Share

Harga Diri yang Diremukkan

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-06-18 15:28:16

“Bukan urusanmu!” jawab Xavier dingin. “Habiskan makananmu. Banyak kerjaan yang harus kau kerjakan mulai hari ini!” sambungnya kemudian.

Banyak kerjaan? Pikir Kayla. Ia sedikit lega karena akhirnya bisa bekerja, tidak seperti tadi pagi yang hanya melamun tidak tahu apa yang harus dia selesaikan.

Sampai di gedung The Moons Company usai makan siang, Kayla langsung disambut tatapan-tatapan aneh. Beberapa pegawai membungkuk pada Xavier, lalu meliriknya sambil berbisik-bisik. Ia tahu mereka bertanya-tanya: siapa wanita ini?

Xavier hanya menoleh sedikit ke arah sekretarisnya, lalu berkata dingin, “Beri dia semua tugas asisten. Hari ini, dia akan belajar.”

Sekretaris itu, wanita berambut pirang yang kelihatan sangat terlatih, hanya menaikkan alis. “Baik, Tuan Anderson.”

**

Ruang rapat utama di lantai 32 sudah hampir penuh. Para manajer dari berbagai divisi duduk rapi di kursi mereka, membuka laptop, beberapa mencatat di tablet,dan sebagian lainnya hanya menunggu dengan raut penuh ekspektasi.

Di tengah ruangan, duduklah Xavier Anderson—CEO muda yang dikenal karena ketegasan dan ketidakpeduliannya pada urusan pribadi. Ekspresinya tak berubah, tatapan tajamnya lurus ke layar, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tempo pelan tapi menusuk.

Pintu terbuka dengan tergesa.

Kayla melangkah masuk, napasnya masih tersengal. Keringat membasahi pelipisnya, dan folder dokumen di tangannya nyaris terlepas.

“Maaf... saya terlambat,” ucapnya lirih sambil berusaha menyembunyikan kecemasan di balik senyum kecil.

Ia berjalan cepat menuju kursi kosong di ujung meja, tepat dua kursi dari Xavier. Tapi sebelum ia sempat duduk, suara dingin itu menghantam.

“Lima belas menit terlambat,” Xavier bersuara tanpa menoleh ke arah Kayla. Tapi suaranya cukup nyaring untuk didengar semua orang. “Dan kau datang tanpa izin. Luar biasa profesional, Nyonya Davis.”

Suasana seketika membeku. Para manajer saling berpandangan, beberapa mengangkat alis, sebagian hanya menunduk, pura-pura sibuk dengan layar di hadapan mereka.

Kayla membeku di tempat. Jemarinya mencengkeram folder berisi laporan yang baru ia periksa atas permintaan Xavier sendiri, hanya tiga puluh menit sebelum rapat dimulai.

“Saya... saya diminta oleh Anda sendiri untuk mengecek kembali data vendor—”

“Dan itu alasan untuk melanggar kedisiplinan?” Xavier memotong. Kali ini menoleh. Tatapannya menusuk seperti bilah pisau.

Kayla menelan ludah. Matanya mulai berkaca. Ia bisa merasakan wajahnya memanas, bukan karena marah, tapi malu.

“Kalau semua staf menggunakan alasan ‘perintah saya’ untuk datang terlambat, maka perusahaan ini tidak butuh sistem,” lanjut Xavier. “Kalau ingin bekerja di perusahaan saya, maka bersikap profesional, tidak peduli status Anda sebagai siapa.”

Hening.

Beberapa manajer berdeham pelan. Satu-dua orang tersenyum simpul, jelas menahan komentar sinis. Sementara yang lain mulai menatap Kayla dengan pandangan yang tidak asing baginya—rendah dan mengejek.

‘Lihat, itu istri CEO yang katanya hanya numpang nama.’

‘Hanya boneka cantik yang kebetulan dinikahi bos.’

‘Bekerja karena belas kasihan, bukan karena kompetensi.’

Bisikan-bisikan itu tidak terdengar, tapi Kayla tahu. Ia sudah cukup sering melihat sorot mata seperti itu. Dulu ia berusaha tak peduli, berusaha membuktikan dirinya dengan kerja keras, belajar mati-matian hanya untuk mengejar standar tinggi yang ditetapkan Xavier.

Tapi hari ini...

Hari ini, ia merasa dihancurkan di hadapan semua orang. Oleh pria yang seharusnya melindunginya, atau setidaknya—jika tidak bisa menjadi suami yang hangat—tidak mempermalukannya di depan umum.

“Silakan duduk, kalau Anda masih ingin ikut rapat,” ucap Xavier dan matanya kembali memandang layar.

Dengan tangan gemetar, Kayla menarik kursinya. Ia menunduk, menyembunyikan air mata yang jatuh diam-diam ke atas rok hitamnya. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak di depan mereka. Tidak di depan Xavier.

Rapat pun berlanjut. Xavier memimpin dengan efisien, suaranya tajam, penuh perintah. Tidak sekali pun ia melirik Kayla.

Bahkan saat Kayla mengangkat tangan untuk menambahkan koreksi data dari dokumen yang baru saja ia validasi, Xavier hanya mengangguk datar, lalu mempersilakan manajer divisi keuangan untuk melanjutkan tanpa menyebutkan kontribusi Kayla sedikit pun.

Bagaikan tidak pernah ada.

Kayla menunduk. Jari-jarinya mengepal di atas meja. Ia ingin sekali keluar dari ruangan itu. Tapi ia tahu, melarikan diri hanya akan memperkuat anggapan semua orang bahwa dia memang tidak pantas berada di sana.

Satu jam kemudian, rapat selesai. Para peserta keluar satu per satu sambil berbisik-bisik kecil.

“Sepertinya si istri semakin ditendang ke bawah, ya.”

“Maka dari itu, kalau hanya cantik jangan, jangan sok bekerja keras.”

“Dia pikir bisa dapat perlakuan khusus? Salah besar.”

Kayla menunggu hingga semua keluar sebelum akhirnya berdiri. Ia tahu Xavier masih ada di ruangan. Pria itu tengah merapikan dokumen dengan tenang dan tidak peduli pada situasi tersebut.

“Xavier,” panggil Kayla pelan.

Pria itu tidak menjawab. Hanya merapikan map dan memasukkannya ke dalam tas kerja kulit hitamnya.

“Kenapa kau mempermalukanku seperti itu?”

Xavier menutup tasnya lalu berdiri. “Aku hanya mengatakan apa yang pantas dikatakan.”

“Kau yang memintaku mengecek ulang laporan vendor hari ini! Kau yang tahu aku harus memverifikasi dokumen dan—”

“Kau bisa memilih untuk melakukannya setelah rapat. Atau datang lebih awal. Tapi kau memilih untuk terlambat. Jadi terima konsekuensinya.” Xavier memotong ucapan Kayla dengan nada dinginnya.

“Jadi ini semacam ... hukuman?” Mata Kayla berkaca lagi. “Untuk apa? Karena aku tidak cukup cepat? Karena aku tidak cukup ... berguna untukmu?”

Xavier menatapnya lama. Tak ada emosi di matanya. Hanya ketenangan yang membuat dada Kayla makin sesak.

“Jangan bawa perasaan ke tempat kerja. Ini perusahaan, bukan rumah tangga,” ucap Xavier datar.

“Kalau begitu, berhentikan aku saja, Xavier. Kalau memang aku hanya mempermalukanmu ... kalau memang aku hanya beban di hidupmu!”

Xavier meraih jasnya yang tergantung di sandaran kursi. “Tidak. Aku tidak akan memberhentikanmu,” katanya pelan namun dingin. “Karena setidaknya kau masih bisa dimanfaatkan.”

Ucapan itu menghantam dada Kayla seperti palu godam. Ia membeku. Napasnya tercekat.

“Kau tahu, kadang aku bertanya-tanya,” lanjut Xavier dan berdiri tepat di depannya. “Apa sebenarnya yang membuatku membawamu ke sini? Kasihan? Tanggung jawab? Atau hanya ... sebuah eksperimen yang gagal?”

Kayla mundur satu langkah. Air matanya mengalir deras mendengar ucapan menohok dari suaminya sendiri.

Xavier tak peduli dengan air mata tersebut. Dia kemudian melirik jam tangannya. “Aku ada meeting dengan investor pukul dua. Jangan buat kesalahan lagi hari ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
AlbyMalik
duhhh kay... kamu kuat kan kay... suamimu ini memang bukan manusia biasa tapi jelmaan deedemit
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Kayla bikin kesalahan lagi aja biar xavier memperhentikan kamu. Kasihan banget kamu kayla
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Xavier kamu sadis banget, itu istri mu meski istri kontrak ya harusnya di lindungi bukan malah di hina gitu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Tamat

    Gedung kaca megah milik XKL Company berdiri di bawah langit sore yang berwarna keemasan.Bendera dengan logo XKL berkibar di depan halaman, mencerminkan cahaya matahari seperti lambang harapan baru.Para tamu dan wartawan memenuhi aula besar di lantai utama, di mana Xavier Anderson akan memperkenalkan visi perusahaannya kepada dunia.Beberapa bulan telah berlalu sejak Aurora lahir. Hidup Xavier berubah total. Tak ada lagi ambisi dingin atau malam-malam tanpa arah di kantor The Moons Company.Kini, setiap langkahnya dituntun oleh cinta, oleh tujuan yang sederhana tapi bermakna: keluarganya.Kayla duduk di barisan depan, mengenakan gaun pastel yang anggun. Wajahnya bersinar meski masih tampak lembut kelelahan seorang ibu muda.Di pangkuannya, Aurora tertidur pulas, dibalut selimut putih dengan logo kecil XKL di sudutnya. Anak kecil itu adalah simbol dari segalanya—awal baru, perjuangan, dan cinta yang menebus luka masa lalu.Ketika Xavier naik ke podium, tepuk tangan bergema.Sorot lamp

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Dua Jiwa yang Membuatnya Utuh

    Beberapa minggu telah berlalu sejak malam penuh ketegangan itu. Rumah mereka kini dipenuhi suara lembut—tangisan kecil, tawa pelan, dan nada-nada kehangatan yang menenangkan hati.Kayla perlahan pulih, meski tubuhnya masih lemah. Di pagi hari, sinar matahari menembus tirai ruang keluarga, menyoroti wajahnya yang mulai kembali segar.Ia duduk di kursi goyang dekat jendela, menyusui bayi mungil mereka, Aurora Beatrice.Di sisinya, Xavier duduk santai dengan laptop terbuka, sesekali mengalihkan pandangan dari layar untuk memastikan Kayla nyaman.Ia lebih sering bekerja dari rumah sekarang. Ruang kerjanya tak lagi sunyi seperti dulu; kadang diselingi tawa kecil Kayla, kadang tangisan Aurora yang menuntut perhatian ayahnya.Dan setiap kali bayi itu menangis, Xavier akan segera bangkit, seolah panggilan kecil itu adalah perintah tertinggi dalam hidupnya.“Psst…” bisik Xavier, menghampiri bayi mereka yang baru saja berhenti menangis. Ia menatap wajah mungil itu dengan senyum lembut, lalu ber

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Putri Kita Telah Lahir

    Suasana di luar ruang bersalin begitu mencekam. Lampu indikator merah di atas pintu menyala, menandakan proses kelahiran sedang berlangsung.Setiap detik terasa seperti jarum yang menembus dada Xavier. Ia berdiri mematung di depan pintu, telapak tangannya dingin, napasnya tersengal meski ia berusaha tenang.Dari balik pintu tertutup rapat itu, suara jeritan Kayla terdengar lagi—serak, penuh rasa sakit, membuat darah Xavier seakan berhenti mengalir.“Kayla…” bisiknya lirih, seolah panggilan lembut itu bisa menembus dinding tebal dan memberi kekuatan pada istrinya di dalam sana.Ia menunduk, menatap lantai steril rumah sakit yang terasa seperti dunia yang membeku.Perawat berlalu-lalang, suara alat medis berdentang dari kejauhan, tapi yang ia dengar hanya satu: tangisan tertahan, napas tersengal, dan teriakan “tolong” dari orang yang paling dicintainya.Waktu seperti kehilangan makna.Xavier bersandar pada dinding, menutup wajah dengan kedua tangan. Di sanalah semua ketegangan menumpuk—

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Panik

    Waktu terus berjalan, dan kini usia kandungan Kayla memasuki bulan kesembilan. Perutnya membulat sempurna, kulitnya meregang dengan indah di bawah sentuhan lembut lampu kamar.Namun di balik senyum hangat yang sering ia tunjukkan pada Xavier, tubuhnya mulai terasa semakin berat, setiap langkah disertai napas yang sedikit terengah.Malam-malamnya pun tak lagi tenang — kontraksi palsu datang dan pergi seperti gelombang kecil yang mengingatkannya bahwa waktu sudah semakin dekat.Xavier selalu berusaha pulang tepat waktu. Begitu melewati pintu rumah, ia akan menggulung lengan kemejanya, melepaskan dasi, lalu menuju kamar tanpa menunggu lama.Kayla biasanya sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya sambil berbicara pelan pada bayi mereka.Tanpa banyak kata, Xavier duduk di lantai, mengangkat kaki istrinya ke pangkuannya, dan mulai memijat dengan gerakan lembut.Jemarinya menyusuri betis Kayla, penuh perhatian dan kasih yang hanya dimiliki seseorang yang benar-benar mencintai.“Aku sudah bi

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Awal dari Segalanya

    Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung berlantai lima di kawasan yang masih baru berkembang.Tidak semegah The Moons Company, tapi memiliki aura berbeda — lebih hangat, lebih hidup.Logo XKL Company terpampang jelas di atas pintu masuk: tiga huruf yang melambangkan harapan baru, kerja keras, dan cinta yang menjadi pondasinya.Xavier turun dari mobil dengan langkah mantap.Ia menatap gedung itu lama, membiarkan dirinya menyerap setiap detailnya — dinding kaca modern, taman kecil di depan lobi, dan papan nama yang baru dipasang semalam. Semuanya sederhana, tapi memiliki makna besar.Richard sudah menunggunya di pintu, tersenyum bangga. “Tidak sebesar The Moons Company, tapi ini punya jiwa, Xavier.”Xavier mengangguk, matanya menatap lobi yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh semangat. “Dan itu lebih dari cukup.”Begitu ia melangkah masuk, seluruh ruangan langsung riuh oleh suara langkah kaki dan bisik kagum.Karyawan-karyawan baru — sebagian besar anak muda idealis yang percaya

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Langkah Menuju Kebebasan

    Udara pagi di depan gedung The Moons Company terasa dingin menusuk, meski matahari sudah tinggi di langit.Langit Jakarta tampak biru pucat, dan angin membawa aroma logam dari jalan raya yang sibuk.Xavier berdiri di depan pintu kaca besar yang selama bertahun-tahun menjadi pintu masuknya menuju dunia penuh tekanan, ambisi, dan manipulasi. Hari ini, untuk pertama kalinya, pintu itu bukan lagi miliknya.Ia menarik napas panjang, menatap ke dalam sejenak — ke arah lobi megah dengan lantai marmer putih, dinding kaca tinggi, dan logo besar berbentuk bulan perak yang bersinar di tengah ruangan.Di tempat itulah ia dulu belajar menjadi pemimpin, lalu perlahan berubah menjadi boneka di tangan ayahnya.Kini, tempat itu hanya menjadi kenangan.Langkah kakinya terdengar tegas menuruni anak tangga. Setiap langkah seolah menandai akhir dari satu bab besar dalam hidupnya.Mantap, namun berat — seperti seseorang yang meninggalkan bagian dari dirinya sendiri di belakang.Para karyawan yang melihatny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status