*Happy Reading*
Beberapa jam sebelumnya ....
Sean baru saja mendaratkan diri pada kursi kebesarannya. Saat sang sekretaris menghampiri dan memberinya kabar jika sang Ibu memintanya segera menghubungi, jika sudah selesai meeting.
Darurat! Itu katanya. Terang saja, hal itu membuat Sean segera meraih gawainya yang memang diabaikan sejak beberapa jam lalu, karena harus terlibat dalam meeting besar perusahaan yang di pimpin.
Masalahnya, sang ibu memberikan istilah tak biasa dalam pesannya pada sang sekretaris. Alih-alih kata 'penting' yang biasa sang Mama gunakan. Kali ini kata 'Darurat' adalah pesan mendesak itu.
Karenanya, Sean pun cukup penasaran ingin segera mengetahui pesan darurat apa yang Mamanya sebutkan itu.
"Hallo, Sean? Akhirnya kamu nelpon Mama Juga!"
Mama Sulis menjawab telpon Sean dengan sangat antusias. Membuat alis tebal Sean makin bertaut di tempatnya.
Kenapa reaksi Mamanya seperti ini? Padahal baru tadi pagi bertemu dan sarapan bersama. Tapi, kenapa reaksi Mama malah seperti sudah lama tak melihat anaknya ini. Mamanya baik-baik saja, kan?
"Maaf, Mah. Sean baru selesai meeting."
"Iya, Mama udah denger itu dari Mira."
Lihatlah, Mama bahkan membalas dengan cepat jawab Sean. Seperti orang yang tidak sabaran.
"Oh ... okeh. Kalau begitu, ada apa, Mah? Mira bilang, Sean harus segera nelpon Mama karena ada hal yang darurat? Hal apa itu, Mah?"
Maka Sean pun akhirnya memilih tak berbasa-basi lagi pada sang Mama.
"Iya, Sean. Mama memang sedang ada hal darurat saat ini. Tapi, sebelumnya Mama mohon kamu jangan marah, ya? Karena sungguh! Mama juga terpaksa melakukan hal ini!" Ucapan sang Mama makin membuat Sean penasaran luar biasa.
Apalagi dari nada bicaranya saja, sang Mama seperti orang gusar yang terdesak.
"Ada apa sebenarnya, Mah?" tuntut Sean akhirnya, tak sabaran.
Bukannya langsung menjawab. Mama Sulis malah terdiam, dalam jeda waktu yang cukup lama. Membuat Sean mulai kehilangan kesabarannya
Ingat! Sean ini memang paling payah jika menyangkut rasa sabar. Karenanya, dia sering di sebut si sumbu pendek.
"Mah?" Sean kembali mendesak. Saat sang Mama masih saja tak memberikan jawaban, pada menit kelimanya.
Ya, ya, Sean memang sepayah itu dalam menahan kesabaran.
"Begini Sean." Akhirnya suara sang Mama terdengar kembali. "Mama ... mama ...." Namun kini sang Mama malah terbata di sebrang sana.
Tentu saja, hal itu membuat kesabaran Sean yang memang setipis kulit ari makin habis.
Namun, baru saja Sean akan melontarkan kekesalannya. Ucapan sang Mama selanjutnya membuatnya langsung terdiam, dengan mata membola sempurna. Karena ....
"Mama gak sengaja nabrak pasangan buruh pabrik yang baru pulang, Sean. Suaminya meninggal di tempat. Mereka punya satu anak gadis yang tak punya keluarga untuk bisa dititipi. Karenanya, sebelum yang wanita meninggal, Mama janji akan menikahkan anaknya sama kamu."
What the hell!
Yang benar saja!
Kenapa Mamanya selancang itu membuat keputusan?
Tanpa rundingan apalagi bertanya terlebih dahulu padanya. Apa Mamanya tidak tahu, jika Sean tak ingin menikah lagi.
Sean tak ingin menyakiti wanita manapun lagi!
"Mah, Sean--"
"Mama mohon, Sean. Mama mohon! Mama gak bisa mengabaikan gadis itu. Kasihan. Gara-gara Mama dia jadi yatim piatu, Sean. Gara-gara Mama dia jadi sebatang kara," pangkas Mama Sulis dengan hibaan yang tak bisa Sean abaikan.
Apalagi, hanya Mama Sulis yang masih dia miliki saat ini. Setelah kepergian sang ayah dan kedua istrinya. Hanya Mama Sulis yang tak pernah meninggalkannya.
Istimewanya, sampai kapanpun Sean sadar betul surganya ada pada sang Mama. Karenanya, Sean pun kini dilanda kebingungan yang teramat sangat atas permintaan Mamanya ini.
Memang bukan hal sulit dengan permintaan mamanya ini. Menikah lagi juga bukan hal yang aneh. Toh, dia juga free dan sudah menduda lama. Jadi semuanya bukan perkara besar.
Hanya saja, Sean cuma takut akan mengulangi dosa masa lalunya. Karena jika dia boleh jujur. Bahkan sampai saat ini pun penyesalan itu masih sering menghantuinya.
Namun, bagaimana dengan permintaan mamanya ini? Haruskah dia abaikan?
"Sean, Mama mohon. Tolong, ya, Nak." Mama Sulis kembali memohon.
"Kenapa Mama tidak memberikannya uang saja sebagai ganti rugi? Atau, jadikan saja dia anak angkat Mama. Kenapa harus--"
"Sean?!" Mama Sulis berseru marah.
"Ini bukan perkara ganti rugi, Sean. Ini perkara hati nurani!" Mamanya mulai murka. "Dia sebatang kara, Sean. Dia yatim piatu! Dan itu semua karena Mama! Ngerti, gak, sih?"
Sean memilih menutup mulut rapat-rapat menghadapi kemurkaan ibunya. Bukan tak berani melawan, Sean hanya tak ingin membuat suasana makin kacau.
Mulutnya kadang memang tak punya saringan. Hingga tak jarang, kerap melontarkan kata-kata pedas dan membuat orang sakit hati.
Pengalaman membuatnya harus extra belajar menutup mulut jika tak ingin termakan sumpah serapahnya sendiri.
"Lagipula, Sean. Kamu tahu pasti kan, tidak semua hal bisa dinilai dengan uang. Termasuk nyawa seseorang dan kesempatan kedua yang tidak selalu hadir," lanjut Mamanya seakan menyindir Sean.
Lalu, harus bagaimana Sean sekarang?
================================
Kan udah di bilang. Ini Sean yang itu!Kira-kira .... Sean sudah tobat belum ya di sini? Atau masih seiblis di lapak sebelah?Yuk kepoin.
*Happy Reading* Ina hanya bisa menunduk dalam, sambil memainkan ujung kaos lusuhnya saat Mamanya Sean menceritakan kejadian nahas itu. Ternyata, wanita ini yang telah menabrak orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal di tempat, sementara ibunya meninggal saat di perjalanan ke Rumah sakit. Sungguh, mengetahui hal ini, Ina bingung harus benci atau berterima kasih pada kedatangan dua orang ini. Faktanya, mereka yang membuat Ina sekarang sendirian di dunia ini, tapi mereka jugalah yang baru saja menyelamatkan Ina dari kelicikan Pak Joko. Bahkan, mereka juga yang akhirnya mengurus pemakaman orang tuanya, dan semua hal yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, tadi Sean yang galak itu pun malah ikut turun ke liang lahat, saat menurunkan jenasah Ibu dan ayahnya. Itulah kenapa, sekarang Ina Denial sekali mendengar permintaan Mama Sean, aka Nyonya Sulis setela
*Happy Reading* "Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat." Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang. Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena .... "Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu. Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya. "Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti. Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan .... "Baju." Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Ruma
*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading* Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Ina tanyakan pada Mbok Darmi. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Tetapi, wanita tua itu malah pergi begitu saja setelah mengatakan hal tadi, karena harus menyiapkan makan malam sebelum Pak Sean datang. Sumpah demi apapun. Ina benar-benar penasaran sekali pada keluarga ini sekarang. Karena, apa yang barusan Ina dengan benar-benar terasa janggal, dan ... memang Ina juga kan belum kenal betul tentang keluarga ini. Ina baru mengenal mereka satu hari, dan belum tahu apa-apa tentang keluarga ini. Jadi wajarkan, kalau Ina sangat penasaran sekarang. Namun, sebagai orang yang di gadang-gadang akan masuk menjadi anggota keluarga. Ina tentu harus tahu bagaimana keluarga yang akan dia masuki ini, iya kan? Setidaknya, Ina harus tahu sifat-sifat dan masa lalu Pak Sean, yang katanya akan menikahinya. Karena Ina ti
*Happy Reading* "Bibi lagi ngapain? Ina bantu, boleh?" Mbok Darmi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk sarapan pagi itu pun langsung menoleh ke arah Ina, dan terlihat cukup terkejut melihat kehadiran gadis itu di sana. "Loh, Non Ina kok udah bangun? Ini kan masih pagi, Non?" tanya Mbok Darmi kemudian. Ina tak langsung menjawab. Memilih makin mendekat ke arah Mbok Darmi, dan melihat bahan apa saja yang sedang di siapkan oleh orang, yang juga sebagai kepala pembantu di Rumah itu. "Di kampung Ina udah biasa bangun sebelum subuh, Bi. Soalnya harus membantu Ibu Warteg buat masak juga biar dapat uang lebih. Sejak itu malah jadi kebiasaan sampe sekarang." Ina kemudian bercerita dengan riang pada Mbok Darmi. "Oh, begitu ...." Mbok Darmi hanya bergumam menanggapi Ina. "Mbok mau masak apa, sih? Kok banyak banget bahan masakannya?" tanya Ina lagi, setela
*Happy Reading* Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun .... Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini. Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya? Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan? Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih? Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin? Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan. "Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini. "Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya No
*Happy Reading* Bertemu Rara dan Kean? Tentu saja Ina mau! Kebetulan, Ina sudah sangat penasaran pada dua orang itu. Khususnya pada Rara, yang katanya mantan istri Sean. Ina ingin tahu bagaimana rupa Rara itu. Apa secantik istri pertama Sean? Atau malah lebih. Ina benar-benar ingin bertemu Rara. Selain itu, Siapa tahu Ina juga bisa dapat sedikit Info tentang masa lalu mereka? Bukan apa-apa. Jujur saja Ina sebenarnya belum yakin pada pernikahan yang Nyonya Sulis tawarkan untuknya. Ina bukan mau sombong. Atau tak tahu berterima kasih karena sudah di tolong, bahkan diberi tempat tinggal sekarang. Hanya saja, bagaimanapun Ina ini tetaplah seorang wanita biasa, yang punya mimpi seperti wanita pada umumnya. Yaitu ingin menikah sekali seumur hidup. Tidak masalah jika Ina bukan yang pertama. Karena semua orang memang puny
*Happy Reading* Tok ... tok ... tok .... Ina baru saja selesai shalat saat ketukan itu terdengar. Masih menggunakan mukenanya, Ina pun bergegas menghampiri suara tersebut, untuk melihat siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya? Degh! Napas Ina pun sontak tercekat, saat akhirnya melihat Sean sudah berdiri gagah di ambang pintu kamarnya. Dengan wajah datar ciri khas pria itum Mau apa lagi pria ini? Mau nyakitin hati Ina lagi? Atau, apa? Dia mau apa nemuin Ina lagi? Segala praduga pun mulai bermunculan di kepala Ina, akibat kehadiran pria, yang tadi pagi sudah kembali melukai hatinya itu. Bukan apa-apa, sejak selesai sarapan bersama tadi pagi. Ina memang berusaha menghindari Sean, yang ternyata hari ini tidak pergi ke kantornya. Tentu saja, hari ini kan sabtu. Pria ini tentu libur bekerja di hari weekend, kan? Mak