Share

2

“No! Please, Kak! Tolong aku!” Jerit Jingga ketakutan saat seorang dokter dan beberapa perawat mendekatinya.

“Mereka cuma mau memeriksa keadaan kamu, Jingga. Itu tangan kamu berdarah dan mesti diobati!” Ilana sama paniknya dengan orang yang ngumpet di balik tubuhnya.

“Ta...tapi...”

“Jingga!” bentak Agni kesal, anehnya ia berhasil mengambil atensi Jingga. “Nggak pakai kata ‘tapi’! Kamu butuh perawatan dan mereka ada disini untuk merawatmu, bukan untuk menyeretmu kepenjara!”

Jingga yang semula bersembunyi di balik tubuh Ilana, perlahan memperlihatkan diri meski dengan tubuh yang gemetar.

“Nama kamu Jingga?” tanya pria bersurai coklat terang dengan stetoskop terkalung dilehernya. “Aku Dokter Lexy, aku adalah orang yang menjadi dokter kamu semenjak kamu masuk ke rumah sakit beberapa hari ini. Kami tidak akan berbuat hal buruk, jadi kamu nggak perlu takut,” lanjut sang dokter membujuk dengan suara lembut.

Tetapi, Agni dan Ilana yang mendengar tutur kata sang dokter malah memutar mata, mengisyaratkan ‘halah gombal’.

Mata Jingga dan Dokter Lexy saling pandang, gadis delapan belas tahun tersebut menelaah, memastikan bila pria dihadapannya tidak berbahaya. Meskipun, ia tidak bisa mempercayai orang lain, belum. Perlahan, Jingga mengulurkan tangannya pada sang Dokter.

“Tolong diobati,” ucap Jingga lirih.

“Ok, tapi kamu naik dulu ke tempat tidur, biar aku lebih mudah untuk mengobati dan kembali memasang selang IV,” pinta Dokter Lexy lembut. “Ilana, tolong dibantu!” lanjut Lexy berpaling pada tunangan Agni, seraya memberi isyarat mata untuk memperhatikan gestur sang pasien.

“Oh iya, kenalkan dulu! Aku Dokter Galih Alexander, aku dan Agni sudah lama bersahabat, jadi kamu nggak perlu ragu untuk ngobrol denganku. Tapi, kalau aku boleh tahu, kenapa kamu ketakutan pada kami?”

“Orang akan menjauhiku ketika mereka tahu siapa aku sebenarnya,” ucap Jingga pelan, tetapi masih terdegar jelas oleh Lexy dan juga Ilana.

“Why? Apa kamu melakukan satu hal yang salah?” tanya Lexy menggunakan nada ringan dan santai sambil tersenyum tipis menenangkan, tangannya sibuk memasang IV baru.

“Aku nggak salah!” Tegas Jingga tiba-tiba, suaranya yang nyaring mengejutkan orang disekitarnya. “Bukan aku yang salah! Kenapa semua orang selalu menyalahkan aku hanya karena caraku berpakaian? Apa kalian pikir jika aku berpakaian sexy lantas aku penjaja cinta satu malam? Aku hanya suka fashion, bukan kupu-kupu malam!” Emosi Jingga terpancing lantaran mendengar pertanyaan

Rentetan kalimat yang dikatakan Jingga menjelaskan alasan mengapa gadis tersebut memiliki gangguan emosional.

“Hei, tenang dulu! Disini nggak ada yang berani memandang kamu seperti itu. Kami akan menjaminnya.” Kembali Lexy menenangkan Jingga.

“Tapi mereka begitu, mereka menyalahkan aku seakan semua itu dosaku, seakan aku yang salah. Seolah-olah hanya aku yang membuat dia melakukan semua itu.”

“Dia? Dia siapa? Lalu apa yang dia lakukan sampai membuat kamu disalahkan?” selidik dokter bersurai coklat terang tersebut, masih dengan suara lembut yang menenangkan. Namun, seketika itu juga Jingga tutup mulut.

Pandangannya menatap lurus kearah pria yang mengobatinya, kemudian tertunduk, diam seribu bahasa.

“Boleh tahu dari mana asal kamu?” Lexy mengalihkan pembicaraan.

“Boleh aku untuk nggak menjawab?”

“Nggak ada yang memaksa kamu untuk menjawab, aku disini sebagai tenaga medis, bukan polisi yang harus kamu berikan kesaksian. Jadi, jangan terlalu merasa tertekan, Oke!” guyon Lexy sambil membelai rambut Jingga pelan. “IV nya sudah beres, kamu istirahat dulu!” lanjutnya.

“Agni! Ilana!” panggil sang Dokter. “Kita ngobrol di ruanganku dulu, bisa?” Agni dan Ilana mengangguk setuju kemudian mengikuti Lexy ke ruang kerjanya.

Dalam ruang kerja Dokter Lexy, Agni dan Ilana duduk berdampingan menghadap sang dokter yang sudah mereka kenal sejak lama.

“Dia sebenarnya kenapa, Lex?” tanya Agni pada sosok pria berjas putih yang duduk di sisi lain meja. “Aku bingung, lho! Dia ngeliat aku kaya ngeliat demit.”

“Kamu memang sudah cocok kok jadi demit, Ni! Bagaimanapun juga kamu kan orang yang ditakuti sama anak buahmu!” sahut sang dokter menggoda Agni. “Coba tanya orang-orang di sekitarmu selain orang terdekat, ‘siapa yang nggak takut sama Pak Agni Kumbara Dirgantara?’ aku jamin tidak ada seorangpun yang tunjuk tangan. Kalau sampai ada, bilang padaku! aku akan menghadiahinya uang tunai”

“Lexy! Aku serius, Lex! Kalau kamu terus menggodaku begini, aku pastikan besok pagi, semua surat kabar di negara ini akan memuat berita tentang Dokter Galih Alexander yang seorang playboy cap kecoa senang koleksi cewek!”

“Nggak lucu kamu, Ni! Mainannya pakai ancam-ancaman!” protes Dokter Lexy yang disambut dengan tatapan tajam sang sahabat. “Ok! ok! Aku ngaku kalah!” sahut sang dokter sambil angkat tangan, tak berani lanjut menggoda teman semasa sekolahnya itu. “Jadi gini, Ni....”

“Agni, Lex. Lengkap! Kalau kamu manggil aku Ni-Ni-Ni-Ni, orang bisa salah sangka menilai aku pria belok dengan nama Nini!” seloroh Agni gemas pada dokter yang menangani Jingga saat ini.

“Astaga, Agni!” seru Dokter Lexy, gemas pada kelakuan temannya yang megalomania tersebut. “Kalau bukan teman, sudah ku buang kamu dari dulu!”

“Kalian berdua! Berhenti berdebat dan selesaikan penjelasannya atau aku sendiri yang akan mengirim kalian berdua ke neraka!” bentak Ilana yang bosan dan sudah pusing mendengarkan ocehan dua orang pria di hadapannya.

Seketika Agni dan Lexy terdiam saling tatap. Ternyata sesuperior apapun seorang laki-laki, mereka tetap tidak akan berkutik bila wanita sudah angkat bicara. Lebih baik diam dari pada benjol, bukan?

Lexy berdeham pelan demi mengembalikan harga dirinya yang baru saja tercecer. “Jadi, menurut prediksiku, gadis yang kalian temukan ini kemungkinan mengalami peristiwa yang membuatnya trauma atau mungkin malah sudah ke tahap yang lebih jauh misalnya depresi,” jawab Lexy dengan mimik wajah serius. “Tetapi kalau kalian berdua tanya kejadiannya ke aku, jelas aku nggak tahu, aku belum pernah belajar jadi ahli nujum soalnya.”

“Duh Gusti, paringono Eling!” gerutu Ilana. “Mas Lexy!” dilanjut dengan bentakan kesal gadis dua puluh lima tahun tersebut pada dokter bersurai coklat terang, berwajah blasteran.

“Iya, Ilana! Aku ngerti!” sahut Dokter Lexy setelah berhasil mengontrol diri dari kemungkinan untuk berkomentar yang melenceng dari tujuan, lagi. “Untuk lebih jelasnya kita harus bertanya pada gadis itu, hanya saja sebelum kita bertanya secara spesifik tentang masalahnya, kita harus lebih dulu memulai pendekatan. Kita harus memberikan rasa aman dan nyaman saat ada bersama dia, memberikan pandangan padanya kalau kita bisa dipercaya dan tidak akan melukai dia.”

“Terlalu panjang, Lex. Nggak bisa langsung tanya saja?”

“Demi sempak Fir’aun! Ni, aku mesti gimana jelasin ke kamu? pake bahasa planet mana?”

“Mas Lexy!” bentak Ilana yang mungkin akan segera terkena serangan darah tinggi menghadapi dua pria yang sedang berdiskusi dengannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status