FlashbackSaat itu tengah sore hari.Di sudut taman itu, duduklah seorang remaja berusia 17 tahun dengan bahu tegak namun wajahnya muram—Xavier Anderson.Tangannya menggenggam sebuah buku catatan lusuh yang sudah penuh coretan nama dan tanda tanya.Bibirnya terkatup rapat, matanya kosong menatap jauh seakan mencari seseorang yang tak pernah datang. Ibunya. Satu-satunya sosok yang dia rindukan, tetapi tak pernah berhasil dia temukan.Hidupnya saat itu bagai ruang kosong. Terlalu banyak beban sebagai pewaris keluarga, terlalu sedikit kasih sayang yang menemaninya.Tiba-tiba, sebuah suara ceria memecah kesunyian di sana.“Kenapa bengong terus, Kak?”Xavier tersentak. Dia kemudian menoleh dan menemukan seorang gadis kecil berambut ikal sebahu sedang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh mungilnya.Kayla, bocah berusia tujuh tahun menatapnya dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.“Apa urusannya denganmu?” gumam Xavier dingin. Dia menunduk lagi pada catatannya karena tidak tertari
“Apa maksudmu bicara begitu, Xavier?” tanyanya dengan kening mengkerut. “Kedua kalinya? Aku rasa … aku tidak pernah meninggalkanmu. Kenapa kau bicara begitu, Xavier?”Xavier terdiam sementara bahunya menegang. Jemarinya mengepal, seolah setiap kata yang berusaha keluar akan melukai dirinya sendiri. Ia kemudian menunduk dan memijat keningnya karena tak berani menatap istrinya.“Xavier?” Kayla melangkah mendekat dan menatap lekat wajah suaminya itu. “Katakan sesuatu. Kenapa kau bicara begitu padaku?”Namun bukannya menjawab, Xavier malah berbalik dan melangkah pergi dengan wajah penuh beban.“Xavier!” Kayla mengejarnya lalu menahan tangan suaminya erat-erat.“Mau sampai kapan kau menyembunyikan sesuatu dariku? Apa kau tidak menganggapku istrimu?” tanyanya dengan suara bergetar.Xavier lantas menghentikan langkahnya. Rahangnya mengeras dan napasnya tampak berat.Ia menoleh perlahan menatap Kayla dengan sorot mata yang begitu dalam. Lalu, tanpa melepaskan genggamannya, dia berkata lirih n
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam.Kayla tampak cemas menunggu Xavier yang masih belum tiba di rumah.“Ke mana dia? Kenapa jam segini belum juga tiba?” gumamnya kemudian menggigit bibir bawahnya. “Apa yang dia lakukan di luar sana?”Kayla menghela napas berat sambil mondar-mandir menunggu kepulangan sang suami. Dia khawatir, cemas karena Xavier tidak juga membalas pesan darinya atau menerima panggilannya.Namun, tak lama kemudian, suara deru mesin mobil di halaman rumah megah itu membuat Kayla menghela napas lega.Dia segera bangkit dari duduknya untuk menyambut sang suami yang baru tiba.Langkah tegap dan aura dinginnya terpampang jelas di mata Kayla hingga membuat wanita itu mengerutkan keningnya.“Xavier?” panggilnya dengan pelan. “Ada apa? Kenapa aura wajahmu menyeramkan seperti ini?” tanyanya kemudian.Xavier tidak menjawab. Dia hanya menoleh, tatapannya tajam tapi penuh gejolak.Tanpa berkata apa pun, dia mengambil ponselnya di saku dan menekan tombol play di video CCTV y
Langkah berat terdengar menghantam lantai marmer koridor panjang.Aura dingin yang selalu menyertai Xavier Anderson kini semakin pekat, nyaris membuat udara di sekitarnya ikut menegang.Dua bodyguard yang berjaga di depan ruangan hanya sempat menunduk sebelum pintu didorong terbuka dengan kasar.Ben, yang sejak tadi duduk di sofa dengan lengan diperban, sontak berdiri tegak.Tubuhnya masih terasa nyeri, namun rasa hormat bercampur gugup membuatnya memaksa diri untuk berdiri sempurna.Xavier menatapnya lurus—mata hitamnya menusuk, penuh wibawa dan dingin sekaligus. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi. Hanya tatapan tajam yang membuat Ben nyaris kehilangan kata.“Ben.” ucap Xavier dengan nada dalam dan berat, seperti guruh yang tertahan.“Ya, Tuan.” Ben menunduk cepat.Xavier maju mendekat dan berdiri tepat di depannya.Sesaat dia hanya menatap, seakan menilai seluruh jiwa lelaki muda itu.Kemudian dia berkata, “Aku datang untuk mengucapkan terima kasih padamu.”Ben mengangkat wajahny
Brak!!Dentuman keras terdengar saat meja kerja yang kokoh itu digebrak dengan kedua tangan penuh tenaga.Tumpukan berkas di atasnya bergetar hebat, bahkan gelas kaca di sudut meja hampir terjatuh.“APA KALIAN SEMUA SUDAH GILA?!” suara Xavier menggelegar, memenuhi ruang kerjanya di lantai tertinggi The Moons Company.Anak buahnya, tiga pria berpakaian rapi dengan kepala yang menunduk, nyaris tidak berani bernapas.Mata Xavier berkilat penuh bara amarah, rahangnya mengeras, dan urat di pelipisnya menonjol.“Istriku hampir saja ditabrak! Bagaimana bisa kalian yang katanya ‘menjaga dengan ketat’ malah membiarkan itu terjadi?!” Xavier membentak lagi dan suaranya semakin tinggi.Salah satu dari mereka, pria bernama Daryl berusaha menjawab dengan suara gemetar.“Tuan … kami mohon maaf. Insiden itu terjadi terlalu cepat. Tapi untungnya, Ben berhasil menarik Nyonya Kayla tepat waktu. Dia … dia sudah menyelamatkan nyawanya.”Namun bukannya lega, kemarahan Xavier justru semakin membara.Tangann
Tidak tanggung-tanggung, Kayla memesan tiga puluh roti hangat berbagai rasa, lengkap dengan kopi yang aromanya begitu pekat.Bau harum menyebar ke seluruh kafe, membuat suasana hangat semakin terasa.Saat pesanan siap, Kayla melihat beberapa karyawan kafe, termasuk Ben—seorang barista muda yang sering membantunya jika datang ke kafe itu—membantu membawa kotak-kotak roti dan gelas kopi ke mobilnya.Ben, dengan wajah tenang dan senyum sopan, mengangkat dua kotak besar sekaligus.“Hati-hati, Nyonya Kayla. Jangan sampai tumpah.”Kayla menganggukkan kepalanya lalu menutup bagasi setelah semua tersusun rapi.“Terima kasih banyak, Ben. Kalau tanpa bantuan kalian, aku tidak mungkin bisa membawa semua ini sendirian.”Namun, baru saja tangannya meraih pintu bagasi untuk menutupnya, sebuah suara bising memecah udara.“Ngenggggggggggggggggggggg!”Sebuah motor melaju kencang di jalan sempit depan kafe, hampir tidak terkendali.Kayla hanya sempat menoleh sekilas, dan dalam sepersekian detik tubuhny