LOGINKayla tersentak mendengar bentakan suaminya itu. Ia tampak ketakutan yang kemudian akhirnya menyerah dan menganggukkan kepalanya dengan lemas.
“Baiklah. Aku tidak akan banyak bertanya lagi padamu. Tapi, aku ingin bertemu dengan ayahku besok. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya.”
Xavier mendekat sedikit dengan wajah datar yang selalu ia perlihatkan pada Kayla. “Kau sudah menjadi milikku, Kayla. Pergi menemui ayahmu, sama saja dengan mengantarkan nyawamu ke neraka.”
Kayla mengangkat wajahnya, menatap Xavier dengan sorot tidak percaya. Kata-kata itu membuatnya membeku.
“Ka-kau … melarangku bertemu dengan orang tuaku?” ucapnya dengan nada lirihnya. “Tapi itu tidak ada di surat perjanjian pernikahan, Xavier. Aku membacanya dari awal sampai akhir!”
Xavier tidak menjawab. Ia hanya menghela napas, lalu membalikkan badan dan menarik selimutnya.
Dalam hitungan detik, pria itu memejamkan mata dan berpura-pura tidur, seolah percakapan barusan hanyalah hal sepele yang tidak perlu dilanjutkan.
Kayla memandang punggungnya dengan campuran amarah dan kepasrahan. Jantungnya masih berdetak tak karuan, pikirannya kacau.
Ia merasa seperti dikurung dalam jeruji tak kasat mata—diikat, dibungkam, dan dipaksa bertahan dalam sebuah kehidupan yang bukan pilihannya.
“Malangnya nasibku, Ya Tuhan,” ucapnya lirih.
**
Besok paginya, Kayla tetap bersikeras ingin menemui ayahnya dengan cara mengendap-endap keluar dari rumah itu setelah Xavier berangkat ke kantor.
“Berhenti, Nona! Anda dilarang pergi oleh Tuan Xavier.”
Suara berat dan dingin itu menghentikan langkah Kayla tepat di ambang pintu depan, di mana dua penjaga berseragam hitam berdiri seperti patung tak bernyawa.
Kayla membeku sejenak. Kedua matanya menatap pintu gerbang besi hitam yang menjulang tinggi di kejauhan, seolah itu adalah satu-satunya jalan keluar dari penjara mewah yang disebut rumah.
“Aku harus pergi ke rumah orang tuaku. Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan mereka. Aku mohon, bukakan pintu untukku.”
Namun, dua penjaga itu tetap diam, ekspresi mereka tidak berubah, seperti patung batu yang tidak mengenal belas kasihan.
“Tuan Xavier sudah memerintahkan kepada kami agar tidak membiarkan Anda keluar dari rumah ini tanpa seizin beliau,” jawab salah satu dari mereka dengan nada tegas dan kaku.
Kayla mengepalkan tangannya, mencoba menahan rasa sesak di dada yang terus bergemuruh.
“Kali ini saja aku mohon. Aku janji, aku tidak akan memberitahu Xavier,” pinta Kayla memohon kepada sang penjaga.
Namun, bukannya diberi izin, Kayla justru diseret ke dalam gudang atas perintah Xavier jika Kayla mencoba kabur.
“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Kayla saat dirinya diseret. Ia terus meronta-ronta, berteriak meminta untuk dilepaskan.
“Keluarkan aku dari sini!” teriak Kayla sembari terus menggedor-gedor pintu gudang tersebut. Dia dikurung seperti maling yang baru saja ketahuan oleh tuan rumah.
“Kenapa jadi seperti ini?” ucapnya lirih sembari menyandarkan punggungnya di tembok gudang tersebut.
“Aku seperti burung dalam sangkar yang tidak akan bisa pergi ke mana-mana.”
Kayla tidak tahu berapa lama ia dikurung di gudang itu. Hingga tak lama kemudian, pintu terbuka dari luar.
Sosok Xavier muncul dan menatap nyalang wajah Kayla. “Beraninya kau menentang perintahku, Kayla!”
Tubuh Kayla bergetar melihat kemarahan yang terpancar dari wajah pria itu. “A-aku harus bicara dengan ayahku, Xavier,” ucapnya terbata.
Mata kilat penuh amarah Xavier menatap tajam ke arah Kayla. “Sekali lagi kau melawan, aku tidak akan segan-segan menghilangkan nyawa ayahmu!”
Gedung kaca megah milik XKL Company berdiri di bawah langit sore yang berwarna keemasan.Bendera dengan logo XKL berkibar di depan halaman, mencerminkan cahaya matahari seperti lambang harapan baru.Para tamu dan wartawan memenuhi aula besar di lantai utama, di mana Xavier Anderson akan memperkenalkan visi perusahaannya kepada dunia.Beberapa bulan telah berlalu sejak Aurora lahir. Hidup Xavier berubah total. Tak ada lagi ambisi dingin atau malam-malam tanpa arah di kantor The Moons Company.Kini, setiap langkahnya dituntun oleh cinta, oleh tujuan yang sederhana tapi bermakna: keluarganya.Kayla duduk di barisan depan, mengenakan gaun pastel yang anggun. Wajahnya bersinar meski masih tampak lembut kelelahan seorang ibu muda.Di pangkuannya, Aurora tertidur pulas, dibalut selimut putih dengan logo kecil XKL di sudutnya. Anak kecil itu adalah simbol dari segalanya—awal baru, perjuangan, dan cinta yang menebus luka masa lalu.Ketika Xavier naik ke podium, tepuk tangan bergema.Sorot lamp
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam penuh ketegangan itu. Rumah mereka kini dipenuhi suara lembut—tangisan kecil, tawa pelan, dan nada-nada kehangatan yang menenangkan hati.Kayla perlahan pulih, meski tubuhnya masih lemah. Di pagi hari, sinar matahari menembus tirai ruang keluarga, menyoroti wajahnya yang mulai kembali segar.Ia duduk di kursi goyang dekat jendela, menyusui bayi mungil mereka, Aurora Beatrice.Di sisinya, Xavier duduk santai dengan laptop terbuka, sesekali mengalihkan pandangan dari layar untuk memastikan Kayla nyaman.Ia lebih sering bekerja dari rumah sekarang. Ruang kerjanya tak lagi sunyi seperti dulu; kadang diselingi tawa kecil Kayla, kadang tangisan Aurora yang menuntut perhatian ayahnya.Dan setiap kali bayi itu menangis, Xavier akan segera bangkit, seolah panggilan kecil itu adalah perintah tertinggi dalam hidupnya.“Psst…” bisik Xavier, menghampiri bayi mereka yang baru saja berhenti menangis. Ia menatap wajah mungil itu dengan senyum lembut, lalu ber
Suasana di luar ruang bersalin begitu mencekam. Lampu indikator merah di atas pintu menyala, menandakan proses kelahiran sedang berlangsung.Setiap detik terasa seperti jarum yang menembus dada Xavier. Ia berdiri mematung di depan pintu, telapak tangannya dingin, napasnya tersengal meski ia berusaha tenang.Dari balik pintu tertutup rapat itu, suara jeritan Kayla terdengar lagi—serak, penuh rasa sakit, membuat darah Xavier seakan berhenti mengalir.“Kayla…” bisiknya lirih, seolah panggilan lembut itu bisa menembus dinding tebal dan memberi kekuatan pada istrinya di dalam sana.Ia menunduk, menatap lantai steril rumah sakit yang terasa seperti dunia yang membeku.Perawat berlalu-lalang, suara alat medis berdentang dari kejauhan, tapi yang ia dengar hanya satu: tangisan tertahan, napas tersengal, dan teriakan “tolong” dari orang yang paling dicintainya.Waktu seperti kehilangan makna.Xavier bersandar pada dinding, menutup wajah dengan kedua tangan. Di sanalah semua ketegangan menumpuk—
Waktu terus berjalan, dan kini usia kandungan Kayla memasuki bulan kesembilan. Perutnya membulat sempurna, kulitnya meregang dengan indah di bawah sentuhan lembut lampu kamar.Namun di balik senyum hangat yang sering ia tunjukkan pada Xavier, tubuhnya mulai terasa semakin berat, setiap langkah disertai napas yang sedikit terengah.Malam-malamnya pun tak lagi tenang — kontraksi palsu datang dan pergi seperti gelombang kecil yang mengingatkannya bahwa waktu sudah semakin dekat.Xavier selalu berusaha pulang tepat waktu. Begitu melewati pintu rumah, ia akan menggulung lengan kemejanya, melepaskan dasi, lalu menuju kamar tanpa menunggu lama.Kayla biasanya sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya sambil berbicara pelan pada bayi mereka.Tanpa banyak kata, Xavier duduk di lantai, mengangkat kaki istrinya ke pangkuannya, dan mulai memijat dengan gerakan lembut.Jemarinya menyusuri betis Kayla, penuh perhatian dan kasih yang hanya dimiliki seseorang yang benar-benar mencintai.“Aku sudah bi
Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung berlantai lima di kawasan yang masih baru berkembang.Tidak semegah The Moons Company, tapi memiliki aura berbeda — lebih hangat, lebih hidup.Logo XKL Company terpampang jelas di atas pintu masuk: tiga huruf yang melambangkan harapan baru, kerja keras, dan cinta yang menjadi pondasinya.Xavier turun dari mobil dengan langkah mantap.Ia menatap gedung itu lama, membiarkan dirinya menyerap setiap detailnya — dinding kaca modern, taman kecil di depan lobi, dan papan nama yang baru dipasang semalam. Semuanya sederhana, tapi memiliki makna besar.Richard sudah menunggunya di pintu, tersenyum bangga. “Tidak sebesar The Moons Company, tapi ini punya jiwa, Xavier.”Xavier mengangguk, matanya menatap lobi yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh semangat. “Dan itu lebih dari cukup.”Begitu ia melangkah masuk, seluruh ruangan langsung riuh oleh suara langkah kaki dan bisik kagum.Karyawan-karyawan baru — sebagian besar anak muda idealis yang percaya
Udara pagi di depan gedung The Moons Company terasa dingin menusuk, meski matahari sudah tinggi di langit.Langit Jakarta tampak biru pucat, dan angin membawa aroma logam dari jalan raya yang sibuk.Xavier berdiri di depan pintu kaca besar yang selama bertahun-tahun menjadi pintu masuknya menuju dunia penuh tekanan, ambisi, dan manipulasi. Hari ini, untuk pertama kalinya, pintu itu bukan lagi miliknya.Ia menarik napas panjang, menatap ke dalam sejenak — ke arah lobi megah dengan lantai marmer putih, dinding kaca tinggi, dan logo besar berbentuk bulan perak yang bersinar di tengah ruangan.Di tempat itulah ia dulu belajar menjadi pemimpin, lalu perlahan berubah menjadi boneka di tangan ayahnya.Kini, tempat itu hanya menjadi kenangan.Langkah kakinya terdengar tegas menuruni anak tangga. Setiap langkah seolah menandai akhir dari satu bab besar dalam hidupnya.Mantap, namun berat — seperti seseorang yang meninggalkan bagian dari dirinya sendiri di belakang.Para karyawan yang melihatny







