Share

Buku Nikah di Ruang Kerja Suamiku
Buku Nikah di Ruang Kerja Suamiku
Author: Liana Eldi

1

“Bunda…, ini buku apa?”

Tiba-tiba Aleya berteriak dari ruang kerja suamiku, bang Rey.

“Palingan buku kerja Ayah, jangan diganggu, nanti hilang.” Jawabku dari arah dapur yang sedang memasak nasi goreng daging untuk anakku, Aleya. Ia memang suka dengan menu yang satu ini, apalagi kalau ditambah dengan acar sebagai pelengkap.

“Tapi kok ada foto Ayah. Bun?” Suaranya lagi-lagi menghentikan pekerjaanku sejenak yang sedang mengaduk nasi goreng sambil terburu-buru.

“Ya, iyalah Sayang, itu mungkin dokumen berharga, biarkan saja di situ, jangan diganggu!” Sahutku kembali sambil melanjutkan aktivitasku di dapur.

“Bunda! Hanifah itu siapa?” Aleya kembali lagi bertanya padaku.

Lagi, aku kembali menghentikan pekerjaan sejenak. Lalu menoleh ke arah pintu dapur meskipun dari sini tidak bisa kulihat keberadaan Aleya yang justru di ruang kerja ayahnya.

“Mana lah Bunda tau, Nak. Palingan rekan kerja Ayah di kantor.” Jawabku sambil menuangkan nasi goreng yang sudah dimasak ke dalam mangkok lalu meletakkannya di atas meja.

“Bun…, namanya dekat nama Ayah!”

Aleya memang anak yang ingin tau banyak hal, ia akan terus bertanya jika belum puas dengan sesuatu jawaban apalagi yang membuatnya sangat penasaran yang kadang menguji kesabaran.

“Aduh, palingan itu rekan kerja Ayah, Nak. Ayo cepat sini duduk, nasi gorengnya udah siap Bunda bikinin.” Aku mengambil beberapa sendok nasi goreng dan menuangkannya ke dalam piring.

Sesaat kemudian tmpak Aleya bergegas ke luar dari ruang kerja Ayahnya dan berlari menuju ke arahku yang sudah duduk di meja makan menunggu kedatangannya.

“Wah, nasi goreng daging! Acarnya mana, Bun?”

Putriku tampak senang dengan senyum tipis di bibirnya, melihat menu yang kumasakkan pagi ini. Ia langsung naik ke atas kursi dan duduk dengan pandangan dari kedua matanya dengan binar bahagia. Akupun tersenyum tipis melihat ekspresinya yang hampir tertelungkup ke piring yang ada di hadapannya karena ingin mencium aroma khas dari nasi goreng.

“Ini, Tuan Putri.” Sambilku menuangkan dua sendok acar ke dalam piringnya, lalu mencubit pipi gembulnya yang imut.

“Ih, sakit…, Bun.” Ia mengerucutkan bibir dengan gaya manjanya. Aku terkekeh melihat tingkahnya seperti itu.

“Iya, ma’af deh, anak Bunda yang imut.” Aku membelai pipinya dengan lembut.

“Oke, Bunda Sayang.” Senyum manisnya membuatku semakin sayang. Ia anak yang pintar dan juga berbakti. 

Aku terus menatap dan menyaksikan putriku menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa sendok lagi, dan di menit berikutnya nasi goreng yang kuhidangkan berhasil habis ia santap ke dalam mulutnya. Selesai makan Aleya langsung mengambil buku pr nya dan mengerjakan tugas tersebut di ruang belajar.

Untuk beberapa saat aku terdiam karena mengingat dengan pertanyaan putriku beberapa menit yang lalu. Buku, nama Ayah, dan seorang nama wanita. Aku jadi penasaran, betul kah dokumen penting perusahaan? Karena biasanya setiap urusan surat menyurat pasti bang Rey memberitahu dan menceritakannya padaku.

Namun beberapa akhir belakangan ini rasanya tidak ada dokumen yang diperbincangkan padaku, dan perusahaan juga berjalan baik-baik saja. Dengan hati yang sedikit penasaran aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju ruang kerja bang Rey.

“Mbok, tolong bersihkan sisa makanan Aleya yang ada di atas meja, ya!” Aku memanggil mbok Sumi yang sedang bersih-bersih di dapur.

“Iya, Non.” Sahutnya dari arah dapur.

Dengan segera aku memutar kenop pintu ruang kerja bang Rey, lalu berjalan menuju meja kerjanya. Semuanya tampak rapi dan bersih, beberapa onggok dokumen penting tertata seperti biasanya. 

Aku meraih beberapa dokumen itu dan membukanya satu persatu. Namun seperti semula, tidak ada yang mencurigakan. Lalu tatapanku beralih pada sebuah buku yang berwarna merah tua di deretan paling bawah antara sekian banyak dokumen yang sudah kuperiksa tadi. 

Dengan cepat aku menariknya, ternyata cuma buku nikah bang Rey. Aku geleng-geleng sambil tersenyum tipis melihat buku yang sedang kupegang, kenapa bukunya disimpan di ruang kerja bukannya di dalam lemari kamar. 

Selesai mendapatkan buku nikah itu, aku kembali keluar dan menutup pintu ruang kerjanya. Lalu berjalan menuju kamar untuk menyimpan buku tersebut ke dalam lemari tempat buku nikahku. 

“Bun, udah ketemu buku yang Aleya maksud tadi?” Tiba-tiba langkahku terhenti mendengar pertanyaan putri kecilku.

“Biarkan aja lah Sayang, mungkin itu dokumen kerja di kantor.” Terus kulanjutkan berjalan menuju kamar dan membuka lemari untuk menyimpan buku nikah bang Rey.

Dengan memutar kunci lemari, lalu mengambil tumpukan berkas dan surat menyurat penting lainnya yang tersimpan rapi dalam map plastik tebal berwana biru tua. Nyatanya buku nikah itu masih tersimpan rapi seperti semula, tetapi kok ada buku bang Rey juga, terus yang aku bawa dari ruang kerjanya tadi buku siapa? Suaraku membatin. Debaran di dada kian menguat. Aku mulai menaruh rasa curiga dan pikiran kian melayang memikirkan sesuatu yang buruk.

Dengan tangan yang sedikit bergetar aku membuka buku nikah yang dari tadi masih dalam genggamanan. Mata langsung terbelalak dan rasa tidak percaya dengan apa yang aku baca sendiri. Ini adalah buku nikah bang Rey dan jelas dengan fotonya, tanganku bergetar dan jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Beberapa kali aku mencoba untuk istigfar dan mengulang kembali melihat foti di dalam buku itu. Tetapi tidak ada yang berubah, dan bahkan semakin jelas tulisannya di sana.

Kaki tak sanggup lagi berdiri dan getarannya semakin dahsyat, aku bergantung pada sudut ranjang hingga akhirya tubuhku merosot turun ke lantai, seperti tidak percaya dengan semua yang dilihat. Mana mungkin suami yang selama ini kupercaya ternyata telah berkhianat, aku tertipu, aku telah dibohonginya. Air mata tak sanggup lagi dibendung, ia menghujan semakin deras, aku terlalu sakit akan permainan ini.

Bang Rey, suami yang kuanggap setia, nyatanya kini jelas-jelas telah membuatku luka dan kecewa.

Beberapa saat aku hanya menangis sambil terisak, mengingat kembali perjalanan rumah tangga yang telah kami bangun bersama, sembilan tahun, bukan waktu yang singkat. 

Aku percaya dengan suamiku, ia adalah lelaki yag sangat terbuka, tidak ada satupun rahasia yang ia sembunyikan dariku, semuanya akan diceritkan, baik urusan di kantor, keluarga dan bahkan urusan pribadinya ia bisa berbagi hanya sekedar meminta solusi. Namun setelah apa yang barusan terjadi, aku merasa seperti mimpi di siang bolong, lalu terbangun dengan sembaran petir yang menggelegar.

Rahasia yang sangat besar, ia mampu menyembunyikan. Suami pengkhianat, tidak ada sakit yang lebih menyiksaku selama ini selain mendapatkan bukti nikahnya dengan perempuan lain. Sungguh tidak bisa diobat dengan segala pembelaan dan perkataan maaf darinya, dengan tekad yang kuat aku akan menuntut untuk cerai.   

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Deyan Fharasya
baru mulai baca dan seperti y cerita y seru..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status