Ternyata, foto yang dikirimkan anakku benar: suamiku berselingkuh. Kupikir selama 17 tahun pernikahan kami, dia mendukung karierku sebagai arsitek dengan tulus. Namun, ternyata egonya justru tersakiti ketika aku menghasilkan uang lebih darinya. Diam-diam, dia memimpikan wanita yang hanya dapat bergantung padanya dan membangun rumah tangga baru tanpa sepengetahuanku. Bahkan, dia sudah memiliki anak! Baiklah, aku akan mundur. Aku memang bukan wanita impian untuk suamiku itu. Tapi, akan kubuktikan bahwa bukan akulah yang salah.
Lihat lebih banyak“Bagiku Papa sudah mati! Aku tidak mau kenal lagi dengan Papa!”
Mataku seketika membola mendengar teriakan anak lelakiku. Tadi, ada nomor tak dikenal yang mengirimkan foto suamiku sedang bermesraan dengan seorang wanita padanya. Meski tidak terlalu jelas, tapi itu bukan diriku. Dia pun memberitahukannya padaku dalam keadaan emosi.
“Daniel, tidak boleh berkata seperti itu!” tegurku pada akhirnya meski sama sakitnya.
“Kenapa, Ma? Orang seperti dia, tidak pantas dipanggil papa!”
Ucapan yang keluar dari bibir gemetar itu terdengar sinis.
Rahang mengetat dan mata mulai menyiratkan amarah. Anak lelakiku yang mulai beranjak remaja itu mengepalkan tangan dengan keras.
Aku mengusap kasar wajah ini sambil memejamkan mata, berharap yang terjadi hanyalah mimpi.
Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Terlebih, untuk Daniel yang selama ini mengagung-agungkan papanya–hatinya pasti patah untuk kali pertama.
Baginya, Mas Ammar adalah segalanya. Dia selalu membanggakan papanya, terlebih dengan pekerjaan suamiku sebagai fotografer yang membuatnya kagum. Tidak hanya itu, kekaguman kepada Mas Ammar berlipat dengan hobi yang ditekuninya sama, karate dan sepak bola.
Sebagai ibu, yang aku bisa sekarang, hanyalah meraih tangannya dan mengusap pelan–berharap dia supaya tenang dan meredakan amarahnya.
“Daniel, Sayang. Bisa jadi ini hanya editan,” ucapku lembut, “Mama akan suruh orang untuk me–”
“Ma! Daniel bukan anak kecil lagi. Fotonya tidak hanya satu! Semua menunjukkan Papa yang menjijikkan!” potongnya sambil berteriak.
Bibirnya masih bergetar.
Seakan menahan amarah luar biasa, anak itu menggenggam erat ponselnya yang aku serahkan.
“Daniel. Dengar Mama dulu, Sayang,” pintaku dengan menghela napas, “Tenang dulu.”
Sebenarnya, saat mengatakannya, aku pun tengah berusaha menenangkan hati ini. Kalau aku tidak bisa meyakinkan diriku sendiri, bagaimana dengan Daniel?
“Terserah! Daniel sudah kirim semua foto ini ke hape Mama. Daniel tidak bodoh, dan tahu ini foto asli,” ucapnya terdengar lelah.
Aku pun terdiam.
Sebenarnya, awal ditunjukkan foto itu, hati ini hancur seketika seketika.
Antara logika dan hati mulai tidak sejalan.
Hati ini percaya dengan bukti yang dibawa anakku.
Namun, logika menentang.
Di zaman sekarang, bisa jadi seseorang berupaya menjatuhkan orang lain dengan foto yang direkayasa. Orang yang berbeda tempat saja, bisa terlihat bersama. Oleh karena itu, aku tidak mempercayai penglihatan ini.
Tidak mungkin Mas Ammar, suamiku, bertindak rendah seperti foto-foto ini. Dia begitu sempurna sebagai suami dan seorang kekasih.
Ini pasti fitnah!
“Hapus foto di hp-mu,” ucapku akhirnya, “biar Mama saja yang simpan dan tanyakan pada papa.”
“Kenapa, Ma?” Dia melontarkan pertanyaan dengan memicingkan mata.
Aku memejamkan mata sejenak.
Foto-foto itu begitu vulgar untuk anak seusia Daniel yang lima belas tahun. Mempertontonkan kemesraan laki-laki dan wanita yang memagut bibir si wanita dengan rakus, ini tak pantas untuk dilihat anakku.
Melihat gelagat Daniel yang enggan, aku lantas mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya. Namun, dia berkelit dan menjauh.
“Mama sepertinya terlalu dibutakan oleh Papa. Terserah Mama! Tapi … jangan harap Daniel aku memaafkan dia!” teriak Daniel sambil mengacungkan telunjuk.
Daniel bergegas pergi.
Tidak memedulikan panggilanku, anak itu meninggalkan rumah seiring raungan sepeda motor yang meninggalkan asap putih.
Aku mengerti anakku itu membawa hati yang tertoreh karena kelakuan Papanya.
Seakan patah hati, anak tunggalku itu terlihat menitikkan air mata.
Kaki ini yang mengejar Daniel, lemas seketika. Aku terduduk tak berdaya di teras depan.
Sungguh, aku tidak pernah menyangka ini terjadi pada keluargaku.
Mas Ammar suamiku yang menjadi panutan kami, ternyata tidak sebaik dalam pikiran.
Foto itu terlihat jelas apa yang diperbuat oleh laki-laki yang sudah menjadi teman hidupku selama 17 tahun.
Tidak pernah sedikitpun, aku mendapatkan tanda-tanda penghianatan darinya.
Kami melakukan aktivitas seperti biasa, baik dalam bekerja, keluarga, bahkan hubungan suami istri.
Aku yang seorang arsitek, aktif dalam menjalankan perusahaanku, begitu juga Mas Ammar yang menjalankan studio sesuai keahliannya di bidang fotografi.
Kami terbiasa berdiskusi dalam banyak hal seperti biasa, dan sikapnya pun tidak ada yang berubah. Ia tetap manis dan bersikap romantis di setiap kesempatan.
Bahkan, baru tiga hari yang lalu kami merayakan ulang tahun perkawinan. Bunga yang dia bawa pun masih segar berada di vas bunga menghiasi meja rias.
“Terima kasih atas cintamu selama ini, Aida Sayang. I love you forever,” bisiknya saat mengejutkan aku dengan rangkaian bunga mawar merah. Tidak hanya itu, dia menghiasi leher ini dengan kalung bermata berlian.
“Kamu akan selalu bersinar di hatiku seperti dia,” ucapnya sembari menunjuk liontin yang gemerlap.
Tangannya pun sempat menyelusup di sela kancing kemejaku. Bahkan, tanpa mempedulikan masih di kantor tempatku bekerja, kami mereguk indahnya cinta dengan menuntaskan hasrat.
Memang aku akui, dia seakan tidak pernah surut untuk melakukannya, tapi aku pun selalu mengimbangi dan tidak pernah terlontar keluhan darinya.
Aku merasa membuatnya selalu ‘kenyang.’
Terbukti, sikapnya yang manis dengan kata-kata yang puitis, dan perlakuannya yang nakal tidak pernah surut semenjak pernikahan kami. Tidak pernah terbersit akan akhirnya seperti ini.
'Ya, Allah … apa mungkin aku begitu bebal dengan gelagat yang sempat dia tunjukkan?’
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen