“Kau benar-benar gila, Xavier!” desis Anthony dengan suara tajamnya. “Kau sudah melanggar aturan yang sudah kita sepakati bersama, Xavier!”“Kesepakatan?” Xavier menyunggingkan senyum sinis. “Kau pikir aku tidak tahu, selama ini kau berusaha menggoyahkan perusahaan ayahnya Kayla dan mengirim ancaman berkali-kali padanya?”Wajah Anthony sontak menegang mendengarnya. Tangannya mengepal erat menatap datar wajah Xavier yang menurutnya anaknya itu memang sulit untuk dikendalikan."Kalau begitu, jawab aku, Xavier," ucap Anthony dengan suara berat. "Apakah kau mencintai wanita itu? Katakan yang sebenarnya dan jangan berbohong padaku!”Xavier menatap ayahnya tanpa gentar. Tak ada emosi yang terpancar dari wajahnya, hanya datar dan dingin seperti biasa."Perasaan bukan sesuatu yang perlu diumbar. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—pernikahan itu sakral. Tidak bisa dipermainkan," jawab Xavier mantap
Sudah satu bulan usia pernikahan mereka.Meski Xavier masih bersikap dingin dan tidak banyak bicara, dan Kayla pun masih menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan rumah tangga yang terpaksa, tetapi keduanya telah melewati satu bulan penuh drama dan emosi yang membingungkan.Pagi itu, Kayla duduk di depan meja rias, mengenakan lipstik berwarna merah muda lembut yang cocok dengan gaun kasual yang ia pilih.Dia menatap cermin dengan ekspresi setengah canggung, masih belum terbiasa dengan perannya sebagai istri dari CEO seperti Xavier Anderson.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Kayla memandang pantulan di cermin dan melihat Xavier berdiri di sampingnya.“Xavier?” gumam Kayla sambil menoleh, raut wajahnya memperlihatkan bahwa dia sedikit terkejut. “Ada apa?” tanyanya dengan pelan.
Waktu telah menunjuk pukul delapan malam. Udara di dalam kamar terasa tenang dan sedikit hangat setelah uap dari air hangat mengisi ruang mandi.Kayla baru saja selesai mandi. Rambutnya masih sedikit basah, menggantung lembut di leher jenjangnya.Ia mengenakan handuk yang membalut tubuhnya dan tengah berdiri di depan cermin kecil sambil merapikan gulungan kain di dadanya.Langkah kakinya terhenti ketika mendengar suara pintu kamar terbuka. Xavier masuk dengan langkah mantap, tubuhnya tegak seperti biasa, mengenakan kemeja putih yang kancing bagian atasnya sudah terlepas, memperlihatkan sedikit dadanya.“Astaga!”Kayla terperanjat. Refleks tubuhnya menegang, matanya membelalak sebentar sebelum berusaha menyembunyikannya.Xavier memicingkan mata. “Kenapa terkejut? Kau pikir aku siapa?” tanyanya datar, namun ada selarik senyum di sudut bibirnya.Kayla menggeleng cepat. “Aku … tidak tahu. Refleks saja,” jawabnya pelan. “Maaf. Aku pikir bukan kau yang masuk ke kamar.”Xavier menutup pintu
Di tengah suasana sore yang hening di rumah, Kayla berdiri di dekat pilar besar yang memisahkan lorong menuju ruang keluarga.Matanya menatap lurus ke arah Xavier yang tengah duduk di sofa berwarna gelap, tubuhnya bersandar santai namun tampak tegang, dengan satu tangan memegang ponsel di telinga. Suara suaminya terdengar pelan, nyaris seperti bergumam sendiri.“Aku masih tidak mengerti, kenapa dia menghilang seperti itu?” Xavier berkata lirih, tapi cukup jelas terdengar oleh Kayla dari tempatnya berdiri.“Tiga puluh tahun dan bahkan tidak sekali pun mencoba menghubungi. Apa aku sebegitu mengerikannya sampai dia harus kabur sejauh itu?”Seketika Kayla terdiam mendengarnya. Entah siapa yang dia hubungi, namun pembahasan itu tetap tentang ibunya—Miranda.Namun, belum sempat dia melangkah lebih dekat atau menyusun pertanyaan, suara lain mengejutkannya dari samping.“Nyonya Kayla?” panggil seseorang sembari menepuk pundak Kayla.Kayla hampir melompat saking kagetnya. “Astaga, Edwin!” seru
Setibanya di restoran yang cukup mewah di lantai atas sebuah gedung pencakar langit, Kayla mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Meja-meja disusun dengan jarak yang lega, menciptakan privasi bagi setiap pengunjung. Suara musik klasik mengalun lembut di latar belakang, menambah suasana yang tenang dan eksklusif.Kayla menoleh ke kanan dan kiri sebelum akhirnya duduk di hadapan Xavier yang lebih dulu mengambil tempat di kursinya.Dia duduk dengan anggun, namun di dalam dirinya penuh rasa penasaran. Tidak biasanya Xavier mengajaknya makan siang seperti ini, terlebih setelah suasana rumah mereka yang sempat terasa dingin.“Kenapa tiba-tiba kau mengajakku makan siang bersama?” tanya Kayla memecah keheningan di antara mereka.Pandangannya menatap lekat wajah pria itu, berusaha mencari petunjuk di balik sikapnya yang mendadak ini.Xavier t
“Jangan melamun!” tegur Richard tajam, membuyarkan lamunannya.Kayla tersentak lalu buru-buru menoleh ke arah Richard yang duduk berhadapan dengannya di kafe kecil yang mereka kunjungi sore itu.Wajah Richard tampak kesal bercampur khawatir karena sedari tadi Kayla hanya diam menatap kosong pada gelas kopinya yang bahkan belum disentuh sama sekali.“Maaf, Richard. Aku tidak fokus,” jawab Kayla dengan suara yang pelan.Richard bersandar ke sandaran kursinya, lalu menyilangkan tangan di dada, menatap Kayla dengan tatapan menginterogasi.“Kali ini melamun karena apa? Masih soal Bianca atau Cindy? Atau jangan-jangan, karena mertuamu?” tanyanya tajam, mencoba menebak.Kayla mengembuskan napas berat, menunduk sejenak sebelum akhirnya menggeleng pelan.“Kedua wanita itu bukan hal yang harus aku pikirkan, Richard. Aku yakin, Xavier tidak akan mengindahkan kehadiran mereka,” ucapnya mantap, meski nadanya terdengar sedikit lelah.Richard terkekeh pelan, senyumnya mengembang di wajahnya yang pen