Bab4
"Hei, Joe, baru pulang?" tanya Mary. Ia pun bangkit, dan berniat memeluk lelaki itu.
Namun Joe, menghindari Mary.
"Joe?" Alis Mary bertaut, menatap heran pada sikap Joe."Mary, bukan di sini tempatnya."
"Apa masalahnya? Bukankah kita sudah sepakat, untuk berdamai? Apa kamu takut, wanita miskin itu akan cemburu?" Mary membrondong Joe dengan beragam pertanyaan, disertai dengan tuduhan.
"Mary, duduklah, aku mau membersihkan diri dulu," pinta Joe. Mary sebenarnya teramat kesal, namun dia pun tidak ingin membuat kesalahan lagi.
Dia baru kembali ke kehidupan Mary, setelah sebulan lamanya, mereka memutuskan untuk break. Mary memang tidak banyak menuntut lagi, dia berusaha untuk mengerti.
Namun kebenciannya pada Case Mowales, itu sangatlah besar.
"Dasar perempuan penggoda, jika aku tidak tahan lagi, akan kubunuh dia dengan tanganku," batin Mary.
Mary berusaha tenang, dan memberikan senyuman penuh pengertian. "Oke Joe, aku akan menunggu. Karena aku, akan makan malam di rumah kalian," kata Mary dengan ceria.
"Ya," jawab Joe santai. Mary agak sedikit meredup, karena tidak melihat aura kebahagiaan dimata Joe.
Joe berlalu menaiki anak tangga, dan Mary kembali duduk ke sofa ruang keluarga, bergabung bersama Elvina, yang tengah asik bermain game.
Sedangkan nyonya Sabhira, sedang asik tidur di kamarnya.
Berbeda dengan Case Mowales. Dia sibuk mengurus dapur, dan mempersiapkan makan malam seorang diri. Hal itu, memang menjadi kebiasaannya sedari dulu.
Jika dulu dia digaji, karena tenaganya. Kini tidak ada sama sekali, dia bahkan hanya dapat uang transportasi, untuk menjenguk Ibunya yang terbaring koma di rumah sakit.
*Makan Malam.
"Case, kamu makan di dapur! Karena malam ini, Mary yang akan mendampingi Joe makan." Ucapan nyonya Sabhira terdengar tegas dan tak terbantahkan.
"Ya," jawab Case Mowelas, tanpa banyak bicara.
"Wanita itu, memang sedungu itu ya?" tanya Mary dengan heran.
"Memang, bodoh tepatnya," jawab Elvina sambil terkekeh.
Semua pembicaraan penuh hinaan dan ejekkan itu, terdengar jelas di telinga Case.
"Sudah, kalian fokus saja makan," tegur Joe. Biar bagaimana pun, lelaki itu memiliki sisi rasa kasihan pada Case.
"Ya, kalian makan saja, dan jangan terus membicarakan wanita itu," pinta nyonya Sabhira. "Biar bagaimana pun juga, wanita itu masih berguna untuk kita."
"Tapi Tan, sampai kapan aku menunggu?"
"Mary, jangan lupakan kesepakatan kita," tegur Joe. Membuat mendung wajah Mary.
"Ya, Mary. Jika Joe bercerai, sebelum mereka memiliki anak, maka, Joe tidak akan mendapatkan warisan dari kakeknya."
"Wanita itu, seharusnya dia bisa sadar diri, dan menolak permintaan kakek! Nggak masuk akal banget," desah Mary kecewa.
"Mary, ini sudah keputusan kakek! Tante tidak bisa melakukan apapun," sahut nyonya Sabhira. Mary hanya menghembuskan napas berat, dan mereka pun kembali menyantap makan malamnya.
Sedangkan Case Mowales, mendengar penuturan keluarga mereka. Case seakan tidak kuasa menelan nasi, akibat rasa sesak di dalam dada yang semakin mendominasi.
Bagaimana dia bisa keluar dari lingkaran setan di rumah ini? Sedangkan pengobatan Ibunya, bergantung penuh di tangan keluarga Wilianus.
Bertahan sakit, pergi pun terlalu berisiko buat pengobatan sang Ibu. Case Mowales hanya berharap, Ibunya cepat sadar dari koma, agar dia bisa terlepas dari perbuatan semena-mena keluarga ini.
"Kenapa kamu menangis?" Terdengar suara berat Joe, membuat Case sangat terkejut, dan dia pun dengan cepat menyeka air matanya.
"Joe," lirih Case.
"Kenapa kamu menangis? Dasar cengeng. Selain cuma bisa berkata iya, iya, ternyata kamu juga hebat dalam menangis. Dasar wanita tidak berguna," desah Joe dengan meletakkan piring ke wastapel, dan melanjutkan melangkah keluar dapur, menuju ruang makan.
Case Mowelas merasakan hatinya semakin pedih. Tidak ada satupun dari mereka, yang baik kepadanya. Andai saja Tuan Bastara masih hidup, nasib Case tidak mungkin semalang ini.
*Flashback.
"Ibu mau kemana?" Case bertanya. Saat itu, usianya baru 15 tahun.
"Kita akan kerumah Tuan Bastara, di sana, Ibu akan bekerja sebagai pelayan. Dan kamu, ikut sama Ibu."
"Bu, kenapa kita harus hidup sesulit ini? Sedangkan adik sama Papa, hidup dengan baik dan berkuasa."
"Case, jangan pernah kamu keluhkan hal itu! Ibu tidak suka. Biar bagaimana pun juga, Ibu tidak bisa, hidup lagi bersama Papa kamu," tegas Aluna Welas. Mata wanita yang bergelar Ibu itu, kini berkaca-kaca.
Masih jelas diingatannya, sepupu perempuannya, telah menikahi Wiliam, yang dia kira, akan menunggu Aluna sampai kembali.
Aluna Welas sangat kecewa saat itu, baginya, Wiliam tak ubahnya lelaki berengsek, yang hanya mempermainkan wanita.
Bahkan, dia telah merebut perusahaan Welas Company Group di Negri Fantasy, dan merubah nama perusahaannya, menjadi Mose Group.
Sakit hati membuat Aluna Welas tidak mau kembali menemui Jeremy putranya, juga Wiliam, Papa dari anak-anaknya.
Aluna bersumpah, akan menghancurkan Wiliam saat itu. Namun. Dia pun harus berjuang keras, membesarkan Case Mowelas seorang diri.
Hingga pertemuannya dengan Tuan Bastara Wilianus, membawa Case ke kehidupan pilu seperti sekarang ini.
Begitulah kisah awalnya, Case dan Aluna Welas, berada di rumah Bastara Wilianus.
"Caseee ...." Teriakkan nyonya Sabhira, membuyarkan lamunan Case Mowelas.
Wanita itu terperanjat, dan gegas berdiri dari duduknya di lantai. Makan malam pun belum selesai dia habiskan, dan langsung Case letakkan di wastafel.
Ia kuatir, nyonya Sabhira akan mengamuk lagi, jika dia lambat menemui wanita itu.
"Ya, nyonya," kata Case, sedikit berlari, menuju meja makan.
"Dokter menghubungiku, Ibumu kritis," kata nyonya Sabhira.
"Apa? Oh Tuhan," pekik Case Mowelas. Tanpa bicara lagi, Case langsung berlari menuju keluar rumah dengan panik.
Sedangkan nyonya Sabhira, Elvina dan Mary saling pandang. Dan setelah Case Mowelas keluar rumah, ketiga orang itu tertawa keras.
"Hahaha, kau lihat sendiri, dia percaya begitu saja," kekeh Elvina. "Dasar wanita malang," lanjut Elvina, masih dengan tertawa terbahak.
Mentertawakan kepolosan Case Mowales, adalah kerjaan Elvina. Wanita itu, menganggap Case Mowelas, hanyalah wanita bodoh yang tidak dia sukai.
"Kalian luar biasa," timpal Mary, yang juga tertawa terbahak, karena berhasil mengerjai Mary.
"Lucu?" Kali ini, suara Joe terdengar dingin, dan membuat mereka yang tadinya tertawa keras, menjadi langsung terdiam.
"Apaan sih, Joe?" Nyonya Sabhira menatap tak suka dengan perkataan Joe.
"Kalian yang apa-apaan. Ini sudah malam, terlalu berbahaya, membuat Case Mowales keluar rumah dalam keadaan panik."
"Nggak apa-apa kali, Joe. Lagian, kalau dia mati, kan kamu nggak perlu lama-lama berstatus suaminya." Mary menimpali.
"Memang harus begini caranya? Mengesalkan sekali," desis Joe.
"Kami kan cuma lelucuan saja," sahut Elvina malas, sembari memutar bola matanya.
"Dia bukan penghibur kalian, jadi stop, menjadikannya bahan tertawaan."
"Aku jadi curiga sama kamu, Joe. Kamu begitu membela wanita itu."
Mary menatap penuh selidik dan tatapan penuh dengan tuduhan.
Bab156"Semua begitu cepat berubah. Dalam hitungan beberapa hari saja, tingkah kamu menjadi begitu tidak biasa. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan mereka?" tanya Desca pada Jeremy, ketika mereka masuk ke dalam mobil Jeremy."Itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, tidak untuk di bahas, semua hanyalah kebetulan.""Oh ya? Bagaimana mungkin ini kebetulan. Sedangkan pagi sekali, kamu pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Ini bukan kamu, Jeremy. Aku ini istri kamu, aku kenal kamu dengan baik."Jeremy menarik napas, dan mulai melajukan mobilnya. Desca terdiam, karena Jeremy tidak menanggapi ucapannya. Hatinya jelas gelisah, sebab di selimuti perasaan curiga."Aku mampu mencari tahunya sendiri, jika kamu tidak berani jujur," ujar Desca lagi, membuat Jeremy menelan ludah."Kamu tentu tahu bagaimana sifat burukku. Jika kamu membuat sesuatu yang salah, dan tidak berani mengakuinya, maka aku pun tidak segan- segan, melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu perkirakan dampaknya," lanjut Desca l
Bab 155Sebagai seorang istri, Desca jelas merasakan sekali perubahan sang suami. Jeremy yang emosi, menatap tajam kepada Desca yang matanya kini berkaca- kaca."Aku butuh ketenangan, paham!!" tekan Jeremy. Wanita itu hanya terdiam, meski air mata kini jatuh berhamburan membasahi pipinya. Hal itu membuat Jeremy seketika merasa bersalah dan langsung memeluk Desca."Maaf, maaf jika aku berkata kasar dan melukaimu," lirih Jeremy, sembari memeluk istrinya itu.Desca masih tidak bersuara, dia cukup syok dengan perlakuan Jeremy hari ini. "Aku mau istirahat," ujar Desca pada akhirnya, setelah melepaskan diri dengan perlahan dari pelukan Jeremy.Lelaki itu tahu, bahwa kini Desca terluka, dia pun memilih diam dan membiarkan Desca berjalan menuju kasur."Kamu sudah makan?" tanya Jeremy. Namun Desca tidak menyahut dan langsung menenggelamkan diri di dalam selimut.Jeremy terdiam, dan duduk termenung di depan laptopnya yang masih menyala.Bayangan kedua anak kembar Rebecca, membuat pikiran Jere
Bab154"Tidak, aku tidak akan memberitahu mereka," tegas Rebecca. Wanita itu membuang pandangannya dari Jeremy."Oh begitu. Aku yang akan beritahu mereka."Rebecca kembali menatap Jeremy, kemudian tersenyum. "Apakah kamu sudah siap? Jika istrimu mengetahui semuanya?"Jeremy terdiam. Wajahnya nampan gusar, membuat Rebecca tersenyum kecut."Pergilah! Ada baiknya kita, tidak usah saling mengenal lagi. Semua yang pernah terjadi antara kita, anggap saja angin lalu."Jeremy mengernyit. "Angin lalu? Andai tidak ada mereka, tidak masalah bagiku."Mendengar jawaban Jeremy seperti itu, ada perasaan terluka di hati Rebecca. Ingin sekali wanita itu menangis dan mengumpat Jeremy yang berkata selugas itu."Pergilah, aku perlu beristirahat.""Baiklah, tapi ingat, jangan melarangku untuk dekat dan bertemu mereka."Rebecca menatap dalam mata Jeremy. "Akan kupikirkan."Kemudian terdengar bunyi bell. Rebecca beranjak dari duduknya dan menuju pintu. Wanita itu membuka lebar daun pintu dan."Taraaa ...
Bab153Seakan mengulang masa lalu sang Ayah, Jeremy tidak mengenali Clara, seperti Wiliam dulu tidak mengenali Case.Bedanya Wiliam dan Aluna Welas sempat menikah dan bahagia. Sedangkan Rebecca dan Jeremy? Kandas karena hadirnya sosok Rebecca diantara mereka.Panggilan telepon masuk, ketika Jeremy sedang makan siang bersama keluarganya. Melihat nama orang suruhannya yang menghubungi, Jeremy pun menjawab panggilan itu, dengan menjauh dari meja makan."Tuan ....""Ya, bagaimana?""Dia benar nyonya Rebecca yang anda cari selama ini, dan kedua anak itu adalah anaknya, mereka kembar!" seru lelaki di seberang telepon.Jeremy tertegun, mendengar informasi itu."Kembar!!" "Ya, Tuan. Selama ini, nyonya Rebecca bekerja seorang diri menghidupi kedua anaknya, beliau belum menikah. Hanya saja, ada seorang laki- laki yang memang sangat dekat pada mereka.""Siapa itu?""Zacob Catwalk, Tuan."Hati Jeremy terasa tidak nyaman, mendengar tentang Zacob Catwalk yang dekat dengan Rebecca dan kedua anak k
Bab152Panas dingin, kini Rebecca mendadak kaku, dan seakan kesulitan untuk menoleh ke belakang."Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu."Ansel, menghindar! Kamu lupa yang Mami katakan? Jangan bicara dengan orang asing," bentak Clara.Gadis berwajah imut itu menarik tangan Ansel, membawanya menjauh dari Jeremy."Aku bukan orang asing," sahut Jeremy. "Mami, Ansel bicara dengan orang asing," kata Clara mendekati Ibunya. Jeremy yang semula berjongkok karena berbicara pada Ansel, pun kini berdiri.Tidak jauh dari mereka berdiri, seorang wanita yang Clara panggil Mami itu seakan mematung."Ayah," seru Samuel, membuat Jeremy menoleh."Suamiku, kamu di sini? Ayo pulang, pendaftaran sudah selesai," seru Desca.Jeremy serba salah, ingin sekali melihat dan menyapa Rebecca lagi. Ah, bukan hanya itu, dia ingin sekali menanyakan tentang kedua anak ini.Hanya Ansel yang ingin dia tanyakan, sedangkan Clara? Jeremy meyakini, bahwa Rebecca telah menikah lagi, dan Clara anak keduanya."Ansel namanya," gu
Bab151"Kita naik taksi online lagi? Om Zacob nggak jemput kita?" tanya Clara mengulangi pertanyaannya tadi."Betul sayang! Om Zacob itu sibuk!" sahut Rebecca lembut."Ah, orang dewasa selalu saja sibuk," celetuk Clara tak senang."Nanti kalau kita dewasa, kita tidak usah sesibuk itu untuk pergi bekerja," sahut Ansel menimpali.Mereka duduk di sebuah halte."Kalau kalian tidak sibuk bekerja, pastikan kalian memiliki uang yang tidak akan pernah habis." "Tentu saja, aku calon wanita sukses dan kaya! Mam. Lihat wajahku, aku cocok menjadi artis di masa depan." Clara menyahut dengan pongahnya, juga dengan gaya centilnya, membuat Rebecca terkekeh."Baiklah, Mami coba percaya itu, oke." "Ansel, kamu sendiri bagaimana?" tanya Rebecca, menoleh ke arah Ansel."Aku calon dokter, Mam. Jadi, jika Mami sakit, aku bisa mengobatinya." "Oke baiklah, kita perlu pembuktian dari ucapan kalian berdua, oke." "Oke." Ketiganya memasuki taksi online. Di perjalanan, sebuah mobil terlihat mengejar ke arah