Share

Pertemuan Pertama

Author: Els Arrow
last update Huling Na-update: 2024-07-15 10:26:06

"Sudah matang semua, Din? Tumben jam enam sudah siap semua?" tanya Yuyun yang baru saja keluar kamar.

"Mulai hari aku kerja, Bu. Nanti pulangnya jam lima sore."

Sebuah senyum terukir lebar di bibir keriput itu, kedua matanya mendelik sempurna.

"Nah ... gitu, dong. Sebagai perempuan harus kerja, jangan berpangku tangan kepada laki-laki. Ibu bangga kalau kamu kerja, nanti jangan lupa kasih ibu uang bulanan, ya."

Helaan napas kasar terdengar dari mulut Dinara, belum juga gajian sudah ditodong uang bulanan. Padahal Yuyun selalu mendapat jatah dari Reno.

Dinara melenggang pergi menuju kamarnya, ia melihat Azka yang sudah berpakaian rapi. Putranya selalu rajin, di usia tujuh tahun sudah bisa mengurus keperluannya sendiri.

"Nanti mama pulang sore, ya, Sayang," ucap Dinara.

"Iya, Ma."

Wanita itu mengangguk. "Sekarang kamu sarapan saja, nanti mama antar sekalian mama berangkat kerja."

Azka bergegas menuju dapur, sementara ia langsung memakai seragamnya dan berdandan tipis.

Dinara tidak peduli Reno yang belum siap, padahal pria itu juga harus berangkat jam tujuh.

Tidak lama kemudian Azka sudah selesai sarapan, wanita itu langsung mengendarai motornya menuju sekolah dan kemudian ke perusahaan tempatnya bekerja.

"Semangat banget," ucap Nada yang berdiri di parkiran.

Dinara langsung menghampiri sahabatnya itu setelah memarkirkan motornya. "Aku nggak terlambat 'kan?"

"Nggak, Din. Masih ada waktu lima belas menit," jawab Nada yang membuat wanita berambut panjang itu menghela napas lega.

"Syukurlah ... aku takut kalau telat, soalnya tadi harus antar Azka dulu dan jalanan macet."

Nada menggeleng. "Oh, iya, nanti ada meeting penting antara Pak Dirut dan para koleganya. Kalau ada meeting begini kita bakal sibuk, Din."

"Nggak papa, aku sudah siap. Semoga kerjaan ku hari ini nggak mengecewakan," sahut Dinara sambil menepuk pelan punggung sahabatnya.

Dua wanita itu terkekeh dan berjalan beriringan menuju ruangan office girl untuk mengambil alat kerja. Seharian ini Nada menemani Dinara sekalian mengajarkan cara para office girl bekerja.

Hingga tanpa terasa jam menunjukkan waktu makan siang. Segerombolan pria dalam balutan jas formal berjalan memasuki lobi kantor, aroma parfum menguar yang membuat Dinata langsung menunduk.

Seluruh staf berbaris rapi menyambut atasan mereka, tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua menunduk hormat, Dinara merasa kerdil sekali di sini.

"Itu Pak Pak Renaldy, pemilik perusahaan ini," bisik Nada sambil netranya menatap sesosok pria dewasa yang berjalan di depannya.

Dinara mangut-mangut, sejurus kemudian ia merasakan tangannya dicolek. Ternyata Bu Lina yang meminta Dinara dan Nada untuk mengikutinya.

"Kalian antar makanan ini ke ruang meeting, ya. Teman-teman yang lain sudah mengantar camilan tadi," kata Bu Lina saat mereka sudah tiba di pantry.

Dinara dan Nada kompak mengangguk. Sesekali Dinara melirik Nada dengan tatapan gugup, ini adalah kali pertamanya berhadapan dengan orang penting.

"Jangan gugup, kita pasti bisa. Di sana ada senior yang lain, kok, Din," bisik Nada yang langsung diangguki oleh Dinara.

Keduanya berjalan dengan perasaan berdebar, tetapi sebisa mungkin memasang wajah ramah dan senyum mengembang. Teman-teman mereka sudah menyusun meja dan kursi dengan rapi, ruangan juga sudah disemprot dengan pewangi.

Dinara dan Nada menata makanan di atas meja, setelahnya mereka keluar dan tidak lama kemudian segerombolan petinggi perusahaan masuk.

"Syukurlah," gumam Dinara.

"Nggak semenegangkan itu 'kan?"

"Iya, Nad. Aku terlalu gugup tadi. Lalu sekarang kita turun atau di sini saja?" tanya wanita dengan rambut hitam digelung itu.

"Kita di sini saja dulu, takutnya Pak Renaldy butuh sesuatu," sahut Nada yang mengajak sahabatnya untuk menuju pojok lorong.

Kedua wanita itu berbincang ringan hingga suara pintu ruangan yang dibuka membuat perhatian mereka teralihkan. Seorang pria tampan dalam balutan jas mahal keluar dengan wajah ditekuk, pandangannya mengedar hingga kedua netranya menatap Dinara dan Nada.

"Buatkan aku kopi," ucapnya dengan suara dingin.

Dinara mengangguk gugup dan langsung berlari ke dapur, tidak lama kemudian ia sudah siap dengan secangkir kopi dan membawanya naik ke lantai paling atas.

Tampak pria itu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, sementara Nada sibuk menata troli yang akan dibawa turun.

"Ini, Pak, kopinya," ucap Dinara dengan suara lirih dan kepala menunduk.

"Kenapa lama sekali? Kau sudah bosan bekerja di perusahaan ini?!"

Tubuh mungil itu menegang mendengar bentakan pria di hadapannya, ia merasa oksigen di sekitarnya menyempit.

"Kau tidak tahu siapa aku, hah?!"

Hening! Dinara tidak menyahut. Ia juga bingung, kenapa pria itu marah-marah, padahal hanya lima menit dirinya membuat kopi.

"Dengarkan baik-baik!" Pria itu sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Dinara. "Seorang Gerald River tidak suka menunggu lama. Sebagai hukumannya, kau akan mendapatkan SP-1".

Wanita itu kesulitan menelan saliva, ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat guna menahan rasa gugup.

'Astaga ..! Di hari pertama kerja saja sudah dapat SP-1,' batinnya memelas dengan mata terpejam.

Tanpa sadar tangannya bergetar hebat, seiring rasa sesak yang terus menekan dadanya. Hingga tanpa sengaja cairan hitam pekat itu tumpah dari cangkir dan mengenai kemeja putih yang dikenakan Gerald.

"Hei ...!"

Dinara terlonjak kaget, tangannya terlepas dan cangkir itu jatuh. Cairan kopi menggenang di lantai hingga mengenai sepatu Gerald, sementara cipratannya mengotori celana coklat mahal itu.

Dinara masih memejamkan mata, ia merasa pekerjaannya berakhir hari ini juga. Ia sudah membuat masalah dengan pemilik perusahaan, pasti dirinya akan dipecat.

"Dasar kurang ajar! Kau ini niat bekerja atau mencari gara-gara denganku, hah?!"

"Ma-maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja," bisik Dinara.

"Aku tidak peduli dengan alasanmu. Tapi kau harus mencuci pakaian dan sepatuku. Jangan sampai salah, meskipun aku yakin orang sepertimu belum pernah menyentuh pakaian mahal. Kalau sampai pakaianku rusak, kau harus menggantinya!"

Dinara mengangguk kaku sambil menjawab, "ba-baik, Pak."

"Dasar menyusahkan! Bisa-bisanya Papa punya staf sepertimu. Sekarang buatkan kopi baru. Paling lama tiga menit sudah harus siap!" sentak Gerald dan langsung kembali masuk ke ruang meeting.

Nada meminta Dinara membuat kopi di lantai atas, ia tidak mau sahabatnya kena masalah lagi.

Secangkir kopi sudah siap, Dinara berdiri di depan ruang meeting dengan wajah pucat, khawatir salah lagi dan Gerald benar-benar memecatnya.

'Ya Tuhan, jaga aku agar kuat dan masih bisa bekerja di sini. Aku ingin menyiapkan yang terbaik untuk masa depan Azka,' batin Dinara.

Pintu terbuka, Gerald mengangsurkan sebuah paper bag dan langsung meraih cangkir yang disodorkan oleh Dinara. Tanpa sepatah katapun pria itu langsung berbalik badan dan menutup pintu dengan kencang.

Dinara mendudukkan dirinya di kursi, meratapi nasib apesnya hari ini.

'Aku nggak mungkin cuci sendiri, nanti malah salah. Ini pakaian mahal, harus dibawa ke laundry khusus. Huh ... uangku tinggal sedikit, dan Azka harus bayar iuran besok. Mana sekarang aku nggak bisa mengharapkan Reno! Ya Tuhan, ada-ada saja,' batinnya sambil mengelap air mata yang tidak sengaja turun.

Tanpa Dinara ketahui, Gerald tengah menatapnya sambil menyeringai puas dari balik jendela.

"Kapok kau! Dasar office girl ceroboh. Untung aku tidak memecatmu karena kau cantik," gumam pria itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bukan Wanita Simpanan    Bab 87 — End

    Gerald menatap jendela besar di ruang kerjanya. Sudah berbulan-bulan ia mencoba melupakan Dinara, tetapi bayangan wanita itu terus menghantui pikirannya. Sejak Dinara meninggalkan pekerjaannya, Gerald merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia sadari sangat berarti baginya. Bukan hanya staf yang setia dan profesional, tetapi juga seseorang yang membuat hatinya lebih hidup. Hari itu, Gerald memutuskan untuk berhenti menghindar dari kenyataan. Ia mencari tahu keberadaan Dinara melalui seorang kolega yang pernah dekat dengannya. Ketika akhirnya ia menemukan alamat Dinara di sebuah kota kecil, hatinya berdebar. Ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki semuanya. Sesampainya di kota itu, Gerald melihat Dinara dari kejauhan. Wanita itu tampak sederhana, mengenakan gaun panjang. Dinara sedang menuntun seorang anak kecil, yang kemudian Gerald ketahui adalah Azka. Gerald berhenti sejenak, mengamati mereka. “Dinara!” panggil Gerald dengan suara bergetar ketika akhirnya

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 86

    Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 85 || Ingin Pergi

    Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 84 || Pulang

    Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 83 || Mau Pulang!

    Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter

  • Bukan Wanita Simpanan    Chapter 82 || Ashley

    Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status