"Jaga mulutmu, Cindy!" bentak Xavier lantang, matanya menatap tajam seperti ingin menembus dada perempuan di hadapannya.
Nada suaranya menggema di seluruh penjuru ruangan. Kayla, yang duduk di sofa sudut ruangan, sontak terlonjak kaget, tubuhnya menegang mendengar nada suara Xavier yang tak pernah ia dengar setajam itu sebelumnya.
Namun Cindy, wanita berambut ikal sebahu dan bergaya angkuh itu, hanya menyeringai. Tawanya pelan tapi penuh sindiran, seperti mengejek kemarahan Xavier.
"Kenapa?" katanya dengan suara sinis. "Bukankah ucapanku benar? Kau hanya ingin melampiaskan nafsumu saja padanya."
Xavier menggebrak meja kerjanya dengan keras. Gelas kopi yang ada di pojok meja hampir terjatuh, dan beberapa dokumen yang tertata rapi berserakan.
"Keluar dari sini, Cindy!" bentaknya lagi, kali ini suaranya lebih parau, jelas menunjukkan kemarahan yang nyaris meledak.
Cindy terdiam sejenak. Wajahnya yang semula angkuh kini tampak tegang. Ia mulai menyadari bahwa Xavier benar-benar murka. Namun, sebelum pergi, ia sempat melayangkan pandangan tajam ke arah Kayla, yang masih duduk di sofa dengan ekspresi bingung bercampur terkejut.
Cindy melangkah cepat ke pintu, membuka daun pintu dengan kasar lalu membantingnya sedikit saat menutup. Ruangan kembali sunyi, hanya tersisa suara napas berat Xavier dan detak jantung Kayla yang mendadak tak menentu.
Kayla melirik ke arah Xavier yang sudah kembali duduk, memfokuskan pandangan pada layar laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi jelas dari gerakan bahunya yang masih tegang bahwa ia belum benar-benar tenang.
"Siapa wanita itu?" tanya Kayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menarik perhatian Xavier.
Xavier tidak langsung menjawab. Ia berhenti mengetik, menutup laptopnya perlahan, lalu menatap Kayla dengan ekspresi datar.
"Jangan dengarkan ucapannya," katanya dingin.
Kayla mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi tanda tanya. Ia menunduk, lalu mengangkat wajahnya kembali.
"Tapi... siapa dia sebenarnya?"
Xavier kembali bersandar ke kursinya. Rahangnya mengeras. Lalu, tanpa menatap Kayla, ia menjawab singkat. "Bukan siapa-siapa."
Kayla mengembungkan pipinya, merasa tak puas dengan jawaban itu. Ia sudah duduk di ruangan itu selama lebih dari satu jam, hanya menemani Xavier yang sibuk bekerja. Sejak awal, ia sudah merasa kehadiran Cindy membawa aura aneh. Tapi sekarang, semua kecurigaannya seperti mendapatkan konfirmasi.
Xavier seolah tak memedulikan reaksi Kayla. Ia membuka laptopnya kembali, kembali tenggelam dalam pekerjaan.
Kayla akhirnya berdiri. Ia merasa lelah, jenuh, dan sedikit kesal karena tidak ada kejelasan.
Melihat Kayla bangkit, Xavier langsung menegurnya. "Mau ke mana?" tanyanya tajam, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Kayla menghela napas pelan, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Aku hanya ingin mengambil air minum di lemari es," jawabnya singkat.
Xavier tidak membalas. Ia hanya memandangi Kayla beberapa saat, lalu mengalihkan perhatian kembali ke pekerjaannya.
Kayla berjalan ke arah dapur kecil yang berada di sisi ruangan. Ia membuka lemari es, mengambil sebotol air mineral, lalu meminumnya perlahan. Hawa panas di dadanya sedikit mereda saat air dingin menyentuh tenggorokannya.
Namun saat ia menutup botol dan hendak kembali ke sofa, suara Xavier kembali terdengar—kali ini lebih dingin dan mengancam.
"Jangan coba-coba kabur lagi, Kayla."
Kayla menoleh pelan. Matanya menatap Xavier dengan ragu.
"Aku tidak—"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Xavier sudah berdiri dan berjalan mendekat.
"Aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran paling gila yang pernah kau rasakan jika kau berani kabur lagi!" ucap Xavier dengan nada serius. Matanya menusuk, ekspresinya tanpa kompromi.
Kayla terdiam. Ia menatap mata suaminya, berusaha mencari sedikit kelembutan yang biasa ia temukan di sana. Tapi kali ini, yang ia lihat hanyalah dinding keras penuh pengendalian dan ancaman.
"Aku hanya ingin minum, Xavier. Aku tidak berniat kabur," katanya pelan.
Xavier menatapnya beberapa detik, lalu perlahan mengangguk. Ia kembali ke kursinya, duduk, dan melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Kayla kembali ke sofa dengan langkah perlahan. Hatinya terasa sesak. Banyak pertanyaan yang bergemuruh di benaknya.
Siapa sebenarnya Cindy? Kenapa dia bisa berbicara seperti itu kepada Xavier? Dan mengapa Xavier tidak mau menjelaskan?
**
Siang itu, suasana di sebuah restoran bernuansa klasik di pusat kota terasa tenang dan elegan. Lampu gantung berbentuk kristal berayun pelan di atas meja, iringan musik lembut terdengar samar dari sudut ruangan.
Kayla duduk berhadapan dengan Xavier di meja sudut yang telah dipesan sebelumnya. Pemandangan kota yang terlihat dari jendela besar di samping mereka seolah tak mampu mengalihkan perhatian Kayla dari pikiran yang membelenggunya sejak tadi pagi.
Ia menggenggam sendoknya pelan, menatap piring di depannya yang nyaris tak tersentuh. Makanan yang disajikan tampak menggoda, namun selera makannya menguap begitu saja oleh pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya.
Setelah beberapa saat hening, Kayla akhirnya mengangkat wajahnya. Ia menatap Xavier yang sedang menyendok makanan ke mulutnya dengan tenang, seolah tidak ada hal berat yang tengah membayangi.
“Xavier,” ucap Kayla perlahan, namun cukup jelas untuk membuat pria di depannya berhenti mengunyah.
Xavier mengangkat alisnya sedikit, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Ada apa?"
Kayla menelan ludah. Ia ragu, tetapi dorongan untuk mengetahui kebenaran terlalu kuat untuk diabaikan.
“Apakah... apakah kau mencintai Marsha?” tanyanya akhirnya.
Xavier berhenti makan. Sendok di tangannya menggantung di udara beberapa detik sebelum perlahan diletakkannya di pinggir piring. Ia mengangkat wajahnya, menatap Kayla lurus-lurus. Ekspresinya tak berubah, tetap dingin dan tenang.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanyanya datar. “Apa itu penting bagimu?”
Kayla mengangguk pelan. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Xavier kembali dengan mata yang sedikit bergetar.
“Ya... aku hanya ingin tahu. Karena... karena sebenarnya kan, yang akan menikah denganmu adalah Marsha... bukan aku.”
Xavier menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya menusuk, tetapi tidak meledak.
“Itu bukan urusanmu,” ujarnya pelan namun tajam.
Kayla mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia merasa perih mendengar jawaban itu, tetapi ia sudah menduganya.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Namun pertanyaan lain, yang lebih dalam, lebih menyakitkan, tak bisa ia tahan.
“Jadi... apakah kau akan menikahinya dan menceraikanku begitu Marsha kembali?”
Kayla mematung. Informasi itu seperti badai yang datang tiba-tiba. “Kau … menyuruhnya pergi?” tanyanya dengan suara lirihnya. “Aku memang tahu dia punya kekasih. Tapi, aku tidak menyangka kalau dia yang memintaku jadi penggantinya.”Xavier mengangguk. “Ya. Sejak saat itu, aku mencaritahu tentangmu. Kau adalah gadis kecil yang manis dan ceria. Aku menyukai senyummu saat kau menjadi pelayan kasir di restoran sahabatmu.”Kayla menganga mendengarnya. “Kau bahkan menguntitku, Xavier?” ucapnya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Xavier tadi.Pria itu mengusapi sisian wajah Kayla dengan lembut. “Satu minggu sebelum pernikahan dimulai, Marsha datang padaku dan aku mencaritahu tentangmu. Aku mengubah nama Marsha menjadi namamu di akta pernikahan kita.”“Jadi … pernikahan kita ini, semuanya sudah direncanakan?” ucap Kayla lagi.Xavier mengangguk. “Ya. Direncana
Malam perlahan turun menyelimuti pulau pribadi itu, membawa serta semilir angin laut yang membelai lembut kulit.Cahaya bulan menggantung anggun di langit, memantulkan sinarnya ke permukaan laut yang tenang, menciptakan kilau perak yang indah seperti lukisan hidup.Ombak memecah perlahan di bibir pantai, menciptakan irama alami yang menenangkan.Kayla melangkah pelan di atas pasir putih yang masih hangat oleh sisa panas matahari siang tadi. Jemari kakinya menyentuh permukaan air laut yang lembut.Gaun tipis warna putih yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di leher dan pundak karena udara lembap.Di sampingnya, Xavier berjalan tanpa alas kaki, mengenakan kemeja santai yang lengannya ia gulung hingga siku, terbuka sebagian di bagian dada.Satu tangannya melingkar erat di pinggang Kayla, menjaganya tetap dekat, seolah enggan membiarkan wanita itu menjauh sedikit pun.Mereka berjalan tanpa
Udara tropis menyambut kedatangan mereka. Angin pantai bertiup lembut, membawa aroma asin dari laut dan suara debur ombak yang menghantam karang terdengar menenangkan.Helikopter pribadi yang mereka tumpangi baru saja lepas landas kembali, meninggalkan Xavier dan Kayla berdua saja di sebuah pulau eksklusif—yang ternyata adalah milik pribadi Xavier.Kayla memutar tubuhnya, matanya membelalak melihat betapa luas dan indah tempat itu.Hamparan pasir putih membentang sejauh mata memandang, air laut sebening kristal berkilauan memantulkan cahaya mentari.Vila kayu bergaya tropikal berdiri di tengah pepohonan palem, seolah menyatu dengan alam.“Ini semuanya … milikmu?” Kayla menoleh tak percaya.Xavier hanya mengangguk kecil sambil menyampirkan kacamata hitam ke wajahnya. “Ya. Kubeli satu minggu setelah menikahimu.”Kayla menganga menatap tak percaya ke arah suaminya. “Tuhan ... aku bahkan belum pe
Perjalanan pulang itu berlangsung dalam diam, namun bukan lagi diam penuh amarah. Ada ketegangan berbeda yang menggantung di udara.Tegangan yang membelit seperti benang tak terlihat, menyelimuti keduanya dalam ketidaktahuan akan arah selanjutnya. Tapi satu hal pasti—mereka sama-sama terbakar oleh emosi yang belum sempat tuntas.Begitu sampai di rumah, Xavier membanting pintu mobil dan berjalan lebih dulu, sementara Kayla mengikutinya perlahan.Ketika pintu rumah tertutup di belakang mereka, suasana berubah drastis. Keheningan tak lagi terasa nyaman. Ia kini seperti bara yang siap membakar.Kayla baru saja hendak melangkah ke arah tangga ketika Xavier menyentaknya. Tangannya kuat mencengkeram lengan Kayla lalu menariknya hingga tubuh mereka nyaris bertubrukan.“Aku muak dengan semua keraguanmu, Kayla,” gumam Xavier rendah, suaranya serak tertahan. “Kalau kau pikir aku tak menginginkanmu, kau salah besar.”Kayla menatapnya, dada naik turun karena emosi yang belum tuntas. “Aku lelah ter
Kayla kini tengah duduk di restoran milik sahabatnya—Julia bahkan tidak memberitahu Xavier terlebih dahulu dia pergi ke sana. Sudah masa bodoh, meski nanti dia akan mendapat amarah dari suaminya itu.Kayla mengaduk pelan matcha latte di depannya, tanpa benar-benar bermaksud meminumnya. Pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu.“Ayah Xavier memintanya langsung. Dan mulai hari ini, aku tidak boleh datang lagi ke kantor,” ucap Kayla akhirnya dengan suara yang pelan.Julia membulatkan matanya, “Astaga, Kayla! Serius kau dipecat?”Kayla mengangguk pelan. “Bukan cuma dipecat, Julia. Aku bahkan merasa sudah benar-benar dikeluarkan dari hidup Xavier. Mungkin habis ini dia akan menceraikan aku dan mengganti aku dengan wanita lain yang lebih bisa diterima keluarganya.”Julia menyandarkan tubuh ke kursi dengan ekspresi jengkel. “Gila. Itu keluarga atau mafia?! Dan Xavier? Bukannya dia harusnya melindungimu?”Kayla hanya menghela napas berat. “Aku tidak tahu harus baga
Kayla pulang lebih awal dari kantor hari ini. Sementara Xavier masih terjebak dalam serangkaian meeting penting yang tak kunjung usai. Ia tak menahannya, seperti biasa—karena bagi Xavier, pekerjaan selalu nomor satu.Setibanya di rumah, Kayla melepas sepatu dengan pelan dan menggantung jas kerjanya di gantungan dekat pintu. Rumah terasa lengang. Sepi. Hanya suara detak jam dinding dan deru pendingin udara yang mengisi ruang tengah.Dia duduk di sofa, tangannya bertumpu di pangkuan, matanya menatap kosong ke arah jendela. Tapi pikirannya melayang jauh.Kata-kata Anthony siang tadi masih terus menggema di benaknya. Ancaman. Sindiran. Lalu bagaimana Xavier bereaksi.Dan sikap Xavier ... masih terlalu banyak yang tak ia pahami dari pria itu.Tangannya menggenggam bantal kecil di sofa. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam seolah mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Xavier muncul dalam pikirannya.Apakah Xavier akan benar-benar men