Share

Pertanyaan dari Kayla

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-06-18 15:25:03

"Jaga mulutmu, Cindy!" bentak Xavier lantang, matanya menatap tajam seperti ingin menembus dada perempuan di hadapannya.

Nada suaranya menggema di seluruh penjuru ruangan. Kayla, yang duduk di sofa sudut ruangan, sontak terlonjak kaget, tubuhnya menegang mendengar nada suara Xavier yang tak pernah ia dengar setajam itu sebelumnya.

Namun Cindy, wanita berambut ikal sebahu dan bergaya angkuh itu, hanya menyeringai. Tawanya pelan tapi penuh sindiran, seperti mengejek kemarahan Xavier.

"Kenapa?" katanya dengan suara sinis. "Bukankah ucapanku benar? Kau hanya ingin melampiaskan nafsumu saja padanya."

Xavier menggebrak meja kerjanya dengan keras. Gelas kopi yang ada di pojok meja hampir terjatuh, dan beberapa dokumen yang tertata rapi berserakan.

"Keluar dari sini, Cindy!" bentaknya lagi, kali ini suaranya lebih parau, jelas menunjukkan kemarahan yang nyaris meledak.

Cindy terdiam sejenak. Wajahnya yang semula angkuh kini tampak tegang. Ia mulai menyadari bahwa Xavier benar-benar murka. Namun, sebelum pergi, ia sempat melayangkan pandangan tajam ke arah Kayla, yang masih duduk di sofa dengan ekspresi bingung bercampur terkejut.

Cindy melangkah cepat ke pintu, membuka daun pintu dengan kasar lalu membantingnya sedikit saat menutup. Ruangan kembali sunyi, hanya tersisa suara napas berat Xavier dan detak jantung Kayla yang mendadak tak menentu.

Kayla melirik ke arah Xavier yang sudah kembali duduk, memfokuskan pandangan pada layar laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi jelas dari gerakan bahunya yang masih tegang bahwa ia belum benar-benar tenang.

"Siapa wanita itu?" tanya Kayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menarik perhatian Xavier.

Xavier tidak langsung menjawab. Ia berhenti mengetik, menutup laptopnya perlahan, lalu menatap Kayla dengan ekspresi datar.

"Jangan dengarkan ucapannya," katanya dingin.

Kayla mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi tanda tanya. Ia menunduk, lalu mengangkat wajahnya kembali.

"Tapi... siapa dia sebenarnya?"

Xavier kembali bersandar ke kursinya. Rahangnya mengeras. Lalu, tanpa menatap Kayla, ia menjawab singkat. "Bukan siapa-siapa."

Kayla mengembungkan pipinya, merasa tak puas dengan jawaban itu. Ia sudah duduk di ruangan itu selama lebih dari satu jam, hanya menemani Xavier yang sibuk bekerja. Sejak awal, ia sudah merasa kehadiran Cindy membawa aura aneh. Tapi sekarang, semua kecurigaannya seperti mendapatkan konfirmasi.

Xavier seolah tak memedulikan reaksi Kayla. Ia membuka laptopnya kembali, kembali tenggelam dalam pekerjaan.

Kayla akhirnya berdiri. Ia merasa lelah, jenuh, dan sedikit kesal karena tidak ada kejelasan.

Melihat Kayla bangkit, Xavier langsung menegurnya.  "Mau ke mana?" tanyanya tajam, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Kayla menghela napas pelan, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Aku hanya ingin mengambil air minum di lemari es," jawabnya singkat.

Xavier tidak membalas. Ia hanya memandangi Kayla beberapa saat, lalu mengalihkan perhatian kembali ke pekerjaannya.

Kayla berjalan ke arah dapur kecil yang berada di sisi ruangan. Ia membuka lemari es, mengambil sebotol air mineral, lalu meminumnya perlahan. Hawa panas di dadanya sedikit mereda saat air dingin menyentuh tenggorokannya.

Namun saat ia menutup botol dan hendak kembali ke sofa, suara Xavier kembali terdengar—kali ini lebih dingin dan mengancam.

"Jangan coba-coba kabur lagi, Kayla."

Kayla menoleh pelan. Matanya menatap Xavier dengan ragu.

"Aku tidak—"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Xavier sudah berdiri dan berjalan mendekat.

"Aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran paling gila yang pernah kau rasakan jika kau berani kabur lagi!" ucap Xavier dengan nada serius. Matanya menusuk, ekspresinya tanpa kompromi.

Kayla terdiam. Ia menatap mata suaminya, berusaha mencari sedikit kelembutan yang biasa ia temukan di sana. Tapi kali ini, yang ia lihat hanyalah dinding keras penuh pengendalian dan ancaman.

"Aku hanya ingin minum, Xavier. Aku tidak berniat kabur," katanya pelan.

Xavier menatapnya beberapa detik, lalu perlahan mengangguk. Ia kembali ke kursinya, duduk, dan melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa.

Kayla kembali ke sofa dengan langkah perlahan. Hatinya terasa sesak. Banyak pertanyaan yang bergemuruh di benaknya.

Siapa sebenarnya Cindy? Kenapa dia bisa berbicara seperti itu kepada Xavier? Dan mengapa Xavier tidak mau menjelaskan?

**

Siang itu, suasana di sebuah restoran bernuansa klasik di pusat kota terasa tenang dan elegan. Lampu gantung berbentuk kristal berayun pelan di atas meja, iringan musik lembut terdengar samar dari sudut ruangan. 

Kayla duduk berhadapan dengan Xavier di meja sudut yang telah dipesan sebelumnya. Pemandangan kota yang terlihat dari jendela besar di samping mereka seolah tak mampu mengalihkan perhatian Kayla dari pikiran yang membelenggunya sejak tadi pagi.

Ia menggenggam sendoknya pelan, menatap piring di depannya yang nyaris tak tersentuh. Makanan yang disajikan tampak menggoda, namun selera makannya menguap begitu saja oleh pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya.

Setelah beberapa saat hening, Kayla akhirnya mengangkat wajahnya. Ia menatap Xavier yang sedang menyendok makanan ke mulutnya dengan tenang, seolah tidak ada hal berat yang tengah membayangi.

“Xavier,” ucap Kayla perlahan, namun cukup jelas untuk membuat pria di depannya berhenti mengunyah.

Xavier mengangkat alisnya sedikit, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Ada apa?"

Kayla menelan ludah. Ia ragu, tetapi dorongan untuk mengetahui kebenaran terlalu kuat untuk diabaikan.

“Apakah... apakah kau mencintai Marsha?” tanyanya akhirnya.

Xavier berhenti makan. Sendok di tangannya menggantung di udara beberapa detik sebelum perlahan diletakkannya di pinggir piring. Ia mengangkat wajahnya, menatap Kayla lurus-lurus. Ekspresinya tak berubah, tetap dingin dan tenang.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanyanya datar. “Apa itu penting bagimu?”

Kayla mengangguk pelan. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Xavier kembali dengan mata yang sedikit bergetar.

“Ya... aku hanya ingin tahu. Karena... karena sebenarnya kan, yang akan menikah denganmu adalah Marsha... bukan aku.”

Xavier menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya menusuk, tetapi tidak meledak.

“Itu bukan urusanmu,” ujarnya pelan namun tajam.

Kayla mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia merasa perih mendengar jawaban itu, tetapi ia sudah menduganya.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Namun pertanyaan lain, yang lebih dalam, lebih menyakitkan, tak bisa ia tahan.

“Jadi... apakah kau akan menikahinya dan menceraikanku begitu Marsha kembali?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
AlbyMalik
apapun yg kamu lakukan tetep bakalan bikin Xavier marah kay apalagi kamu nanyain soal Marsha..
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Takut banget sih vier di tinggal kayla kabur. Cuma ambil minum pun udah panik gitu
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Sabar ya kay. Pertanyaan kamu gak pernah dijawab sama xavier. Lagi gak mood dia buat jawab pertanyaan kamu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Tamat

    Gedung kaca megah milik XKL Company berdiri di bawah langit sore yang berwarna keemasan.Bendera dengan logo XKL berkibar di depan halaman, mencerminkan cahaya matahari seperti lambang harapan baru.Para tamu dan wartawan memenuhi aula besar di lantai utama, di mana Xavier Anderson akan memperkenalkan visi perusahaannya kepada dunia.Beberapa bulan telah berlalu sejak Aurora lahir. Hidup Xavier berubah total. Tak ada lagi ambisi dingin atau malam-malam tanpa arah di kantor The Moons Company.Kini, setiap langkahnya dituntun oleh cinta, oleh tujuan yang sederhana tapi bermakna: keluarganya.Kayla duduk di barisan depan, mengenakan gaun pastel yang anggun. Wajahnya bersinar meski masih tampak lembut kelelahan seorang ibu muda.Di pangkuannya, Aurora tertidur pulas, dibalut selimut putih dengan logo kecil XKL di sudutnya. Anak kecil itu adalah simbol dari segalanya—awal baru, perjuangan, dan cinta yang menebus luka masa lalu.Ketika Xavier naik ke podium, tepuk tangan bergema.Sorot lamp

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Dua Jiwa yang Membuatnya Utuh

    Beberapa minggu telah berlalu sejak malam penuh ketegangan itu. Rumah mereka kini dipenuhi suara lembut—tangisan kecil, tawa pelan, dan nada-nada kehangatan yang menenangkan hati.Kayla perlahan pulih, meski tubuhnya masih lemah. Di pagi hari, sinar matahari menembus tirai ruang keluarga, menyoroti wajahnya yang mulai kembali segar.Ia duduk di kursi goyang dekat jendela, menyusui bayi mungil mereka, Aurora Beatrice.Di sisinya, Xavier duduk santai dengan laptop terbuka, sesekali mengalihkan pandangan dari layar untuk memastikan Kayla nyaman.Ia lebih sering bekerja dari rumah sekarang. Ruang kerjanya tak lagi sunyi seperti dulu; kadang diselingi tawa kecil Kayla, kadang tangisan Aurora yang menuntut perhatian ayahnya.Dan setiap kali bayi itu menangis, Xavier akan segera bangkit, seolah panggilan kecil itu adalah perintah tertinggi dalam hidupnya.“Psst…” bisik Xavier, menghampiri bayi mereka yang baru saja berhenti menangis. Ia menatap wajah mungil itu dengan senyum lembut, lalu ber

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Putri Kita Telah Lahir

    Suasana di luar ruang bersalin begitu mencekam. Lampu indikator merah di atas pintu menyala, menandakan proses kelahiran sedang berlangsung.Setiap detik terasa seperti jarum yang menembus dada Xavier. Ia berdiri mematung di depan pintu, telapak tangannya dingin, napasnya tersengal meski ia berusaha tenang.Dari balik pintu tertutup rapat itu, suara jeritan Kayla terdengar lagi—serak, penuh rasa sakit, membuat darah Xavier seakan berhenti mengalir.“Kayla…” bisiknya lirih, seolah panggilan lembut itu bisa menembus dinding tebal dan memberi kekuatan pada istrinya di dalam sana.Ia menunduk, menatap lantai steril rumah sakit yang terasa seperti dunia yang membeku.Perawat berlalu-lalang, suara alat medis berdentang dari kejauhan, tapi yang ia dengar hanya satu: tangisan tertahan, napas tersengal, dan teriakan “tolong” dari orang yang paling dicintainya.Waktu seperti kehilangan makna.Xavier bersandar pada dinding, menutup wajah dengan kedua tangan. Di sanalah semua ketegangan menumpuk—

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Panik

    Waktu terus berjalan, dan kini usia kandungan Kayla memasuki bulan kesembilan. Perutnya membulat sempurna, kulitnya meregang dengan indah di bawah sentuhan lembut lampu kamar.Namun di balik senyum hangat yang sering ia tunjukkan pada Xavier, tubuhnya mulai terasa semakin berat, setiap langkah disertai napas yang sedikit terengah.Malam-malamnya pun tak lagi tenang — kontraksi palsu datang dan pergi seperti gelombang kecil yang mengingatkannya bahwa waktu sudah semakin dekat.Xavier selalu berusaha pulang tepat waktu. Begitu melewati pintu rumah, ia akan menggulung lengan kemejanya, melepaskan dasi, lalu menuju kamar tanpa menunggu lama.Kayla biasanya sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya sambil berbicara pelan pada bayi mereka.Tanpa banyak kata, Xavier duduk di lantai, mengangkat kaki istrinya ke pangkuannya, dan mulai memijat dengan gerakan lembut.Jemarinya menyusuri betis Kayla, penuh perhatian dan kasih yang hanya dimiliki seseorang yang benar-benar mencintai.“Aku sudah bi

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Awal dari Segalanya

    Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung berlantai lima di kawasan yang masih baru berkembang.Tidak semegah The Moons Company, tapi memiliki aura berbeda — lebih hangat, lebih hidup.Logo XKL Company terpampang jelas di atas pintu masuk: tiga huruf yang melambangkan harapan baru, kerja keras, dan cinta yang menjadi pondasinya.Xavier turun dari mobil dengan langkah mantap.Ia menatap gedung itu lama, membiarkan dirinya menyerap setiap detailnya — dinding kaca modern, taman kecil di depan lobi, dan papan nama yang baru dipasang semalam. Semuanya sederhana, tapi memiliki makna besar.Richard sudah menunggunya di pintu, tersenyum bangga. “Tidak sebesar The Moons Company, tapi ini punya jiwa, Xavier.”Xavier mengangguk, matanya menatap lobi yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh semangat. “Dan itu lebih dari cukup.”Begitu ia melangkah masuk, seluruh ruangan langsung riuh oleh suara langkah kaki dan bisik kagum.Karyawan-karyawan baru — sebagian besar anak muda idealis yang percaya

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Langkah Menuju Kebebasan

    Udara pagi di depan gedung The Moons Company terasa dingin menusuk, meski matahari sudah tinggi di langit.Langit Jakarta tampak biru pucat, dan angin membawa aroma logam dari jalan raya yang sibuk.Xavier berdiri di depan pintu kaca besar yang selama bertahun-tahun menjadi pintu masuknya menuju dunia penuh tekanan, ambisi, dan manipulasi. Hari ini, untuk pertama kalinya, pintu itu bukan lagi miliknya.Ia menarik napas panjang, menatap ke dalam sejenak — ke arah lobi megah dengan lantai marmer putih, dinding kaca tinggi, dan logo besar berbentuk bulan perak yang bersinar di tengah ruangan.Di tempat itulah ia dulu belajar menjadi pemimpin, lalu perlahan berubah menjadi boneka di tangan ayahnya.Kini, tempat itu hanya menjadi kenangan.Langkah kakinya terdengar tegas menuruni anak tangga. Setiap langkah seolah menandai akhir dari satu bab besar dalam hidupnya.Mantap, namun berat — seperti seseorang yang meninggalkan bagian dari dirinya sendiri di belakang.Para karyawan yang melihatny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status