Share

5

“Bun, sudah dikasih tau sama Ayah tentang fotonya dalam buku itu?” Tiba-tiba Aleya memelukku dari belakang.

“Haa! foto dalam buku?” Bang Rey yang baru keluar kamar mandi langsung kaget mendengar apa yang dibilang putri kecilnya. Namun, ia tetap berusaha untuk menutupi.

“Aduh…!, Bunda lapar nih. Yuk kita makan. Kami tunggu Ayah di meja makan ya, cepat sedikit jangan lama-lama.” Aku pura-pura lapar dan memegang perut, lalu mengajak Aleya ke luar dari kamar tanpa menjawab pertanyaan suamiku.

Semua itu kulakukan agar ia tidak curiga tentang buku nikah yang kutemukan di ruang kerjanya. Aku tidak ingin itu terjadi, biar saja permainan ini berjalan perlahan tetapi satu per satu aku bisa mengupas kulitnya.

Makan malam begitu terasa hangat, karena Aleya putri kecilku mampu mencairkan suasana. Lebih kurang lima belas menit kami hanya menyantap masakan yang sudah kuhidangkan dengan lengkap yang juga dibantu mbok Sumi. Ikan nila gulai kuning adalah masakan kesukaan bang Rey. Benar saja lelaki itu memakan dengan sangat lahap, bahkan ia sampai nambah dua kali.

Aku yang menyaksikan semua itu hanya terperangah dan nasi yang ada di piringku tidak habis masuk ke dalam mulut, karena melihatnya makan sudah membuatku kenyang. Sesekali Aleya juga mengejek ayahnya dan canda tawa antara ayah dan anak itu begitu hangat.

Selesai makan, aku segera membereskan sisa makanan di atas meja, lalu membawa piring dan juga gelas kotor ke dapur dan meletakkannya di dalam westafel. Mbok Sumi yang juga ikut membantu pekerjaanku. Karena ia kelihatan sedikit capek, maka wanita paruh baya itu kusuruh untuk istirahat aja di kamar. Alih-alih pekerjaan di dapur aku yang akan menyelesaikannya. Semua piring dan juga gelas kotor kucuci bersih, lalu menyusunnya di atas rak. Tidak lupa bekas kuali untuk memanaskan lauk juga sudah kucuci dan digantung pada tempatnya.

Hari semakin larut, kulihat bang Rey memasuki ruang kerjanya. Mungkin ia akan mengerjakan sesuatu, lalu kupanaskan air dan membuatkan secangkir kopi untuknya. Aku berjalan perlahan sambil membawa secangkir kopi menuju ruang kerjanya, seketika hendak memutar kenop pintu tanganku tiba-tiba terhenti mendengar bang Rey yang sedang berbicara dengan seseorang.

Hampir lima menit aku hanya berdiri mematung di depan pintu mendengarkan semua percakapan bang Rey dengan seseorang. Benar saja, ia sedang menelpon istrinya, terdengan ia memberitahu bahwa sudah sampai di rumah dengan selamat dan baru selesai makan malam yang di hidangkan oleh Hanum.

Lelaki itu bahkan tidak segan menyebut namaku pada istrinya, malah ia memuji-muji aku dan juga istrinya itu. Tetapi kenapa istrinya tidak marah setelah mendengar apa yang barusan diucapkan bang Rey. Malah mereka kelihatan bahagia dengan tawa kecil yang keluar dari mulut suamiku. Aku jadi penasaran dengan permainan mereka, wanita jenis apa maduku itu? Tidak mempunyai rasa cemburukah dia? Karena setiap istri tidak akan mau di banding-bandingkan atau disamakan dengan siapa pun. ini bukannya marah, tetapi malah ketawa. Memang aneh!

Semakin banyak pertanyaan yang melintas dikepalaku, maka semakin banyak cara dan perangkap yang akan kutahan. Lihat saja, siapa jadinya yang akan tersiksa dengan permainan murahan ini!

Aku tidak akan mencemaskan jika nanti sudah menjanda, karena putri kecilku akan tetap bersamaku, saat ini cuma ia satu-satunya alasan untukku tetap kuat. Aku harus bisa membuktikan kejahatan ayahnya pada kami. Dengan begitu tanpa perlu dipaksa Aleya pasti akan jatuh pada pelukanku.

Langkah selanjutnya kupastikan bang Rey akan segera keluar dari perusahaan, dan selamat untuk menjalani hari-hari penuh bahagia dengan istri yang sangat ia cintai itu. Palingan seragam lamanya akan segera terpakai kembali, yaitu sebagai supir.

Aku pura-pura mengetuk pintu sebagai tanda untukku diizinkan masuk, lalu kuputar kenop pintu dan berjalan kedalam ruangannya.

“Ada pekerjaan ya, Bang?” Tanyaku pura-pura, lalu meletakkan secangkir kopi di depannya.

“Iya, Bun. Tadi papa nelpon suruh menyelesaikan berkas ini untuk besok pagi di bawa ke kantor.” Sambil ia melihatkan beberapa berkas yang memang kelihatannya belum siap.

“Oh, begitu. Baik lah Hanum ke kamar duluan ya.”

“Oke, Bun.”

Aku kembali berjalan ke luar kamar, lalu seketika langkahku terhenti di kamar Aleya.Dengan pelan kuputar kenop pintu dan melihat ke arah ranjangnya. Benar saja, ia sudah tertidur pulas sambil memeluk boneka hello kittynya.

Kutarik selimut yang masih berada di bawah kakinya, lalu menyelimuti tubuh mungil itu yang kelihatannya sedikit kedinginan. Ingin rasanya aku berbagi cerita padanya, mengadu dan meminta saran atau sekedar pendapatnya saja, tetapi dengan umurnya yang masih anak-anak maka itu tidak akan mungkin, aku tidak bisa mengajak putriku ikut serta dalam masalah ini.

Aku mungkin bisa menata hidup dengan membuka lembaran baru setelah berpisah dengan bang Rey nantinya. Namun, yang tidak bisa dibayangkan adalah ia akan tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ayah, sedangkan anak seumurannya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya.

Jika seandainya itu terjadi, maka aku akan terlebih dahulu mengatakan agar ia bisa memahami semua keadaan. Aleya anak yang baik, pasti ia bisa menerima semua pernyataan yang akan kujelaskan padanya. Meskipun tidak mudah, dan pastinya memerlukan waktu. Namun, aku akan tetap berusaha meyakinkan Aleya kalau hidup kami akan baik-baik saja jika berdua tanpa hadirnya sang ayah ataupun suami.

“Bunda di sini? Pantasan Ayah cari di kamar nggak ada.” Tiba-tiba bang Rey berdiri di depan pintu kamar Aleya dengan melipat kedua tangan di depan dada.

“Iya, Yah. Sengaja mau liat Aleya dulu apa udah tidur atau belum.” Sambilku mengusap pipi gembul putriku dengan mata yang berkaca-kaca tetapi cepat kutepis agar benda bening itu tidak jauh membasahi pipi.

Bang Rey menarik tanganku, lalu menuntunnya ke kamar, aku tau apa maksudnya. Jika ditanya pada hatiku, maka tidak sudi lagi untuk tidur satu ranjang dengannya. Namun jika tidak kuturuti, maka sama saja aku menjadi istri yang durhaka, akhirnya antara ikhlas dan terpaksa tetap kujalani kewajiban sebagai seorang istri.

Ia tetap bersikap seperti pada malam-malam sebelumnya. Lelaki itu sangat pandai menguasaiku. Ciumannya begitu intens, ia mengambil tanpa memaksa, merayu dengan segenap sentuhannya. Malam ini seperti malam pertamaku dengannya. Setiap hakku, ia berikan dengan sangat indah dan takkan pernah terlupakan.

Namun setelah sembilan tahun hidup dan mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, sekarang baru aku tahu ia tidak tulus mencintaiku, semua yang dilakukannya padaku hanya sebagai balas budi bukan cinta yang suci. Hatiku sangat sakit, batinku tersiksa dan seketika aku ingin meronta!

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Deyan Fharasya
kpn up lgi thor cerita y.. ??
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
mana lanjutnya thor
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status