Bab5
"Sudahlah, aku sudah kenyang," ucap Joe sambil berdiri dari duduknya.
Mary menelan saliva, dia sadar akan kesalahannya kini, terlalu terbawa perasaan, sehingga memaksakan kehendak dan berakhir menuduh Joe seenaknya.
Melihat aura dingin yang Joe tampilkan, Mary tahu, lelaki itu sangat marah kepadanya.
"Maaf," lirih Mary. Tapi Joe hanya mendengkus, dan meninggalkan meja makan.
Elvina terdiam, dia pun tahu Kakaknya begitu marah. Karena meninggalkan makanannya tanpa di habiskan sama sekali.
"Mary, biarkan Joe tenang dulu," ucap nyonya Sabhira. Mary menoleh ke arah nyonya Sabhira, dengan wajah mengiba, memohon pertolongan.
"Sabar dulu," lanjut nyonya Sabhira.
Usai masuk ke dalam kamar, Joe tercenung sesaat. Bagaimana keadaan Case sekarang ini? Dia keluar dengan panik di malam hari begini.
Pikiran Joe mendadak kalut, dia pun akhirnya meraih jaket, dan juga kunci mobil. Biar bagaimana pun juga, Case adalah istrinya, meskipun Joe tidak mencintainya.
Setidaknya, Case Mowelas, adalah tanggung jawab Joe.
"Mau kemana kamu?" tanya nyonya Sabhira, ketika melihat Joe menuruni anak tangga, dan berjalan cepat menuju pintu utama.
"Mencari Case," jawab Joe dingin.
"Di sini masih ada Mary, apakah kamu tidak menjaga perasaannya? Bukannya menemani Mary, malah sibuk mikirin wanita miskin itu," cibir nyonya Sabhira.
Prraanngggg .... Joe menampar pintu rumah dengan keras, membuat ketiga wanita itu terkejut.
"Case itu tanggung jawabku! Dia juga orang yang sangat penting bagiku. Kalau Case tidak ada, bagaimana aku bisa mendapatkan warisan mendiang kakek?" teriak Joe dengan keras. "Kalian tidak bisa menghargai pengorbananku! Aku rela menikahi wanita itu, padahal aku tidak menyukainya, apalagi mencintainya. Kalian malah membuat dia dalam bahaya seperti ini."
"Joe, jangan berlebihan. Wanita itu bodoh, dia tidak mengerti tentang candaan. Malah pergi begitu saja, itu bukan salah kami," bela Mary, sedikit kesal pada sikap Joe.
"Kalau terjadi sesuatu pada Case. Warisan mendiang kakek, akan jatuh ke panti jompo. Aku dan keluarga ini, tidak ada dapat 1% pun, paham!" bentak Joe pada Mary.
Ketiga wanita itu terdiam. "Kalian para wanita, bisa nya cuma membuat masalah saja. Dan kamu, Mary. Sebaiknya, kamu segera pulang."
Tidak ada satu pun yang menyahut. Joe pun membuka daun pintu dengan kasar, dan berjalan cepat menuju mobilnya.
"Mary, seharusnya kamu tidak ikut bicara," tegur Elvina. "Jika kakak semakin tertekan, dia akan semakin marah."
"Elvina, aku merasa sakit hati diabaikan. Apalagi, ketika wajah Joe menunjukkan kekuatiran pada wanita miskin itu," ungkap Mary dengan wajah lesunya menahan sesak dalam dada.
"Wajar, kan Case Mowelas pemegang kunci warisannya Joe. Memangnya kamu mau, warisan itu jatuh ke tangan si Case?"
"Ya bukan begitu. Ah, sulit." Mary mendesah berat, pikirannya kalut dan menolak untuk berprasangka baik.
Sebab melihat sikap Joe yang berlebihan mengkhawatirkan Case Mowelas, membuat hati Mary berdecak perih.
"Seperti ada yang tidak beres dengan perasaan Joe? Apakah ini hanya pikiranku, karena dipengaruhi rasa cemburu. Atau, memang perasaan Joe yang sudah berpaling arah? Oh Tuhan, jangan biarkan itu terjadi. Aku, aku tidak rela, jika dikalahkan, wanita miskin seperti Case." Batin Mary meracau tidak jelas.
Perasaannya amatlah gelisah saat ini.
________Joe mengemudi dengan pelan, menyusur jalan raya, mencari keberadaan Case Mowelas. Ia melajukan pelan mobil, menuju ke rumah sakit Aluna Welas dirawat.
Jalan raya nampaklah sepi, tidak terlihat sama sekali, sosok yang sedang dia cari. Joe yakin, Aluna tidak mungkin naik taksi, sebab uang transportasi, diberikan nyonya Sabhira, hanya untuk pulang pergi.
Jadi, Joe yakin, Case tidak memiliki uang lagi. Namun sosok wanita yang dia cari itu, tidak kunjung dia temukan di sepanjang jalan.
Hingga tibalah Joe di parkiran rumah sakit, tempat Aluna Welas dirawat.
"Case," lirih Joe, melihat wanita itu menangis disudut taman rumah sakit.
Joe pun bergegas membenarkan posisi mobilnya untuk di parkir, kemudian keluar, dan berniat menghampiri Case.
"Cass ...." Belum keras suara Joe memanggil nama Case, lelaki itu langsung terdiam, ketika melihat seseorang laki-laki yang sangat dia kenali, mendekati Case.
"Khan," gumam Joe pelan, membuat tubuh Joe membeku, menatap mereka.
"Minumlah," ucap lelaki itu. Case tersenyum manis pada Khan, dan meraih minuman yang Khan sodorkan.
"Terimakasih, kamu baik sekali padaku!" ucap Case dengan ramah.
Lamat-lamat Joe melihat Case tersenyum manis pada Khan, membuat hatinya tidak terima. Namun tubuhnya masih terasa beku, hingga membuat Joe tetap bertahan, tanpa berani mendekati Case dan Khan.
"Dimana keluargamu? Mengapa kamu begitu nekad berlarian di malam hari seorang diri."
"Aku hidup dan di besarkan oleh Ibuku. Kini, dia sudah lama terbaring koma di rumah sakit ini, mendengar dia kritis, itu seakan membuat mati duniaku. Meskipun aku tidak banyak yang menyayangi. Setidaknya, aku bisa menyayangi Ibu dan menjadikannya semangat, untuk aku terus hidup."
"Kamu wanita hebat."
"Tidak juga! Kamu orang baik kedua yang aku kenal," ungkap Case Mowelas.
"Oh ya? Sungguh?" Khan menatap serius.
"Ya, serius, ini bukan candaan."
Khan hanya tersenyum tipis. "Boleh aku ikut menjenguk Ibumu?"
"Boleh, memangnya kamu mau masuk lagi ke lantai 4 sana? Kenapa tadi nggak mau masuk?"
"Tadi aku terima telepon. Nggak enak masuk, karena kamu terus menangis. Aku kuatir, jika di salahkan, gara-gara tangisan kamu tadi."
"Ah, maafkan aku," sesal Case Mowelas. "Aku terlalu panik," lanjutnya dengan raut wajah tidak nyaman.
"Tidak masalah," jawab Khan dengan senyuman tulus.
Mendengar Khan ingin menjenguk mertuanya itu, Joe merasa semakin keberatan.
"Case," panggil Joe. Case terkejut, ketika mendengar suara Joe.
"Ah, Joe," lirih Case Mowelas sembari menunduk.
"Kenapa kamu di sini?" Pertanyaan dingin itu Joe lontarkan, sembari menatap tajam wanita itu.
"Aku, aku menjenguk Ibu," jawab Case Mowelas terbata.
"Joe, kamu kenal Case?" tanya Khan bingung.
Joe tidak menyahut, dia sengaja menunggu Case Mowelas yang menjawab.
"Case?" Khan menoleh ke arah Case lagi, karena tidak mendapat jawaban dari Joe.
"Dia majikanku, Tuan. Aku lupa izin padanya tadi, karena aku sangat panik," jawab Case, membuat lingkaran kekecewaan dihati Joe.
Lelaki itu pun bingung, kenapa hatinya merasa kecewa. Padahal selama ini, dia tidak begitu menanggapi kehadiran Case. Bahkan bagi Joe, Case hanyalah wanita pembawa sial dalam hidupnya.
"Oh, maafkan dia Joe, dia panik memikirkan kondisi Ibunya," kata Khan, mencoba membantu Case.
"Hhmmm. Case, ayo pulang," ajak Joe. "Sudah begitu malam, kondisi Ibu sudah kau jenguk juga, kan?" Pertanyaan Joe penuh penekanan.
Case Mowelas mengangguk.
"Lain kali, ajak aku ketemu Ibu kamu, Case," ucap Khan penuh harap."Tentu saja, Tuan."
"Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja aku Khan, seperti kamu memanggil Joe."
Perasaan Joe semakin kesal pada Khan, yang meminta di panggil nama sepertinya. Akan tetapi, Joe berusaha menahan diri, agar tidak membuat keduanya menjadi heran.
Joe sendiri tidak mengerti, dengan apa yang terjadi pada perasaannya kini. Namun Joe yakin, ini hanya perasaan kuatir, kuatir kehilangan warisan.
"Case, ayo!" ajak Joe lagi.
"Tuan, eh, Khan. Aku, aku pulang dulu," kata Case Mowelas terbata.
"Iya, sampai ketemu lain waktu, Case." Khan memandangi Case penuh kekaguman. Hal itu, membuat Joe tidak suka.
"Joe, jaga Case," kata Khan, membuat perasaan Joe makin meradang. Namun, demi gengsinya, lelaki itu tetap menanggapi dengan anggukan, disertai senyuman.
Bab6Joe dan Case Mowelas berjalan menuju mobil. Case Mowelas tidak berani beradu pandang dengan Joe, dia hanya menunduk, dan berjalan di belakang lelaki itu.Case Mowelas berniat membuka pintu mobil tengah. Ini kali pertama, dia menaiki mobil Joe, setelah 6 bulan pernikahan."Mau ngapain? Kamu pikir aku supirmu?" tanya Joe, sembari menatap dingin wajah Case Mowelas."Maaf," lirih Case. Wanita itu pun bergegas, membuka pintu samping kemudi.Keduanya memasuki mobil, masih dalam suasana hening. Hingga mobil melaju, meninggalkan parkiran rumah sakit."Sejak kapan, kamu begitu dekat dengan Tuan Khan?" tanya Joe membuka percakapan."Barusan," jawab Case Mowelas singkat."Jangan coba membohongiku, Case. Aku melihat kalian begitu akrab dan juga dekat. Bahkan, lelaki itu nampak menaruh perhatian khusus," kata Joe dengan suara dingin."Aku berkata apa adanya," jawab Case."CASE ...." Joe berteriak. "Jangan memancingku! Kam
Bab7Joe tersenyum nakal, ketika merasakan tubuh Case gemetaran. "Kau ketakutan padaku? Bukankah kita suami istri," goda Joe, membuat Case semakin panik."Ini sungguh tidak lucu," ungkap Case dengan wajah tegang.Joe Wilianus terkekeh. "Kau sangat percaya diri, kau pikir aku akan menyentuhmu? Oh Nona yang tidak jelas asal-usulnya, cepatlah bantu aku membersihkan punggung dengan segera! Sebab aku merasa kotor terlalu lama di dekatmu," ejek Joe Wilianus, membuat Case Mowelas menarik napas dalam.Kata-kata seperti ini, memang sering Joe Wilianus dan keluarganya katakan pada Case. Case hanya bisa terus menyabarkan diri, dan mematuhi ucapan Joe layaknya seorang tuan."Apakah kamu menyukai Khan?" tanya Joe tiba-tiba, kala Case Mowelas dengab cekatan menggosok pelan punggung kekar lelaki di depannya."Biasa saja, aku tidak begitu mudah menyukai orang.""Oh ya? Kesannya harga dirimu begitu tinggi," ejek Joe, sembari terkekeh.
Bab8Melihat Case Mowelas yang sedang menyantap sarapannya dengan santi, membuat emosi nyonya Sabhira memuncak."Dasar pembawa sial," teriak nyonya Sabhira, sembari meraih piring dari tangan Case, dan memukulkannya ke kepala wanita itu."Aawwwww ...." Case Mowelas menjerit kesakitan."Dasar pembawa sial," teriak nyonya Sabhira. Wanita tambun itu berniat memukul kembali, namun Elvina bergegas meraih tangan Ibunya."Bu, jangan lakukan itu," kata Elvina. "Nanti kita akan bermasalah," lanjutnya dengan memegang erat tangan nyonya Sabhira."Lepaskan! Biarkan kubunuh saja wanita sialan ini. Dia dan Ibunya sama saja, hanya menjadi benalu di rumah ini, dasar miskin," teriak nyonya Sabhira dengan emosi meledak-ledak."Jangan kotori tangan Ibu! Untuk apa semarah ini," ucap Elvina menenangkan. "Sudah tau dia bodoh, mau Ibu pukuli seperti apapun, dia tidak akan bercerai dari kakak. Karena apa? Hidupnya hanya akan menjadi pengemis jalanan, da
Bab9Panik, Angela Alexander sekarang panik. Bahkan melihat suaminya begitu antusias dengan kabar ditemukannya Aluna Welas, membuat hati Angela Alexander terasa sakit."Istriku," seru Wiliam Alexander, ketika menoleh ke arah Angela, yang sedang menyisir rambutnya di depan meja rias."Hhmmm ...." suara Angela terdengar berat."Apakah tidak masalah, jika aku keluar sebentar?""Untuk menemui masa lalumu?" tembak Angela tanpa basa-basi. Wanita itu masih sibuk dengan rambutnya di depan cermin."Hhmm, kupikir kamu sudah mendengar dengan jelas tadi. Baiklah, aku akan membawa beberapa anak buah, untuk menemuinya, apakah kamu ingin ikut?""Tidak.""Kenapa? Bukankah dia kerabatmu?"Angela menghela napas berat, dan meletakkan sisirnya di atas meja. Wanita itu, mengalihkan pandangannya dari cermin, dan menghadap Wiliam Mose, yang duduk di atas ranjang, dan menyandarkan dirinya di dipan."Suamiku, kamu pikir aku wanita k
Bab10"Aluna ...." Wiliam terkejut.Lelaki itu menggenggam erat tangan Aluna, berharap wanita yang teramat dia rindukan itu mau bangun dan melihatnya."Percepat laju mobilnya, aku ingin segera lekas sampai," teriak Wiliam. Mata lelaki itu berbinar bahagia, diliputi sejuta harapan, akan kesembuhan Aluna Welas dari koma.Anak buahnya pun melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Hingga mereka sampai di rumah sakit tujuan, yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap, dengan beberapa orang dokter yang telah diakui keahliannya di bagiannya masing-masing."Siapkan fasilitas terbaik di rumah sakit ini, aku ingin Nyonya ini segera sembuh!" titah Mantako Jordan kepada para perawat dan dokter rumah sakit tersebut.Semua perawatan dan fasilitas terbaik mereka kerahkan. Wiliam Alexander begitu berharap penuh, untuk kesembuhan Aluna Welas."Jordan, kau harus memastikan, bahwa Nyonya Welas mendapatkan penanganan terbaik, oke!" tegas Wiliam pada
BMW11Bab11Angela merasa ketakutan saat ini, pikirannya benar-benar tidak tenang."Bagaimana jika wanita itu benar-benar bersama Wiliam? Apakah posisiku akan tergeser? Dan kisah kelamku akan terbongkar? Wiliam bisa saja menghabisiku dengan cara yang lebih kejam," batin Angela."Dengar Keenan Bostilo, jika wanita itu sampai sadar dari koma, dan bertemu dengan Wiliam, maka tamatlah riwayat kita berdua," desis Angela."Tenang my baby. Tidak semudah itu, membuat orang koma menjadi sadar. Lagi pula, anaknya masih ada di keluarga Wilianus.""Anaknya? Case Welas?" Nyonya Alexander ini begitu terkejut, ketika mendengar informasi dari Keenan Bostilo."Yaa ...." Keenan menjawab dengan santai. "Tapi nama wanita itu telah berubah. Case Mowelas," lanjut Keenan Bostilo."Kenapa?""Kurang tau. Tapi aku yakin, dia adalah saudara kembar Jeremy.""Pastikan dulu, jika benar dia saudara kembar Jeremy. Maka, kamu tahu buk
Bab12"Nona, Ibu anda telah dibawa seseorang.""Apa?" Case sangat terkejut, ketika mendengar ucapan perawat di dalam telepon."Maafkan kami," ucap perawat yang memang biasa mengabarkan kondisi Ibu Case melalui sambungan telepon."Saya akan kesana." Sambungan telepon Case Mowelas matikan, dan dia pun bergegas keluar kamarnya.Case terburu-buru, dan berlari ke ruang keluarga, untuk menemui nyonya Sabhira."Ada apa?" Nyonya Sabhira memasang wajah datar, ketika melihat wajah panik Case Mowelas."Bu, aku meminta izin ke rumah sakit, perawat bilang Ibuku hilang.""Hilang? Kau pikir orang koma bisa kabur?" Jawab nyonya Sabhira mengejek."Bu, tidak mungkin perawat itu berbohong padaku," kata Case berusaha meyakinkan nyonya Sabhira."Nggak usah banyak alasan. Ini sudah malam, seharusnya kamu persiapkan tenaga untuk besok. Karena besok, adalah acara ulang tahu Elvina."Dengan wajah datar, nyonya Sabhira m
Bab13Khan Wilson menatap langit-langit kamarnya, sembari membayangkan wajah sang Ibu, yang meregang nyawa dalam insiden tembak lari.'Suatu saat, pasti akan kutemukan pelakunya,' desis Khan Wilson.________Flashback.Nyaris dua tahun berlalu, Khan Wilson kehilangan Ibunya. Di kota Monarki, saat mereka berjalan-jalan menikmati indahnya kota Monarki yang maju pesat.Seharian mereka menjajal kota, Khan Wilson dan Ibunya memasuki sebuah restoran menengah yang ada di kota Monarki."Bu, pesan lebih dulu, aku ke toilet sebentar," ucap Khan Wilson saat itu.Sang nyonya Wilson mengangguk. Dengan santai, dia mulai memesan beberapa menu.Usai memesan, dia pun melihat wanita yang sangat dia kenali."Aluna Welas ...." Nyonya Wilson berteriak, ketika melihat Aluna Welas berjalan keluar dari restoran tempat dia memesan makan.Aluna Welas yang merasa namanya disebut pun menoleh. Hingga, tiba-tiba seseor