*Happy Reading*
Ina hanya bisa berdiri kaku dan mengerjap pelan dengan napas tercekat melihat kejadian itu. Antara ingin tertawa dan ngeri melihat bagaimana Pak Joko tersungkur mengenaskan, tanpa ada satu pun yang menolongnya.
Ina bingung harus bereaksi seperti apa saat ini.
Akan tetapi, sebenarnya Ina lebih takjub pada pria gagah itu, sih. Soalnya, kedatangannya seperti oase di hidup Ina yang tadi gersang.
Bukan karena ketampanannya. Melainkan karena kehadirannya yang tepat di saat Ina benar-benar butuh bantuan.
Apa ini keajaiban?
Apa orang ini pahlawan?
Entahlah, namun satu yang harus Ina niatkan dalam hati. Setelah ini Ina harus berterima kasih pada pria itu.
"Sean, sudah!" seru wanita kaya itu, seraya menahan pria gagah yang sepertinya masih ingin menghajar Pak Joko.
Oh ... namanya Sean.
"Tapi, Mah. Dia tadi mau pukul Mama," sahut pria itu, masih dengan wajah kesal sekali.
Tunggu!
Tadi dia panggil wanita itu apa? Mama?
Astaga! Apa mungkin dia ....
"Tapi kan gak jadi berkat kamu. Sudah! Jangan teruskan lagi. Mama gak mau masalah ini sampai berbuntut panjang," sahut wanita, yang memang sepertinya Mamanya pria gagah itu.
Pria gagah itu pun mendengkus kesal. Seraya menurunkan kepalan tangannya, menuruti mau sang Mama.
"Saya akan laporkan kalian ke polisi!"
Namun sayangnya, ternyata Pak Joko masih ingin memancing keributan pada dua orang kota ini.
"Sean!" larang Mamanya, saat melihat anaknya bersiap menghajar Pak Joko lagi. "Biar Mama aja," bujuknya kemudian, sebelum mengalihkan atensi pada Pak Joko.
"Mau lapor? Lapor aja. Saya gak takut. Karena kami juga bisa balik melaporkan anda, atas apa yang anda lakukan pada Ina. Ingat itu!" tantang Mama Sean, dengan gagah berani.
"Ck, itu hanya akan jadi hal sia-sia. Karena apa yang saya lakukan pada Ina. Itu memang sudah ada pada perjanjian hutang ayahnya dulu."
Degh!
Apa?
"Hutang?" Beo wanita itu dan anaknya kompak.
"Bohong!" Sebelum Pak Joko memuntahkan racunnya. ina pun dengan segera berseru membantah semua tuduhan itu.
"Apa? Kamu mau bohong kalau orang tua kamu punya hutang banyak sama saya?" Delik marah Pak Joko pun di tujukan pada Ina.
"Tidak. Untuk hutang Ibu dan Bapak. Saya tidak akan berbohong. Ya! Kami memang punya hutang pada Pak joko. Tapi, untuk perjanjian yang mengatakan bahwa saya harus rela jadi istri muda Pak joko demi tebusan. Itu bohong! Bapak saya tidak mungkin melakukannya! Tolong anda jangan fitnah, ya!" ungkap Ina berusaha menjelaskan detail masalah yang ada.
"Kamu tidak tahu apa-apa Ina. Karena waktu itu kamu sedang terbaring hampir mati. Perjanjian itu hanya antara saya dan ayah kamu saja."
Tidak! Ina tidak mau percaya! Ina yakin ayahnya tidak mungkin setega itu padanya.
"Tapi saya tetap tidak percaya dengan apa yang anda katakan. Karena saya yakin, Bapak saya tidak seperti yang anda tuduhkan. Kalau pun memang ada perjanjian, itu pasti tidak seperti yang ada ucapkan sedari tadi!" tegas Ina bersikukuh.
Namun Pak Joko malah kembali menyeringai penuh kemenangan, seraya melipat tangannya di bawah dada dengan jumawa.
"Kamu harus tahu, Ina. Jika orang terdesak itu bisa menghalalkan segala cara."
"Tapi Bapak saya tidak mungkin melakukan hal itu!" Ina tetap bersikukuh. Menolak percaya pada apapun yang di katakan pak Joko.
Itu tidak mungkin!
Itu tidak mungkin!
Bapaknya bukan orang seperti itu. Buktinya setelah punya hutang, Bapak terus banting tulang demi melunasi hutang mereka. Jadi ....
Pokoknya itu tidak mungkin!
Diam-diam Ina pun menggeram dalam hati, karena kesal luar biasa pada ucapan Pak Joko yang sebenarnya ada benarnya juga.
Orang memang bisa melakukan apapun saat terdesak. Tapi ....
Tuhan, benarkah ini semua?
"Sudahlah, Ina. Percuma menolak juga. Perjanjian sudah di buat dan--"
"Kalau memang perjanjian itu ada. Coba tunjukan pada kami," sela pria gagah itu tiba-tiba. Membuat semua mata terfokus padanya lagi.
"Buat apa? Gak ada urusannya sama kamu!" bantah Pak Joko tak suka.
"Eh, tentu saja ada. Kan saya sudah bilang Ina itu calon menantu saya. Nah, ini adalah anak saya itu. Calon suaminya Ina!"
Hah?! Apa? Jadi benar kalau pria itu adalah pria yang akan menikahinya.
"Saya juga sudah bilang kalau Ina itu adalah calon istri muda saya. Karena dia harus bertanggung jawab melunasi hutang orang tuanya!" geram Pak Joko tak terima.
"Eh, gak bisa gitu. Di mana-mana hutang itu ya di bayar dengan apa yang dihutangnya. Misal mata di bayar mata, nyawa di bayar nyawa. Nah, karena orang tua Ina hutangnya uang, ya berarti hutangnya harus di bayar uang juga. Bukan pernikahan!" Mamanya pria itu menyalak dengan garang.
"Tapi orang tuanya sudah meninggal, dan--"
"Saya sudah bilang akan mencicilnya!" Kali ini Ina ikut bersuara. Dia ingin berjuang sekali lagi membela diri.
"Dengan apa? Kan saya sudah bilang, upah harian kamu di warteg aja, gak cukup buat makan kamu. Bagaimana kamu akan membayar hutang orang tua kamu?" Pak Joko benar-benar meremehkan Ina.
"Saya akan mencari pekerjaan lain selain menjaga warteg."
"Kerja apa? Kamu itu cuma lulusan SD Ina. Gak ada yang bisa dibanggain dari kamu selain wajah. Jadi, daripada kamu buang-buang waktu. Sia-siain masa muda dan kecantikan kamu. Mending kamu jadi istri muda saya saja. Saya jamin kamu pasti akan bahagia dengan limpahan uang dari saya."
"Saya gak--"
"Berapa?" ucap dingin pria gagah itu tiba-tiba menyela ibunya. Sambil menatap Pak joko tajam sekali.
"Apanya?"
"Total hutang gadis itu," ulang pria itu dengan tenang.
"Mau apa kamu tanya-tanya," geram Pak joko tak terima.
"Ck, tinggal sebutin aja, lama. Anda mau di bayar atau tidak hutangnya?" desis Sean dingin. Mampu membuat Pak Joko gelagapan.
"Kenapa? Kamu mau jadi sok--"
"Berapa?!" sentak Sean lagi dengan garang. Membuat Pak joko langsung terlihat menelan salivanya kelat.
"Ba-banyak." Pak Joko pun menjawab dengan terbata.
"Tepatnya?"
"Lebih dari 100jt."
"Te-pat-nya!" ulang Sean dingin tak sabaran, seraya sengaja memberi tekanan pada nada pada setiap penggalan kata-katanya. Juga sambil menatap nyalang Pak Joko. Membuat pria itu makin gelagapan.
"150jt. Dengan bunga bulan ini."
Hah?!
Ina pun langsung terbelalak mendengar total hutang orang tuanya. Karena ... setahu Ina dulu ayahnya cuma pinjam tujuh juta saja untuk operasi usus buntu yang harus Ina laksanakan. Kenapa jadi berkembang sebanyak itu?
Itu pun, setahu Ina sudah dicicil beberapa kali. Kenapa bukannya berkurang malah bertambah? Aneh!
"Saya bayar hutang Ina sekarang juga. Tapi berikan surat itu pada saya," balas Sean masih dengan suara yang dingin.
"Surat apa?" tanya Pak Joko dengan bodoh.
"Tentu saja surat perjanjian hutang hitam di atas putih. Anda punya, kan?" jelas Sean makin galak.
"Itu ... itu ...." Pak Joko malah gelagapan setelahnya.
"Kenapa anda jadi gelagapan? Jangan-jangan ...." Sean seperti sudah tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya. Karena itulah dia makin menekan Pak joko.
"Saya tidak butuh surat apapun dalam memberikan hutang. Karena anak buah saya adalah saksi hidupnya," jawab Pak Joko kemudian dengan berani.
Namun sayangnya, Sean malah menanggapinya dengan seringai miring yang menakutkan.
"Saya akan membawa kasus ini ke tanah hukum. Dengan tuduhan penipuan, pemaksaan, dan pelecehan. Kita lihat berapa lama anda akan mendekam di penjara." Sean pun akhirnya memberikan ancamannya. Membuat pak Joko murka seketika.
"Heh, kamu! Jangan coba-coba mengancam saya, ya? Kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini--"
"Ini kartu nama saya." Sean menyerahkan kartu namanya dengan santai kehadapan Pak Joko. "Silahkan lawan saya kalau anda bisa," imbuhnya lagi dengan sombong.
Meski begitu, anehnya di mata Ina, kesombongan Sean itu malah terlihat keren sekali. Karena Ina sudah terlanjur baper pada aksi Sean yang hero itu.
Sayangnya, rasa baper itu pun harus pupus seketika. Saat akhirnya Sean meliriknya tajam, dan mendesis tajam.
"Merepotkan!"
================================
Iya bener. Ini Sean yang itu. Yang galak tea. Jadi gimana ini sebenarnya? Sean mau nambah istri, begitu?Terus Rara sama Audy kemana?Gimana menurut kalian?*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya ....Sean baru saja mendaratkan diri pada kursi kebesarannya. Saat sang sekretaris menghampiri dan memberinya kabar jika sang Ibu memintanya segera menghubungi, jika sudah selesai meeting.Darurat! Itu katanya. Terang saja, hal itu membuat Sean segera meraih gawainya yang memang diabaikan sejak beberapa jam lalu, karena harus terlibat dalam meeting besar perusahaan yang di pimpin.Masalahnya, sang ibu memberikan istilah tak biasa dalam pesannya pada sang sekretaris. Alih-alih kata 'penting' yang biasa sang Mama gunakan. Kali ini kata 'Darurat' adalah pesan mendesak itu.Karenanya, Sean pun cukup penasaran ingin segera mengetahui pesan darurat apa yang Mamanya sebutkan itu."Hallo, Sean? Akhirnya kamu nelpon Mama Juga!"Mama Sulis menjawab telpon Sean dengan sangat antusias. Membuat alis tebal Sean makin bert
*Happy Reading* Ina hanya bisa menunduk dalam, sambil memainkan ujung kaos lusuhnya saat Mamanya Sean menceritakan kejadian nahas itu. Ternyata, wanita ini yang telah menabrak orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal di tempat, sementara ibunya meninggal saat di perjalanan ke Rumah sakit. Sungguh, mengetahui hal ini, Ina bingung harus benci atau berterima kasih pada kedatangan dua orang ini. Faktanya, mereka yang membuat Ina sekarang sendirian di dunia ini, tapi mereka jugalah yang baru saja menyelamatkan Ina dari kelicikan Pak Joko. Bahkan, mereka juga yang akhirnya mengurus pemakaman orang tuanya, dan semua hal yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, tadi Sean yang galak itu pun malah ikut turun ke liang lahat, saat menurunkan jenasah Ibu dan ayahnya. Itulah kenapa, sekarang Ina Denial sekali mendengar permintaan Mama Sean, aka Nyonya Sulis setela
*Happy Reading* "Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat." Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang. Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena .... "Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu. Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya. "Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti. Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan .... "Baju." Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Ruma
*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading* Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Ina tanyakan pada Mbok Darmi. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Tetapi, wanita tua itu malah pergi begitu saja setelah mengatakan hal tadi, karena harus menyiapkan makan malam sebelum Pak Sean datang. Sumpah demi apapun. Ina benar-benar penasaran sekali pada keluarga ini sekarang. Karena, apa yang barusan Ina dengan benar-benar terasa janggal, dan ... memang Ina juga kan belum kenal betul tentang keluarga ini. Ina baru mengenal mereka satu hari, dan belum tahu apa-apa tentang keluarga ini. Jadi wajarkan, kalau Ina sangat penasaran sekarang. Namun, sebagai orang yang di gadang-gadang akan masuk menjadi anggota keluarga. Ina tentu harus tahu bagaimana keluarga yang akan dia masuki ini, iya kan? Setidaknya, Ina harus tahu sifat-sifat dan masa lalu Pak Sean, yang katanya akan menikahinya. Karena Ina ti
*Happy Reading* "Bibi lagi ngapain? Ina bantu, boleh?" Mbok Darmi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk sarapan pagi itu pun langsung menoleh ke arah Ina, dan terlihat cukup terkejut melihat kehadiran gadis itu di sana. "Loh, Non Ina kok udah bangun? Ini kan masih pagi, Non?" tanya Mbok Darmi kemudian. Ina tak langsung menjawab. Memilih makin mendekat ke arah Mbok Darmi, dan melihat bahan apa saja yang sedang di siapkan oleh orang, yang juga sebagai kepala pembantu di Rumah itu. "Di kampung Ina udah biasa bangun sebelum subuh, Bi. Soalnya harus membantu Ibu Warteg buat masak juga biar dapat uang lebih. Sejak itu malah jadi kebiasaan sampe sekarang." Ina kemudian bercerita dengan riang pada Mbok Darmi. "Oh, begitu ...." Mbok Darmi hanya bergumam menanggapi Ina. "Mbok mau masak apa, sih? Kok banyak banget bahan masakannya?" tanya Ina lagi, setela
*Happy Reading* Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun .... Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini. Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya? Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan? Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih? Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin? Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan. "Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini. "Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya No
*Happy Reading* Bertemu Rara dan Kean? Tentu saja Ina mau! Kebetulan, Ina sudah sangat penasaran pada dua orang itu. Khususnya pada Rara, yang katanya mantan istri Sean. Ina ingin tahu bagaimana rupa Rara itu. Apa secantik istri pertama Sean? Atau malah lebih. Ina benar-benar ingin bertemu Rara. Selain itu, Siapa tahu Ina juga bisa dapat sedikit Info tentang masa lalu mereka? Bukan apa-apa. Jujur saja Ina sebenarnya belum yakin pada pernikahan yang Nyonya Sulis tawarkan untuknya. Ina bukan mau sombong. Atau tak tahu berterima kasih karena sudah di tolong, bahkan diberi tempat tinggal sekarang. Hanya saja, bagaimanapun Ina ini tetaplah seorang wanita biasa, yang punya mimpi seperti wanita pada umumnya. Yaitu ingin menikah sekali seumur hidup. Tidak masalah jika Ina bukan yang pertama. Karena semua orang memang puny