*Happy Reading*
"Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat."
Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang.
Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena ....
"Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu.
Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya.
"Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti.
Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan ....
"Baju."
Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Rumah dua orang ini jika tak bawa baju.
Sarung? Atau seprei?
"Tidak usah!" tolak Sean tegas.
"Tapi--"
"Saya yakin, baju kamu semuanya model seperti yang kamu pake itu, iya kan?"
Ya, memang. Terus masalahnya di mana? Penting masih bisa dipake, kan? Dari pada telanjang. Bener, gak?
"Sudahlah lupakan saja, baju kamu hanya akan jadi sampah saja di Rumah. Soalnya, percaya deh, kain lap di Rumah saya bahkan lebih baik dari baju-baju kamu itu. Jadi, mending tidak usah di bawa saja." Sean masih menolak dengan tegas. Membuat Ina kembali sakit hati dengan ucapannya.
Tuhan ... mulut pria ini benar-benar pahit sekali.
"Tapi, nanti saya pakai apa di sana?" tanya Ina dengan polos.
"Pinjem sama pembantu saya sementara."
Degh!
"Sean?!" tegur Mama Sulis kesal. Kemudian memegang kedua bahu Ina agar gadis itu beralih Fokus. "Jangan dengerin dia. Dia cuma bercanda aja."
Bercanda? Itu tadi gaya candaannya? Kok gak lucu, ya?
"Tapi Sean bener, sih? Baju-baju kamu itu tinggalin aja."
Eh?
"Soalnya, nanti juga kamu tidak memerlukannya, kok."
Maksudnya?
"Kan, nanti Sean bakal beliin kamu baju yang banyak, dan bagus-bagus Ina. Jadi, gak usah di bawa aja, ya," imbuh Nyonya Sulis kemudian. Kembali membesarkan hati Ina.
Benarkah? Tapi ini kan belum lebaran. Memang boleh, Ina beli baju sekarang?
"Ta-tapi ...."
"Sean? Ayolah! Bilang pada Ina kalau kamu akan membelikannya baju," sela Nyonya Sulis cepat, seraya melirik anaknya lagi. Meminta persetujuan pria itu.
"Ya, ya, terserah kalian saja," jawab Sean tanpa minat sama sekali. Kembali sibuk dengan gawainya yang mulai membuat Ina cemburu.
Ugh ... apa nanti, Ina harus bersaing dengan gawai itu untuk mendapat perhatian Sean?
****
"Mah, Sean langsung balik kantor, ya?" ucap Sean, saat sudah sampai di depan gerbang Rumahnya, dan menurunkan Mamanya beserta Ina di sana."Iya. Pulangnya jangan malam-malam. Masih banyak yang harus kita diskusikan, Sean." Mama Sulis mengingatkan, membuat Sean mendesah pelan sebelum mengangguk saja.
Bisa apa lagi, saat ini dia sudah tidak bisa mendebat apapun, kan? Semua keputusan sudah di tentukan Mamanya dan ... ya, sepertinya Sean tidak bisa mengabaikan permintaan Mamanya itu.
Bagaimana pun surganya masih tetap di kaki Mama Sulis.
Setelah itu, Sean pun bergegas pergi lagi, mengejar waktu agar bisa bertemu klien pentingnya.
Di lain pihak, melihat Rumah kediaman Abdilla yang megah, Ina pun tak bisa tak melotot takjub, dengan mulut yang sudah pasti menganga lebar karena ....
'Gila, ini Rumah apa Istana? Kok gede banget?' Batin Ina berseru heboh.
Seumur-umur dia menghirup udara di dunia, ini kali pertama dia bisa melihat langsung Rumah semegah ini dengan mata kepalanya sendiri.
Biasanya, Ina paling melihat gambar Rumah-Rumah bagus dari televisi yang ada di warteg, ketika menayangkan sinetron yang sedang booming saat ini.
Demi apa? Ternyata Aslinya lebih besar dari apa yang Ina bayangkan dulu. Sungguh, Ina takjub luar biasa!
Ini ngepelnya gimana nanti? Segede itu bisa kelar sehari kagak, ya?
"Nah, Ina. Ini Rumah saya, mulai sekarang kamu akan tinggal di sini, okeh!"
Lamunan Ina pun seketika buyar, saat mendengar Nyonya Sulis berkata demikian, sambil menepuk bahunya.
"I-ini, beneran Rumah Ibu?" tanya Ina terbata.
Mengerti akan keterkejutan Ina, Nyonya Sulis pun tersenyum penuh maklum.
Nyonya Sulis juga pernah se-norak itu kok, saat pertama kali dibawa ke kota besar. Makanya Nyonya Sulis tak akan menertawakan sikap Ina saat ini.
"Iya, ini Rumah saya dan Sean, juga akan jadi Rumah kamu nanti."
Ina pun langsung megap-megap mendengar jawaban Nyonya Sulis barusan. Masih belum bisa percaya pada situasi yang harus dia hadapi saat ini.
Benarkah ini akan jadi Rumahnya Ina juga?
Ini bukan Hoax, kan? Atau prank yang biasa artis lakukan di televisi?
Eh, tapi ... Nyonya Sulis kan bukan Artis. Kalau begitu ....
"Sudah, mikirnya nanti aja ya, Ina. Sekarang lebih baik kita ke dalam dulu. Saya sudah haus," ajak Nyonya Sulis lagi, sambil kemudian menggandeng tangan Ina dan membimbing gadis itu masuk ke Rumahnya.
Tak ada penolakan sama sekali dari Ina. Gadis itu masih setengah linglung dengan semua perkataan Nyonya Sulis barusan, yang terasa seperti bisikan halusinasi.
Lagipula. Memang mau menolak seperti apa? Ina sudah terlanjur datang ke sini, dan tidak tahu jalan pulang.
Salah-salah, kalau nekad nanti Ina malah nyasar dan jadi gembel Ibu kota.
Selain itu, kenapa juga harus nekad. Sepertinya, Nyonya Sulis beneran baik, kok. Meski memang ada kemungkinan baiknya bisa seperti pemeran antagonis di sinetron yang sering dia tonton di warteg. Alias, baik di depan, busuk di belakang. Atau, baik karena ada maunya saja.
Ah, ya Ampun, sepertinya Ina terlalu banyak nonton sinetron. Padahal diberi tampungan saja, harusnya Ina sudah bersyukur.
Daripada jadi gembel ibu kota, iya kan?
Ina melangkah takut-takut mengikuti nyonya Sulis, sambil memeluk tas lusuhnya, yang hanya berisi selembar photo dirinya dan kedua orangtuanya, saat lebaran Tahun lalu.
Ekor matanya tidak berhenti memindai kondisi Rumah megah itu, sambil beberapa kali berdecak kagum pada isinya yang penuh dengan benda-benda mahal.
Jelas pasti mahal, semuanya sangat mengkilap di mata Ina, dan tidak pernah Ina temukan di pasar tempatnya bekerja.
Lagi-lagi ina menelan saliva kelat, saat membayangkan harga barang-barang itu. Sepertinya, kalau sampai Ina rusak satu saja, Ina tidak akan mungkin sanggup membayarnya sampai kapanpun.
Ina masih setia mengikuti langkah Nyonya Sulis dengan pelan. Sampai ketika matanya menemukan sebuah photo besar di Ruang tengah, langkah Ina pun sontak terhenti, dengan tatapan yang mulai nanar melihat gambar yang di tampilkan photo tersebut.
Itu kan .... photo Pak Sean dengan seorang wanita? Dan mereka dalam balutan busana pernikahan bagus sekali.
Ini maksudnya apa?
Tuhan ... Ina gak akan di jadikan istri simpanan, kan?
================================
Nah, kira-kira photo siapa Ina lihat? Kira-kira apa Reaksi Ina kalau tahu siapa Sean sebenarnya? Yuk stay tune terus ya ...*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading* Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Ina tanyakan pada Mbok Darmi. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Tetapi, wanita tua itu malah pergi begitu saja setelah mengatakan hal tadi, karena harus menyiapkan makan malam sebelum Pak Sean datang. Sumpah demi apapun. Ina benar-benar penasaran sekali pada keluarga ini sekarang. Karena, apa yang barusan Ina dengan benar-benar terasa janggal, dan ... memang Ina juga kan belum kenal betul tentang keluarga ini. Ina baru mengenal mereka satu hari, dan belum tahu apa-apa tentang keluarga ini. Jadi wajarkan, kalau Ina sangat penasaran sekarang. Namun, sebagai orang yang di gadang-gadang akan masuk menjadi anggota keluarga. Ina tentu harus tahu bagaimana keluarga yang akan dia masuki ini, iya kan? Setidaknya, Ina harus tahu sifat-sifat dan masa lalu Pak Sean, yang katanya akan menikahinya. Karena Ina ti
*Happy Reading* "Bibi lagi ngapain? Ina bantu, boleh?" Mbok Darmi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk sarapan pagi itu pun langsung menoleh ke arah Ina, dan terlihat cukup terkejut melihat kehadiran gadis itu di sana. "Loh, Non Ina kok udah bangun? Ini kan masih pagi, Non?" tanya Mbok Darmi kemudian. Ina tak langsung menjawab. Memilih makin mendekat ke arah Mbok Darmi, dan melihat bahan apa saja yang sedang di siapkan oleh orang, yang juga sebagai kepala pembantu di Rumah itu. "Di kampung Ina udah biasa bangun sebelum subuh, Bi. Soalnya harus membantu Ibu Warteg buat masak juga biar dapat uang lebih. Sejak itu malah jadi kebiasaan sampe sekarang." Ina kemudian bercerita dengan riang pada Mbok Darmi. "Oh, begitu ...." Mbok Darmi hanya bergumam menanggapi Ina. "Mbok mau masak apa, sih? Kok banyak banget bahan masakannya?" tanya Ina lagi, setela
*Happy Reading* Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun .... Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini. Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya? Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan? Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih? Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin? Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan. "Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini. "Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya No
*Happy Reading* Bertemu Rara dan Kean? Tentu saja Ina mau! Kebetulan, Ina sudah sangat penasaran pada dua orang itu. Khususnya pada Rara, yang katanya mantan istri Sean. Ina ingin tahu bagaimana rupa Rara itu. Apa secantik istri pertama Sean? Atau malah lebih. Ina benar-benar ingin bertemu Rara. Selain itu, Siapa tahu Ina juga bisa dapat sedikit Info tentang masa lalu mereka? Bukan apa-apa. Jujur saja Ina sebenarnya belum yakin pada pernikahan yang Nyonya Sulis tawarkan untuknya. Ina bukan mau sombong. Atau tak tahu berterima kasih karena sudah di tolong, bahkan diberi tempat tinggal sekarang. Hanya saja, bagaimanapun Ina ini tetaplah seorang wanita biasa, yang punya mimpi seperti wanita pada umumnya. Yaitu ingin menikah sekali seumur hidup. Tidak masalah jika Ina bukan yang pertama. Karena semua orang memang puny
*Happy Reading* Tok ... tok ... tok .... Ina baru saja selesai shalat saat ketukan itu terdengar. Masih menggunakan mukenanya, Ina pun bergegas menghampiri suara tersebut, untuk melihat siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya? Degh! Napas Ina pun sontak tercekat, saat akhirnya melihat Sean sudah berdiri gagah di ambang pintu kamarnya. Dengan wajah datar ciri khas pria itum Mau apa lagi pria ini? Mau nyakitin hati Ina lagi? Atau, apa? Dia mau apa nemuin Ina lagi? Segala praduga pun mulai bermunculan di kepala Ina, akibat kehadiran pria, yang tadi pagi sudah kembali melukai hatinya itu. Bukan apa-apa, sejak selesai sarapan bersama tadi pagi. Ina memang berusaha menghindari Sean, yang ternyata hari ini tidak pergi ke kantornya. Tentu saja, hari ini kan sabtu. Pria ini tentu libur bekerja di hari weekend, kan? Mak
*Happy Reading* "I-ini apa?" tanya Ina dengan ragu, saat akhirnya meraih dan membuka kotak berwarna merah, yang tadi Sean lemparkan dengan pelan ke pangkuannya. Isinya liontin indah sekali. Ina sampai menelan salivanya kasar saat melihat liontin tersebut. Sebab, selama 20 tahun dia hidup dan bernapas di dunia. Inilah kali pertama dia melihat langsung perhiasan mahal, yang lebih berkilau dari perhiasan yang biasa di pajang toko emas depan wartegnya dulu. Ini, bandulnya pasti berlian, iya kan? Duh, indah banget, sih? Ina jadi pengen segera-- "Hadiah untuk Mama." Eh? Oh, buat Nyonya Sulis ternyata. Seketika Ina pun merasa kecewa, karena sudah berharap tinggi saat melihat perhiasan di tangannya ini. Ina yang bodoh. Siapa dia, coba? Sampai Sean mau repot-repot memberikan perhiasan semahal ini untuknya. Ina pun langsung menutup kotak itu
*Happy Reading* Akibat kejadian kemarin, tepatnya kedekatan yang tercipta di Mall. Semalam Ina sukses tak bisa memejamkan matanya, karena terus terbayang sikap Sean yang menurutnya manis. Ya, ampun. Kemaren yang jalan sama Ina beneran Sean, kan? Bukan kembarannya. Apalagi makhluk jadi-jadian yang menyerupai pria itu. Soalnya ... beda banget sumpah, sama Sean yang Ina kenal. Pria galak yang punya mulut pedas, ternyata bisa semanis kemarin. Duh ... Ina jadi baper. Tolong jangan salahkan Ina untuk hal ini. Karena usia yang masih terbilang muda, dan tidak adanya pengalaman soal percintaan sebelumnya. Membuat Ina jadi baperan begini pada Sean. Jangankan diperlakukan manis oleh pria seperti Sean, yang tampangnya memang tak diragukan lagi. Dikasih tetelan lebih oleh tukang bakso saja. Ina kadang baper. Soalnya, tukang baksonya juga masih muda dan lumayan tampan.