Bab135Panggilan telepon pertama tidak terjawab, kedua hingga ketiga, barulah suara parau di sebrang telepon terdengar."Ya, Tuan." Suara itu tampak lemah dan terdengar kecil sekali."Rebecca, bagaimana perkembangan kantor?""Semua sudah saya laporkan melalui email, Tuan." Suara Rebecca dan bahasanya terdengar kaku."Rebecca, apakah kamu baik- baik saja?""Menurut Tuan bagaimana? Apakah saya sedang dalam keadaan sekarat?""Mengapa bahasamu seperti itu?""Diluar jam kerja, Anda bukan bos saya.""Saya rindu," lirih Jeremy."Rindu? Bulshit.""Serius.""Terserah! Jika tidak ada hal yang begitu penting, jangan hubungi saya lagi. Nikmatilah malam pengantin Anda dengan baik, biarkan wanita bodoh seperti saya meratapi nasib yang terluka meski tak berdarah.""Maaf," lirih Jeremy hingga sambungan telepon Rebecca matikan."Brengsek!! Kamu jahat Tuan, jahat ...." Rebecca meraung sembari menghamburkan seluruh isi kamarnya."Ibu, ini rasanya sakit sekali, bahkan membayangkannya saja, aku nyaris keh
Bab136"Nggak apa- apa, hanya masalah pekerjaan."Desca meletakkan rantang bawaannya."Makan bareng yuk," ajak Desca ramah. Jeremy menatap wajah istrinya itu, wanita yang baru tiga hari ini menjadi istrinya.Bahkan, Jeremy belum menyentuhnya sama sekali. Dia masih merasa enggan, untuk melakukannya. Desca pun nampak berusaha mengerti dan tidak pernah menanyakan apapun pada Jeremy. Hanya saja, dia pernah menceritakan hal ini pada sang Ibu."Apa? Desca, kamu harus tidur dengannya. Jika tidak, anak dalam kandunganmu itu, akan ketahuan bukan anaknya.""Jadi bagaimana My. Jeremy selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalau Desca yang ngajak duluan kan tidak mungkin," sahut wanita itu."Kamu harus ambil hatinya. Jeremy itu kalau Ibu lihat lelaki yang baik dan pengertian, dia juga bukan laki- laki arogan yang sulit untuk diambil hatinya. Hanya saja, mungkin dia segan untuk memulai.""Kasih saran yang benar lah, My. Mana mau Desca minta duluan," seru wanita itu lagi."Kamu pakai pakaian seksi dong
Bab137"Saudara kembar?" Nyonya Jovanka terkejut."Benar, Mom. Dia lama menghilang, setelah kejadian beberapa tahun lalu, perusahaan keluarga mengalami kebangkrutan. Saya hanya punya dia dan Zaki sebagai keluarga. Tapi saat saya pergi keluar kota, mereka di bantai pembunuh, yang sampai sekarang kasusnya tidak jelas. Semua anggota yang ada di rumah di bantai habis. Hanya Case dan anaknya yang menghilang."Jeremy mengusap wajahnya. "Saya nyaris frustasi mencari jejak mereka. Setiap malam saya menangis dan memohon maaf kepada mendiang Ibu saya, atas segala kelalaian dalam menjaga Case. Tapi hari ini, saya melihat dia hidup dengan baik, tanpa berniat menemui saya sama sekali, mendadak perasaan ini begitu emosi.""Oh kasus pembunuhan keluarga Welas itu, bukan?""Benar, Mom." "Oh Tuhan, jadi itu keluargamu?""Iya, Mom. Sebagai laki- laki, aku merasa gagal melindungi kakak dan ponakanku."Nyonya Jovanka menghela napas berat. "Jadi kasusnya menguap begitu saja?"Jeremy mengangguk lemah. "Tid
Bab138"Maaf," lirih Desca, 1 tetesan air mata jatuh di pipinya. Desca berniat berbalik namun Jeremy meraih tangan wanita itu."Aku masih perlu waktu," kata Jeremy membuat Desca menarik tangannya dan berlari ke atas ranjangnya.Desca memasukan dirinya ke dalam selimut. Wanita itu menangis sesegukan, menahan rasa malu karena penolakan Jeremy.Bukan hanya perasaan malu, tapi juga perasaan kuatir dengan keadaan perutnya kini yang sudah berusia 1 bulan lebih.Jeremy kembali merasa bersalah. Mau berapa orang wanita lagi, yang akan dia kecewakan.Desca dan nyonya Jovanka begitu baik kepadanya, akan sangat tidak tahu malu, jika dia malah menyakiti hati Desca.Lelaki itu pun mendekati Desca, yang masih menangis dalam selimut. "Desca," lirih Jeremy.Namun wanita itu mengabaikannya, dan masih saja terus menangis. Jeremy menarik pelan selimut itu, hingga terlihat wajah Desca yang memerah dan juga basah air mata.Jeremy tersenyum dan naik ke atas ranjang.Dengan perlahan, Jeremy membalikkan tubu
Bab139"Tidak." Rebecca menggeleng."Jadi mengapa wajahmu pucat begini? Dan bolak- balik kamar mandi?"Rebecca menarik napas, sembari menahan perasaan mualnya."Saya mengundurkan diri, nanti berkasnya akan saya serahkan besok," sahut Rebecca pelan."Rebecca! Jangan memancingku. Ada apa sih sama kamu? Mengapa sikapmu masih seperti ini," bentak Jeremy. Rebecca mendongakkan wajah. "Hak saya bukan, untuk mengundurkan diri?" Rebecca berkata dengan suara dan bibir bergetar.Mata wanita itu kini berkaca- kaca. Dia sudah bertekad untuk kembali ke Negaranya. Dari pada di Negeri Fantasy, dia nyaris gila dalam bertahan.Patah hati sukses membuatnya hidup segan mati tak mau."Ya, kamu benar itu hak kamu! Setidaknya berikan saya alasan yang jelas, apa yang membuat kamu ingin mengundurkan diri? Apakah kamu membenci saya?""Saya tidak mungkin membenci, lelaki yang mencuri hati saya.""Lalu mengapa kamu berniat meninggalkan aku?" Jeremy bertanya, sembari menggenggam kedua tangan Rebecca."Lepas, kit
Bab140Jeremy melajukan mobilnya dengan terburu- buru, menuju apartemen Rebecca. Dadanya berdebar- debar, seakan sanga takut tidak bisa bertemu dengan wanita itu lagi.Perasaan kuatir mendominasi hatinya kini. Jeremy kini sangat ketakutan, jika Rebecca pergi dan menghilang dari hidupnya.Bagi Jeremy, Rebecca adalah penyemangatnya selama ini. Bukan hanya penyemangatnya, tapi Rebecca juga berjasa dalam memajukan perusahaannya. Sesampainya di parkiran apartemen, Jeremy keluar dari mobil dengan tergesa, berlari menuju pintu apartemen wanita itu. Jeremy membunyikan bel beberapa kali, sampai pintu terbuka. Sosok Rebecca telah rapi, tidak lagi mengenakan pakaian kantor."Ada apa, Tuan." Jeremy menatap lekat wanita di depannya dan mendorong kasar ke dalam.Jeremy menutup pintu apartemen itu, dan menguncinya. Rebecca terdiam, melihat tingkah Jeremy. Lelaki itu memasuki kamar, dan di sambut dua koper besar telah siap, di sisi tempat tidur Rebecca."Kamu mau kemana? Kenapa kamu seperti ini kep
Bab141Jeremy mengusap kasar wajahnya. Menghubungi Rebecca berkali- kali, tapi tidak kunjung bisa. Wanita itu sepertinya mematikan sambungan teleponnya."Shiit, kemana dia pergi," lirih Jeremy. Lelaki itu mencari ke seluruh ruangan, hingga ke kamar mandi. Di depan cermin, di atas wastafel, terlihat sebuah benda kecil pipih terletak.Di sampingnya terletak sebuah kertas putih. Jeremy meraih benda pipih itu, sebuah alat tes kehamilan, yang menampilkan garis dua positif.Kemudian lelaki itu beralih melihat kertas di sampingnya. Kertas resep obat untuk mengatasi mual dan juga vitamin.Di atas kertas itu bertuliskan nama nyonya Rebecca. Wanita itu positif hamil.Dibelakang kertas, tertulis pesan. "Ketika kamu melihat ini, aku telah pergi jauh, membawa kenangan darimu. Berbahagialah, Tuan Jeremy. Anak kita, akan kuurus dengan baik disisiku."Jeremy mengacak- ngacak kertas putih itu dengan frustasi. Mengapa Rebecca pergi? Bahkan wanita itu membawa buah hati mereka."Aku calon Ayah, tapi aku
Bab142"Hallo, manis," seru nyonya Jovanka, tersenyum manis berjalan dengan anggun ke arah tempat duduk."Nyonya Jovanka," lirih Deslim. "Jeremy ...." wanita itu kemudian berteriak, ketika melihat Jeremy berjalan di belakang nyonya Jovanka.Nyonya Jovanka duduk, ketika para pegawai pengadilan mempersilahkannya. Jose White terdiam di pojokkan tanpa suara, dia duduk bersama seorang perempuan, yang tak lain adalah Mary White.Meskipun wanita itu sudah berkumpul keluarganya, tapi dia tidak sepenuhnya dalam keadaan baik- baik saja.Kadang kalau kumat, dia akan mengamuk layaknya orang gila. Jose White tidak tega, membiarkan Mary selamanya terkurung di rumah sakit jiwa. Sebab itulah, kini Mary berada dalam pengasuhannya."Aku tidak melakukan hal jahat itu," bentak Deslim tidak terima.Nyonya Jovanka tersenyum menyeringai. "Oh ya, apakah bukti itu tidak benar? Bagaimana mungkin?""Ini fitnah, pasti kalian yang mengada- mgada. Apalagi itu ponsel Case, bagaimana mungkin ponselnya ada, sedangka