuju.
Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya otak ini.
Aku seperti kosong.
Baru saja aku dikejutkan dengan tingkah suamiku, sekarang ditambah anak tunggalku yang mengalami musibah.
Sungguh, hari ini aku mengalami kemalangan yang beruntun.
Tanganku meraih pinggiran meja untuk tumpuan berdiri, tetapi kaki ini masih lemas.
Sekali lagi aku menarik napas dan memusatkan pikiran, berusaha untuk bangkit dengan tubuh seakan tercabik ini.
“Nyonya!”
Bik Yanti, pekerja yang membersihkan rumah, berlari menghampiriku. Ia berusaha membantuku untuk duduk di sofa.
Dengan tergopoh, diam mengambil air putih dan menyodorkan ke padaku.
“Nyonya tenang dulu,” ucap wanita tua yang sudah sepuluh tahun kerja bersamaku.
Dia sudah kami anggap saudara sendiri. Apalagi, di usianya sekitar enam puluhan, bisa menjadi teman bicara.
Kalau tadi aku tidak bisa menangis, sekarang justru mata ini sudah tidak kuat lagi membendung air mata.
Aku tergugu dengan menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Seakan mengerti, Bik Yanti diam tanpa mengajukan pertanyaan.
“Bik Yanti. Saya harus ke rumah sakit Global sekarang!” seruku setelah bisa menguasai diri.
Aku menilik jam tangan dari mata yang masih terhalang air mata. Aku harus cepat.
“Rumah sakit? Siapa yang sakit, Nyonya? Bibik ikut, ya?”
“Daniel kecelakaan. Bibik di rumah saja. Kunci semuanya termasuk gerbang. Jangan ada yang diperbolehkan masuk, termasuk Mas Ammar!” ucapku cepat tanpa memedulikan sorot tidak mengerti di matanya.
Gegas aku keluar rumah dan kupacu mobil menuju rumah sakit.
Kecepatan yang aku tambah dari biasanya, terasa tidak berarti. Satu hal yang kutahu, aku harus segera melihat keadaan putraku.
*******
Dengan melangkahkan kaki lebar-lebar, aku segera menuju ruang yang disebutkan tadi.
Perawat yang menelponku segera mengarahkan ke ruangan yang menunjukkan Daniel menunggu untuk operasi.
“Saya mamanya. Saya ingin melihat anak saya!” teriakku ketika hanya diperbolehkan melihat Daniel dari jendela kaca.
Air mata ini luruh seketika, melihat kepala anakku dibalut perban dengan kondisi tidak sadarkan diri.
“Maaf, Bu. Pasien belum bisa dijenguk. Dia masih kritis.”
“Saya mamanya! Mengerti tidak, sih!”
Melihat aku yang tidak terkendali, seorang laki-laki berjas putih mengisyaratkan untuk membawaku untuk mengikutinya.
Di sisi lain, seorang perawat segera mengarahkan aku untuk masuk ke ruangan, tempat dokter itu sudah duduk menungguku.
“Selamat sore, Bu. Perkenalkan, saya Dokter Burhan. Kami mengerti atas kekhawatiran ibu. Kami–”
“Kalau mengerti, kenapa saya tidak diizinkan melihat anak saya?” sahutku memotong kalimatnya.
Rasa khawatir dan ketakutan bercampur, hingga membuatku tidak bisa mengontrol apa yang aku lakukan. Satu hal yang ada di otakku: Daniel harus selamat.
Dokter itu tampak menarik napas.“Anak ibu mengalami mengalami pendarahan dalam. Dari pemeriksaan yang kami lakukan, ada organ yang mengalami gangguan fungsi. Karenanya, untuk sementara waktu tidak boleh ada yang mendekati anak ibu.”
Mataku membulat. “Kalau begitu, cepat lakukan operasinya. Jangan sampai terlambat, Dok!”
“Pasti. Ini sudah disiapkan ruang operasinya. Mohon ibu menunggu. Kita doakan bersama supaya operasi ini berhasil,” jelasnya dengan sabar.
“Baiklah, Dok. Tolong selamatkan anak saya!” ucapku sekali lagi begitu bisa menguasai diri.
Dokter itu lantas memberi tanda kepada suster yang masih bersiap.
Dia langsung mengarahkan aku ke ruang tunggu operasi.
Suster juga menyodorkan air mineral botolan kepadaku.
“Sabar ya, Bu. Mungkin ini bisa sedikit mengurangi kecemasan ibu,” ucapnya sembari tersenyum manis.
Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.
******
Lampu di atas pintu operasi menandakan masih berjalannya penyelamatan anakku. Dengan menangkupkan kedua tanganku, tak henti-hentinya aku memanjatkan doa demi keselamatan Daniel.Terbersit untuk menghubungi Mas Ammar. Namun, kemarahanku pada dirinya membuatku mengurungkan jemari ini untuk menekan nomor ponsel bertuliskan namanya.
Bagaimanapun, kejadian yang menimpa Daniel karena dipicu kemarahan akibat foto kegilaan Mas Ammar akan perempuan.
Kalau mengingat itu, seketika tangan ini terkepal dan gerahamku menggeletuk karena amarah yang sudah terpatik.
Kesakitanku karena ulahnya, aku masih bisa menegarkan diri.
Namun, kalau menyebabkan kemalangan pada anakku, ibu mana yang bisa menerima hal ini?
Lebih baik aku kehilangan suami, daripada kehilangan anak.
Drrt!
Ponsel yang aku genggam erat bergetar.
Kedua alisku bertaut saat mendapati siapa yang menghubungiku. Tangan ini terkepal dengan sendirinya seakan siap melayangkan pukulan. ‘Mas Ammar …?’
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”