“Tidak … tidak!” seru Kayla panik. “Kumohon jangan lakukan itu!” pintanya memohon.
Ia sama sekali tidak menduga, keinginan untuk bertemu ayahnya akan berakhir menjadi ancaman bertaruh nyawa seperti ini.
Wajah Xavier masih tampak keras. “Dan satu lagi,” katanya. “Mulai detik ini, kau harus berhenti bekerja di café sahabatmu itu.”
Kayla terbelalak. “Apa? Ta-tapi … aku harus bekerja, Xavier.”
Di sanalah ia bisa menjadi dirinya sendiri, tertawa, berbagi cerita dengan sahabatnya, dan lupa sejenak bahwa ia adalah tawanan dari pernikahan yang dipaksakan.
Namun reaksi Xavier cepat dan keras. “Kau pikir aku tidak sanggup menghidupimu?” ucap Xavier dingin.
“Bu-bukan begitu. Aku hanya ….”
Belum sempat Kayla melanjutkan ucapannya, tangan besar dan kokohnya mencengkeram bahu Kayla dan menekannya kuat-kuat.
Kayla meringis, terkejut oleh kekuatan yang ditunjukkan pria itu. Ia mencoba mengelak, tapi genggaman itu menahannya seakan ia tak lebih dari boneka kain.
“Aku tak suka mengulang ucapanku, Kayla.” Suara Xavier berubah menjadi geraman.
Matanya membara, tidak sekadar marah, tapi seperti ingin mengendalikan setiap helaan napas istrinya.
“Dan kau akan membunuhku jika aku menolak perintahmu?” Kayla berusaha tetap tenang, walau tubuhnya bergetar. “Ayolah, Xavier. Kali ini saja. Aku janji akan pulang tepat waktu—”
“Sekali tidak tetap tidak, Kayla!” bentaknya keras.
Bentakan itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang udara dan membungkam segalanya.
Kayla spontan menundukkan kepala, kedua bahunya bergetar halus. Ia merasa tubuhnya mengecil, menciut, dan makin hilang kendali atas hidupnya sendiri.
Air mata sudah menggenang di sudut matanya. Tapi, ia menahannya.
“Jika ingin bekerja, kau harus bekerja di dekatku. Aku sudah menyiapkan tempat untukmu.”
Perkataan itu jatuh begitu saja dari bibir Xavier, dingin namun jelas. Seolah ia sudah menyusun rencana itu jauh-jauh hari, menunggu saat yang tepat untuk mengeksekusinya.
Kayla sontak mendongakkan kepala. Matanya menatap Xavier dengan penuh keraguan, alisnya bertaut, dan dada kecilnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Maksudmu… aku akan bekerja di kantormu?” tanyanya pelan, mencoba menakar niat tersembunyi dari pria yang kini menjadi suaminya itu.
Xavier menjawab tanpa sedikit pun menoleh. “Ya. Kau akan menjadi asisten pribadiku.”
Kayla langsung terperangah. “Hah?” bibirnya setengah terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Menyiapkan semua keperluanmu, menemanimu meeting, mengatur jadwal, bahkan mungkin harus ikut ke luar kota? Asisten pribadi seperti itu maksudmu?” tanyanya dengan suara meninggi, mencoba memastikan bahwa telinganya tidak salah menangkap kata-kata.
Xavier menyesap anggurnya pelan lalu memutar tubuh. Tatapan matanya yang tajam langsung menusuk ke dalam mata Kayla, membuatnya gelisah.
“Ya. Mulai besok, kau akan menjadi asisten pribadiku.”
Kayla menghela napas panjang. Ia tidak pernah bekerja di lingkungan kantor profesional sebelumnya, apalagi menjadi asisten pribadi pria yang seperti badai berjalan itu.
Dalam pikirannya, pekerjaan itu bukan sekadar tugas, melainkan jebakan dalam balutan kesibukan.
“Kau tidak memiliki niat buruk padaku, kan? Ingat, Xavier. Aku harus melahirkan anak untukmu,” ucap Kayla dengan suara nyaris bergetar.
Mendengar itu, Xavier tersenyum samar, senyum yang membuat bulu kuduk Kayla meremang. Ada sesuatu dalam senyum itu. Sesuatu yang tak bisa ia mengerti, tapi cukup membuatnya resah.
“Aku tidak tahu apa maksudmu,” jawab Xavier enteng. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Kayla. “Yang jelas, aku hanya mengizinkanmu bekerja jika itu dalam pengawasanku.”
Kayla kembali terdiam. Dalam pikirannya, ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang kontrol.
Tentang bagaimana Xavier ingin terus memegang kendali atas seluruh kehidupannya, bahkan ketika ia mencoba mencari ruang napas.
“Mau atau tidak, itu pilihanmu,” lanjut Xavier tanpa ekspresi. “Yang pasti, kesempatan ini tidak akan datang dua kali.”
Kayla menatap pria itu cukup lama. Ia tahu, jika menolak, maka ia akan kembali dikurung di dalam rumah besar itu, hidup tanpa arah, hanya menunggu waktu untuk “memenuhi kewajibannya” sebagai istri yang dipaksa.
Tapi jika ia menerima… ia akan lebih dekat dengan pria yang emosinya tidak bisa diprediksi.
Namun pada akhirnya, keinginannya untuk kembali merasa berguna, untuk tidak terpenjara dalam keputusasaan, menang.
“Ya! Aku mau! Aku tidak bisa terus-menerus berada di rumah ini tanpa melakukan apa pun,” jawabnya mantap.
Xavier menyunggingkan senyum misterius, lalu mendekat dan menatap Kayla tepat di wajah.
“Bagus,” katanya. “Kalau begitu, bersiaplah menyambut esok hari, Kayla.”
Kayla mematung. Informasi itu seperti badai yang datang tiba-tiba. “Kau … menyuruhnya pergi?” tanyanya dengan suara lirihnya. “Aku memang tahu dia punya kekasih. Tapi, aku tidak menyangka kalau dia yang memintaku jadi penggantinya.”Xavier mengangguk. “Ya. Sejak saat itu, aku mencaritahu tentangmu. Kau adalah gadis kecil yang manis dan ceria. Aku menyukai senyummu saat kau menjadi pelayan kasir di restoran sahabatmu.”Kayla menganga mendengarnya. “Kau bahkan menguntitku, Xavier?” ucapnya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Xavier tadi.Pria itu mengusapi sisian wajah Kayla dengan lembut. “Satu minggu sebelum pernikahan dimulai, Marsha datang padaku dan aku mencaritahu tentangmu. Aku mengubah nama Marsha menjadi namamu di akta pernikahan kita.”“Jadi … pernikahan kita ini, semuanya sudah direncanakan?” ucap Kayla lagi.Xavier mengangguk. “Ya. Direncana
Malam perlahan turun menyelimuti pulau pribadi itu, membawa serta semilir angin laut yang membelai lembut kulit.Cahaya bulan menggantung anggun di langit, memantulkan sinarnya ke permukaan laut yang tenang, menciptakan kilau perak yang indah seperti lukisan hidup.Ombak memecah perlahan di bibir pantai, menciptakan irama alami yang menenangkan.Kayla melangkah pelan di atas pasir putih yang masih hangat oleh sisa panas matahari siang tadi. Jemari kakinya menyentuh permukaan air laut yang lembut.Gaun tipis warna putih yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di leher dan pundak karena udara lembap.Di sampingnya, Xavier berjalan tanpa alas kaki, mengenakan kemeja santai yang lengannya ia gulung hingga siku, terbuka sebagian di bagian dada.Satu tangannya melingkar erat di pinggang Kayla, menjaganya tetap dekat, seolah enggan membiarkan wanita itu menjauh sedikit pun.Mereka berjalan tanpa
Udara tropis menyambut kedatangan mereka. Angin pantai bertiup lembut, membawa aroma asin dari laut dan suara debur ombak yang menghantam karang terdengar menenangkan.Helikopter pribadi yang mereka tumpangi baru saja lepas landas kembali, meninggalkan Xavier dan Kayla berdua saja di sebuah pulau eksklusif—yang ternyata adalah milik pribadi Xavier.Kayla memutar tubuhnya, matanya membelalak melihat betapa luas dan indah tempat itu.Hamparan pasir putih membentang sejauh mata memandang, air laut sebening kristal berkilauan memantulkan cahaya mentari.Vila kayu bergaya tropikal berdiri di tengah pepohonan palem, seolah menyatu dengan alam.“Ini semuanya … milikmu?” Kayla menoleh tak percaya.Xavier hanya mengangguk kecil sambil menyampirkan kacamata hitam ke wajahnya. “Ya. Kubeli satu minggu setelah menikahimu.”Kayla menganga menatap tak percaya ke arah suaminya. “Tuhan ... aku bahkan belum pe
Perjalanan pulang itu berlangsung dalam diam, namun bukan lagi diam penuh amarah. Ada ketegangan berbeda yang menggantung di udara.Tegangan yang membelit seperti benang tak terlihat, menyelimuti keduanya dalam ketidaktahuan akan arah selanjutnya. Tapi satu hal pasti—mereka sama-sama terbakar oleh emosi yang belum sempat tuntas.Begitu sampai di rumah, Xavier membanting pintu mobil dan berjalan lebih dulu, sementara Kayla mengikutinya perlahan.Ketika pintu rumah tertutup di belakang mereka, suasana berubah drastis. Keheningan tak lagi terasa nyaman. Ia kini seperti bara yang siap membakar.Kayla baru saja hendak melangkah ke arah tangga ketika Xavier menyentaknya. Tangannya kuat mencengkeram lengan Kayla lalu menariknya hingga tubuh mereka nyaris bertubrukan.“Aku muak dengan semua keraguanmu, Kayla,” gumam Xavier rendah, suaranya serak tertahan. “Kalau kau pikir aku tak menginginkanmu, kau salah besar.”Kayla menatapnya, dada naik turun karena emosi yang belum tuntas. “Aku lelah ter
Kayla kini tengah duduk di restoran milik sahabatnya—Julia bahkan tidak memberitahu Xavier terlebih dahulu dia pergi ke sana. Sudah masa bodoh, meski nanti dia akan mendapat amarah dari suaminya itu.Kayla mengaduk pelan matcha latte di depannya, tanpa benar-benar bermaksud meminumnya. Pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu.“Ayah Xavier memintanya langsung. Dan mulai hari ini, aku tidak boleh datang lagi ke kantor,” ucap Kayla akhirnya dengan suara yang pelan.Julia membulatkan matanya, “Astaga, Kayla! Serius kau dipecat?”Kayla mengangguk pelan. “Bukan cuma dipecat, Julia. Aku bahkan merasa sudah benar-benar dikeluarkan dari hidup Xavier. Mungkin habis ini dia akan menceraikan aku dan mengganti aku dengan wanita lain yang lebih bisa diterima keluarganya.”Julia menyandarkan tubuh ke kursi dengan ekspresi jengkel. “Gila. Itu keluarga atau mafia?! Dan Xavier? Bukannya dia harusnya melindungimu?”Kayla hanya menghela napas berat. “Aku tidak tahu harus baga
Kayla pulang lebih awal dari kantor hari ini. Sementara Xavier masih terjebak dalam serangkaian meeting penting yang tak kunjung usai. Ia tak menahannya, seperti biasa—karena bagi Xavier, pekerjaan selalu nomor satu.Setibanya di rumah, Kayla melepas sepatu dengan pelan dan menggantung jas kerjanya di gantungan dekat pintu. Rumah terasa lengang. Sepi. Hanya suara detak jam dinding dan deru pendingin udara yang mengisi ruang tengah.Dia duduk di sofa, tangannya bertumpu di pangkuan, matanya menatap kosong ke arah jendela. Tapi pikirannya melayang jauh.Kata-kata Anthony siang tadi masih terus menggema di benaknya. Ancaman. Sindiran. Lalu bagaimana Xavier bereaksi.Dan sikap Xavier ... masih terlalu banyak yang tak ia pahami dari pria itu.Tangannya menggenggam bantal kecil di sofa. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam seolah mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Xavier muncul dalam pikirannya.Apakah Xavier akan benar-benar men