Share

Bukan Wanita Penggoda
Bukan Wanita Penggoda
Author: Hanazono Hikari

1

“Hentikan! Jangan!” rintih Jingga dengan mata yang masih terpejam, kristal bening keluar dari ujung matanya. Lagi-lagi, Jingga bermimpi buruk. 

Rintih ketakutan Jingga dalam tidurnya kontan membuat panik pria yang duduk tak jauh dari tempat Jingga berbaring. Pria tersebut mendekat, mengguncang tubuh remaja tanggung yang tidur diatas ranjang rumah sakit, berharap ia segera bangun dari mimpi buruknya.

“Hei! Bangun!” panggil pria berwajah tampan, mencoba membangunkan Jingga yang masih terjebak dalam tidurnya. 

Jingga yang memiliki ketakutan akan kontak fisik kontan terkesiap kaget.

“Dimana ini?” tanyanya pada diri sendiri setelah melayangkan pandang melihat seisi ruangan, memastikan bila ia tidak berada di tempat yang tidak semestinya. Jingga belum menyadari jika ada orang lain di sekitarnya. “Aduh!” Manik jelaganya langsung tertuju pada selang IV di tangan kiri setelah merasakan cubitan rasa sakit di sana.

“Kau sudah sadar? Sekarang kamu ada di rumah sakit, apa kau baik-baik saja?” tanya suara bariton berat terdengar, membuat gadis itu terlonjak kaget. Tatapan Jingga berpaling menuju sosok pria yang berada di samping dan sedang memegang bahunya.

Seketika itu pula Jingga langsung menepis tangan pria yang sama sekali tidak ia ketahui dan menarik diri menjauh.

“Siapa kau?” pekik gadis delapan belas tahun tersebut, nyaring setengah menjerit. Jantungnya yang baru saja tenang kembali berdetak kencang, nafasnya tersenggal, tubuhnya mulai bergetar dan mengeluarkan keringat dingin. 

“Namaku, Agni.” jawab sang pria lembut, kedua tangannya terangkat berharap bisa menenangkan keterkejutan Jingga yang baru saja sadar. Tetapi, melihat penolakannya membuat pria itu mundur beberapa langkah. 

“Agni?! Aku nggak kenal kamu!” cicit Jingga ketakutan.

Hanya dengan melihat, pria itu tahu jika Jingga takut akan dirinya.

“Jangan takut! Tunanganku, Ilana kemarin menemukanmu seperti orang gila di tepi jalan, berteriak-teriak tak jelas kemudian tak sadarkan diri. Jadi kami memutuskan untuk membawamu ke rumah sakit,” jelas sang pria.

“Ru... rumah sakit?” koor Jingga ragu, matanya bolak balik menatap sekeliling memastikan dirinya benar ada di rumah sakit. Tetapi, meski ia telah menyadari dimana ia berada, Jingga tak juga menurunkan pertahanan. 

Manik kelam Agni menatap aneh pada gadis yang ia tolong. Pasalnya Jingga sama sekali tak merespon jawabannya dengan baik, malah terlihat seperti orang yang sedang melihat hantu.

“Hei, tenang!” pintanya. “Aku bukan hantu atau penjahat, jadi kau tidak perlu takut!” Ujar sang pria sambil kembali maju beberapa langkah, lalu menilai respon remaja yang masih meringkuk ketakutan di atas ranjang rumah sakit.

“J-jangan mendekat! Kumohon! Menjauh dariku!” pinta Jingga yang gemetaran, giginya bergemelutuk menggigil.

“Ada apa denganmu! Tenang!” Agni bingung melihat reaksi Jingga yang tidak biasa. “Hei, Nona! aku tidak melakukan apa-apa padamu, jadi kau tidak perlu panik seperti ini! aku tidak akan berjalan selangkahpun untuk mendekat, jadi tenang!” pinta pria tersebut, tetapi Jingga sama sekali tidak bisa fokus mendengarkan, seperti tubuh dan fikirannya berada di tempat yang berbeda pada saat bersamaan.

‘Astaga, anak ini pasti mengalami sesuatu yang buruk sampai reaksinya kacau begini. Sikapnya mengingatkanku padaku dan adikku ketika kami kehilangan orang tua kami dahulu,’ batin Agni prihatin.

Pria tampan bertubuh tegap itu tidak mengetahui alasan apa yang membuat gadis di hadapannya sampai bertindak bak kehilangan akal sehat. Jadi, ia berusah menenangkan diri agar tidak ikutan gila.

Memang, ketika ia dan tunangannya menemukan Jingga, ia dalam keadaan menjerit-jerit di tepi jalan. Awalnya mereka mengira bila gadis yang mereka tolong mungkin sedang dalam keadaan stres. Namun, melihat Jingga saat ini, kondisi mental remaja delapan belas tahun itu jauh dari sekedar stres.

“Mas! Jingganya sudah sadar belum?” tanya seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat inap tempat Jingga berada, tangan kanannya memegang tas belanja berisikan makanan yang baru saja ia beli di kantin rumah sakit. “Dia kenapa, Mas? What are you doing?” kembali wanita tersebut bertanya, manik kelamnya menatap tajam sang calon suami dan Agni langsung buru-buru menggeleng. 

“Mana kutahu, Na! Aku saja lagi bingung melihat tingkahnya. Dia bangun terus kusapa, malah jadi begitu, mirip orang yang ngeliat demit. Masa iya aku mirip demit?” sahut Agni asal menjawab pertanyaan wanita yang sudah menjadi tunangannya sejak setahun yang lalu. 

“Mas!” tegur sang tunangan, gemas. “Ada-ada saja kamu, Mas! Orang sedang sakit kok malah kamu jahili!”

“Aku serius, Ilana sayang! Mas sendiri nggak tau apa yang terjadi padanya,” jawab Agni dengan nada mendayu, menggoda sang tunangan. “Kalau Mas tahu alasannya, Mas juga nggak akan kebingungan. Aku ini sudah mundur beberapa langkah dari dia, lho!” lanjut pria berusia dua puluh delapan tahun dengan jabatan DirUt.

Tiba-tiba Jingga menubruk Ilana, meminta perlindungan. Ilana hampir terjatuh dibuatnya, beruntung wanita berusia dua puluh lima tahun itu bisa menyeimbangkan diri. 

Wanita berparas ayu itu bingung sendiri melihat gadis cantik yang ia tolong kemarin dalam keadaan aneh. ‘Dia nggak mengalami gangguan jiwa, ‘kan?’ batin Ilana.

“Kak! Tolong aku, Kak! Aku takut!” pinta Jingga dengan suara bergetar, ia benar-benar ketakutan. Tetapi, Ilana maupun Agni tidak tahu alasan kenapa gadis yang mereka tolong sampai bersikap seperti sekarang. 

“Kamu kenapa? Ada apa?” tanya Ilana panik. Siapa juga yang tidak panik jika tahu-tahu langsung ditubruk tanpa aba-aba? apa lagi yang menubruk dalam keadaan gemetar ketakutan seperti yang terjadi saat ini.

Jingga hanya diam tak menjawan, gadis itu malah mulai menangis sesenggukan dan semakin membenamkan diri dalam pelukan Ilana. “Kak, please! Help me!” Bisiknya pelan. 

“Mas?” kembali Ilana bertanya pada sang tunangan, tetapi Agni mengangkat bahu, benar-benar tidak mengetahui alasan mengapa gadis pemilik nama Jingga tersebut bersikap aneh.

“Kalau Mas tahu, mas juga tidak akan mundur beberapa langkah darinya, Sayang! Saat dia ngeliat aku, reaksinya langsung begitu, tapi kok ya sama kamu nggak ada masalah,” jelas Agni. “Mungkin dia punya gangguan jiwa,” lanjut Agni pada sang tunangan hanya dengan mulut yang bergerak tanpa suara, yang langsung dijawab dengan tatapan membunuh khas Ilana.

“Jingga! Nama kamu Jingga, kan?” tanya Ilana yang dijawab dengan anggukan. “Kamu kenapa? Ada masalah dengan Agni tunanganku?” 

Kembali Jingga menggeleng, namun gadis itu masih bersembunyi di belakang Ilana. Tangannya memeluk erat lengan wanita cantik tersebut.

“Lalu kenapa kamu ketakutan seperti ini? Kalau kamu diam saja, kami nggak akan tahu apa yang terjadi pada...”

Belum selesai Ilana berbicara, ia merasakan tangannya basah oleh sesuatu, kemudian pandangannya tertuju pada noda di lantai yang juga menarik perhatian karena memiliki warna yang tak jauh berbeda dengan cairan yang membasahi tangannya.

“Astaga, Mas! Panggil dokter!” Seru Ilana panik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status