“Jadi ini, wanita pengganti yang menjadi istri dari seorang Xavier?”
Suara bariton yang ringan namun mengandung nada penasaran itu membuat Kayla menoleh.
Langkahnya sempat terhenti begitu melihat pria tampan dengan jas formal rapi berdiri tegak di hadapannya.
Rambutnya ditata rapi ke belakang, dan senyumnya terlihat ramah namun menyimpan rasa ingin tahu yang dalam.
Wajah Kayla mendongak, bibirnya membentuk senyum tipis untuk menyambut pria itu.
“Ya. Aku Kayla. Kau siapa?” tanyanya dengan suara sopan namun sedikit canggung.
Ia masih merasa asing dengan gedung besar yang terasa seperti labirin ini, apalagi harus membaur dengan orang-orang yang mengenal Xavier lebih dulu darinya.
Pria itu tersenyum dan menjulurkan tangan. “Richard. Salam kenal dan selamat datang di Moons Company.”
Kayla pun hendak membalas uluran tangan itu, tangannya sudah setengah terangkat. Namun sebelum ia sempat menyentuh kulit pria itu, tangan lain yang lebih kuat mencengkeram tangannya terlebih dahulu.
Genggaman itu milik Xavier.
Dengan ekspresi dingin dan mata tajam seperti elang mengawasi mangsa, Xavier berdiri di samping mereka. Kehadirannya begitu tiba-tiba dan menciptakan hawa tekanan yang jelas terasa.
“Ikut aku!” titah Xavier datar dan tegas.
Ia menarik tangan Kayla tanpa basa-basi, meninggalkan Richard yang hanya bisa menatap punggung mereka sambil mengangkat alis.
Pintu ditutup dengan sedikit hentakan. Suasana di dalam ruangan kerja itu hening, hanya suara napas mereka yang terdengar.
“Xavier. Dia siapa? Apa dia salah satu karyawan di kantor ini?” tanya Kayla sambil menoleh ke arah suaminya itu.
“Kau tidak boleh dekat atau berkenalan dengan siapa pun di sini, Kayla!” jawab Xavier dengan nada tinggi.
Kayla mengerutkan kening, merasa geram dengan sikap suaminya itu. “Bagaimana aku bisa bekerja kalau kau melarangku berkenalan dengan siapa pun? Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan untukku? Bahkan sejak tadi aku hanya diam di meja kerjaku. Tidak mengerjakan apa pun.”
Xavier menghela napas panjang, suara desisnya terdengar jelas dalam keheningan ruangan itu. Ia berjalan memutar meja, lalu berdiri menghadap Kayla sambil menyilangkan tangan.
“Aku pergi, kau juga pergi. Aku di sini, kau juga di sini. Sekarang duduk di sana.” Ia menunjuk sofa di depan meja kerjanya.
Kayla menoleh ke arah sofa yang empuk itu, lalu kembali menatap suaminya. Ia menggeleng pelan, lalu berkata dengan nada getir.
“Itu namanya penjaga, Xavier. Bukan asisten pribadi.”
Xavier hanya menatapnya diam, namun dalam diamnya itu terselip peringatan yang tidak diucapkan.
Ia tak menjawab, hanya memandangi Kayla seolah menantang wanita itu untuk melangkah keluar dari batas yang ia tetapkan.
Kayla menghela napas berat, lalu menuruti perintahnya dan duduk di sofa dengan ekspresi kesal.
Dalam hati, ia merasa lebih seperti tahanan dalam penjara mewah ketimbang istri seorang eksekutif.
Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa bekerja sebagai “asisten pribadi” Xavier mungkin jauh lebih menyiksa dibanding hanya menjadi istri yang terkurung di rumah.
“Richard … aku masih penasaran dengan pria itu. Bahkan dia tahu kalau kau pengantin pengganti,” ucap Kayla dengan suara pelan namun sarat dengan rasa ingin tahu.
Matanya menatap kosong ke arah luar jendela kantor Xavier, mengingat kembali pertemuan singkatnya dengan Richard yang menimbulkan rasa penasaran mendalam.
Sosok tinggi tegap dengan raut wajah yang tampan dan karisma yang tidak biasa—seolah tahu lebih banyak daripada yang seharusnya ia ketahui.
Xavier yang sedang duduk di balik mejanya, menatap Kayla tanpa ekspresi. “Dia sepupuku. Dan kau dilarang dekat dengan pria itu. Aku akan menghukummu jika berani dekat-dekat dengannya.”
“Baiklah,” ucapnya akhirnya diiringi helaan napas kasar yang ia keluarkan.
Namun sebelum suasana benar-benar tenang, tiba-tiba pintu kantor terbuka tanpa aba-aba.
Seorang wanita dengan tubuh semampai, pakaian pas tubuh, dan make-up yang sangat mencolok berjalan masuk penuh percaya diri.
Gaun merah menyala yang dikenakannya membuat semua mata yang melihat tak mungkin mengabaikannya.
“I’m coming, Xavier!” seru wanita itu dengan nada centil dan suara nyaring, lalu melangkah mendekati meja kerja pria yang kini tampak mulai gusar.
Kayla terdiam. Ia mengerutkan kening, menatap tajam ke arah wanita asing yang tiba-tiba muncul itu.
Ada yang berdesir tidak nyaman di dalam dadanya. Entah karena pakaian wanita itu, sikap manjanya, atau karena bagaimana sorot matanya hanya tertuju pada Xavier—suaminya.
“Apa yang kau lakukan di sini, Cindy?” tanya Xavier. Suaranya dingin dan kaku. Matanya tak menampakkan sedikit pun rasa senang dengan kedatangan tamu tak diundang itu.
“Hei! Kau lupa, kau sendiri yang menghubungiku untuk menemanimu nanti malam. Bukankah sudah lama kita tidak bertemu? Kau tidak merindukanku, huh?” ucap wanita itu, Cindy, lalu mencebikkan bibirnya manja.
Kayla menahan napasnya. Ucapan wanita itu menghantam keras dadanya. Hatinya terasa tercabik. Ia menelan salivanya perlahan, berusaha tetap tenang walau dalam pikirannya berteriak.
“Bisa-bisanya dia masih menghubungi wanita seperti itu padahal sudah punya istri,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Matanya beralih ke Xavier, mencari jawaban. Namun, pria itu hanya menatapnya sekilas, lalu kembali menatap Cindy dengan tajam.
“Aku tidak pernah menghubungimu,” jawab Xavier tegas, suaranya seperti bilah pisau yang menusuk. “Pergilah dan jangan menggangguku lagi.”
Namun, Cindy tidak mundur. Ia justru mendekat, mencondongkan tubuhnya di atas meja, mencoba menggoda seperti masa lalu mereka yang tampaknya akrab dan penuh gairah.
Meski hanya seorang wanita yang selalu menemani Xavier di saat dirinya butuh pelampiasan, namun tampaknya Cindy sangat menikmati perannya itu. Merasa bangga dekat dengan seseorang seperti Xavier.
“Kenapa? Setidaknya kita makan siang bersama, kan?” Suaranya kali ini lebih lembut, seperti rayuan halus yang mencoba merobohkan benteng pertahanan pria itu.
“Aku sedang sibuk. Pergi sekarang juga, sebelum security menyeretmu keluar secara paksa.” Nada suaranya tidak bisa dibantah, penuh kemarahan terpendam.
Cindy terhenyak. Matanya membelalak, tak percaya bahwa Xavier benar-benar mengusirnya di depan wanita lain. Dalam sekejap wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena marah.
“Menyebalkan!” umpatnya lantang, lalu menghentakkan kaki. Sebelum pergi, ia menoleh tajam ke arah Kayla kemudian menatap Xavier kembali.
“Kau menolakku karena sudah menikah?” tanya Cindy, ia menyunggingkan senyum sinis. “Kau pikir aku tidak tahu, pernikahanmu itu hanya pernikahan bisnis? Tidak lama pun kalian akan bercerai!”
Di salah satu hotel paling mewah di kota itu, sebuah pesta sosial besar digelar oleh keluarga Harrington, salah satu rekan bisnis penting The Moons Company.Aula hotel dipenuhi dengan tamu-tamu dari kalangan atas: para pengusaha, sosialita, dan tokoh-tokoh terkenal yang datang dengan pakaian terbaik mereka.Kayla berdiri di depan cermin besar di kamar hotel yang disediakan untuk mereka, jantungnya berdebar kencang.Malam ini ia mengenakan gaun sutra warna biru safir, bagian pinggangnya sedikit longgar menyesuaikan perutnya yang mulai membesar.Gaun itu jatuh dengan anggun hingga menyentuh lantai, sementara lehernya dihiasi kalung berlian yang sederhana namun elegan.Rambutnya digelung rapi, beberapa helai dibiarkan tergerai lembut membingkai wajahnya yang cantik.Pintu kamar terbuka dan Xavier masuk, mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, dasi perak yang dipadukan dengan kemeja putih.Ketampanannya memancarkan wibawa, membuat siapa pun yang melihat pasti terpesona. Ia berhenti se
Kayla tengah duduk di tepi ranjang dengan napas terengah dan tangannya memegangi perut yang kini membuncit dengan jelas.Kehamilannya sudah memasuki bulan kelima, dan tubuhnya mulai terasa lebih berat.Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda.Saat dia hendak berdiri, sebuah sentakan halus terasa dari dalam rahimnya. Kayla membeku dan matanya melebar.Ia merasakan lagi—kali ini lebih jelas, seperti sapaan lembut dari kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya.“Oh, Tuhan,” bisiknya dengan suara seraknya. “Kau … kau bergerak, Nak.”Kayla menjatuhkan diri kembali ke ranjang dengan kedua tangannya memegang erat perutnya.Dia merasakan tendangan kecil itu sekali lagi, dan perasaan yang selama ini dia tahan meledak. Campuran kebahagiaan, cinta, dan ketakutan bercampur jadi satu.“Aku benar-benar merasakannya.” Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. “Bayi kecil kita … kau benar-benar ada di sini.”Namun, di balik rasa haru itu, bayangan gelap Anthony dan ancamannya langsung menyergap
Ruang kerja Xavier Anderson malam itu terasa seperti medan perang yang sunyi sebelum badai.Tirai jendela ditutup rapat, hanya lampu gantung di atas meja besar yang menyinari ruangan dengan cahaya kuning redup.Di atas meja, peta-peta, foto-foto, dan dokumen berserakan, sebagian ditandai dengan lingkaran merah dan garis panah yang tampak seperti rencana pertempuran.Xavier berdiri membelakangi pintu dengan kedua tangannya terkepal di belakang punggung.Pintu terbuka dengan cepat, lalu Mark masuk bersama Ryan dan beberapa orang kepercayaan lainnya. Mereka semua berpakaian hitam, wajah mereka serius dan penuh kesiapan.“Tuan, semua orang yang Anda minta sudah hadir,” lapor Mark sambil memberi hormat singkat. “Kami siap menerima instruksi.”Xavier berbalik. Sorot matanya tajam seperti pisau, penuh kemarahan yang terpendam.“Bagus,” katanya singkat.Ia lalu melangkah menuju meja dan menatap setiap pria yang berdiri di hadapannya.“Dengarkan aku baik-baik. Apa yang terjadi hari ini bukan s
Suasana di rumah persembunyian terasa begitu hening malam itu, terlalu hening untuk hati yang penuh dengan ketakutan.Lampu-lampu redup menciptakan bayangan panjang di dinding, seperti mengintai dari setiap sudut.Kayla duduk di ujung ranjang, tubuhnya terbungkus selimut tebal, namun ia tetap menggigil.Tangannya memegangi perutnya yang membesar, sementara matanya kosong, tak berhenti memandang ke depan tanpa fokus.“Tidak … tidak …,” gumam Kayla pelan, kepalanya menggeleng berulang kali. Nafasnya terengah-engah, dan air mata tak henti jatuh membasahi pipi.“Xavier! Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Xavier! Xavier ….!”Tak lama, pintu kamar terbuka dan Xavier langsung menghampiri istrinya yang tampaknya mengalami mimpi buruk.“Kayla?” suaranya rendah dan penuh kekhawatiran. “Kayla, bangun, hey. Aku di sini, Sayang.” Xavier menepuk-nepuk pipi Kayla yang tampak terengah-engah.Ia meletakkan cangkir di meja, lalu berlutut di depan istrinya. “Sayang, lihat aku.”Kayla tersentak kecil mend
Mobil SUV hitam itu melaju kencang di jalanan gelap yang sepi. Lampu-lampu jalan yang jarang membuat suasana semakin mencekam.Di dalam mobil, Kayla duduk diam sambil memegangi perutnya yang semakin membesar. Hujan yang masih menetes di luar jendela menambah dinginnya udara malam.Kayla menoleh sekilas ke arah Xavier yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang. Rahangnya mengeras, dan kedua tangannya menggenggam erat paha, jelas sedang menahan emosi.“Xavier?” Kayla memecah keheningan dengan suara lirih. “Ke mana kau membawaku? Kita sudah melewati kota. Ini … terasa begitu jauh.”Xavier menoleh, sorot matanya sedikit melembut meski masih ada kekhawatiran yang jelas.“Ke tempat yang hanya aku dan Ryan yang tahu,” jawabnya tenang, meski nadanya penuh ketegasan.“Rumah persembunyian ini sudah kupersiapkan sejak lama, untuk situasi seperti ini.”Kayla menggigit bibirnya. “Apakah … apakah ini benar-benar perlu? Apa kita tak bisa tetap di rumah? Aku merasa seperti … seperti pelarian.”Xavi
Hujan deras mengguyur malam itu, membuat suasana di rumah megah keluarga Anderson terasa semakin kelam.Halaman depan yang biasanya terang kini dipenuhi suara gemuruh hujan dan kilatan petir sesekali yang menyambar langit.Xavier berdiri di ruang kerja dengan ekspresi tegang, mengamati layar ponselnya yang penuh laporan dari para pengawal.Ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak pagi tadi—perasaan yang menekan dadanya tanpa sebab yang jelas.Pintu ruang kerja diketuk cepat, lalu terbuka. Ryan, kepala pengawal Xavier, masuk dengan wajah pucat dan napas terengah. Di tangannya ada sebuah amplop putih yang basah oleh hujan.“Tuan Xavier, kami menemukan ini,” katanya tergesa, menyerahkan amplop tersebut.Xavier menyipitkan mata, mengambil amplop itu. “Apa ini?” tanyanya dingin.Ryan menelan ludah, jelas gugup ketika melihat sebuah amplop di depan rumah.“Salah satu pengawal kami menemukannya terselip di bawah wiper kaca depan mobil Anda, Tuan. Tidak ada yang melihat siapa yang m