Share

4

“Bang, kok buku nikahnya ditinggal di ruang kerja?” Tanyaku sambil mengambil pakaian kotor yang ada di dalam koper suamiku.

“Bukannya Sayang yang menyimpan dalam lemari?”

Sayang? Ia masih memanggilku dengan sebutan itu. Terdengar sangan menjijikkan di telangku, lebih baik nggak usah manggil sayang lagi, mungkin hatiku tidak sepedih ini.

“Lupa juga Han, Bang. Soalnya tadi siang Aleya menemukan buku ini di ruang kerja Abang.” Sambilku mengambil buku itu dan memberikannya ke tangan bang Rey. Aku terus berpura-pura tidak ingat dengan buku nikahnya yang sudah kusimpan rapi di dalam lemari.

“Oh, iya, Abang lupa. Kan buku nikah pegangan suami biasanya memang Abang yang nyimpan sendiri.” Walaupun terlihat dengan wajah yang gugup, tetapi lelaki yang berada di depanku terus mencoba untuk membuat suasana tidak tegang.

“Oke, kalau begitu mandi lah dulu, Han tunggu di meja makan. Semua ganti baju Abang sudah ada di atas ranjang.” Sambilku tersenyum tipis padanya.

Ketika hendak berjalan menuju ke luar kamar, tiba-tiba bang Rey memanggilku dan seketika kupalingkan wajah dan menatapanya yang masih berdiri di sudut ranjang.

“Sayang! Kamu buka buku nikah Abang atau nggak?” Sambil bang Rey melihat buku itu yang berada dalam genggamannya.

“Malas liatnya, Bang. Karena foto Abang sangat jelek di situ, hehe.”

“Alhamdulillah.” Sontak ia langsung mengurut dada.

“Dibilang jelek kok malah bersyukur sih, Bang?” Tanyaku pura-pura penuh penasaran.

“Eh, anu. Maksudnya itu adalah ungkapan kebahagiaan Abang bisa menikahi wanita cantik, yang baik hati. Sedangkan sampai sekarang Abang merasa masih mimpi dengan apa yang sudah terjadi. Supir pribadi menikah dengan putri tunggal papa Sudarso Prasetio.”

***

Bang Rey bekerja sebagai supir pribadi papa sebelum kami resmi menikah. Pernikahan yang bisa dibilang dengan bayar hutang, karena jasa papa pada keluarga bu Lasmi mertuaku, membuat lelaki itu menikahi aku.

Tanpa ucapan dan surat, ia seperti di telan bumi. Hatiku terasa di sayat sembilu, sakit! Dikhianati oleh orang yang sangat kucintai.

Lelaki itu adalah cinta pertamaku, kami menjalin hubungan sejak masih di bangku kuliah, aku tidak menyangka ia sepengecut itu, karena yang kutahu lelaki itu sangat bertanggung jawab. Namun kenapa di saat hari penting dan ingin memulai hidup bersama ia malah pergi, sembilan tahun yang lalu, selama itu juga aku tidak lagi mendengar kabarnya.

Semua surat undangan sudah tersebar ke keluarga besar dan juga tamu-tamu terhormat papa dari luar kota dan juga luar negeri, sedangkan calon suamiku pergi tanpa meninggalkan jejak. Ia pergi tujuh hari sebelum acara pernikahan di gelar, papa sangat panik dan stress dengan apa yang sudah terjadi, sedangkan aku lebih melilih untuk berkurung diri dan menangis di kamar, entah berapa ribu kali aku terus menghubungi nomornya, berkirim lewat sms, email, surat kabar dan juga twitter, semuanya mustahil, tidak ada satupun yang ia respon.

Dengan pikiran yang berkecamuk, aku langsung terserang penyakit yang tidak bisa digambarkan pada saat itu. Sakit…! dan teramat berat beban yang kurasakan, sampai papa memanggil dokter pribadi untuk membuatku tetap bertahan.

Di sinilah sosok bang Rey hadir, ia solah bisa membuatku kembali bangkit. Ia menemani hari-hariku dalam kesakitan. Aku mulai terhanyut dengan sikapnya yang selalu menenangkan, tidak lupa bang Rey selalu mengingatkanku dengan Tuhan, mengajarkanku untuk lebih dekat pada Sang Pencipta agar semua yang terjadi adlah takdir dari-Nya.

Malam itu, sehari sebelum acara pernikahanku di gelar, semua keluarga berkumpul. Papa terlihat sangat tertekan, sedangkan mama mencoba untuk menenangkannya. Aku hanya bisa diam dan terbaring lemah di atas ranjang.

“Mau tidak mau kita harus mengatakan yang sebenarnya pada mereka, Pa.”

“Tidak! itu sama saja mencoreng nama baik keluarga besar kita.” Papa langsung bangkit dari duduknya dan berjalan memikirkan sebuah ide.

Lelaki berkumis tipis itu terus mondar-mandir di depanku dan mama.

“Ma’af sebelumnya kalau saya lancang berbicara. Saya bersedia menikahi Non Hanum, Pak!” Lelaki yang tengah berdiri di depan pintu itu berhasil mengalihkan pandangan papa padanya.

Jantungku tiba-tiba berdesir mendengar apa yang barusan diucapkannya. Menikahi aku? Apa kah ini tidak salah dengar? Siapa yang tidak suka dengan lelaki seperti bang Rey. Sikapnya yang baik dan mampu menenangkan, selain itu ia adalah lelaki yang menyayangi keluarganya terutama ibunya.

Aku pernah mendengar sebuah ungkapan, jika ingin mendapatkan suami yang baik maka lihatlah perlakuan lelaki itu pada ibunya, jika ia bisa menghormati wanita yang melahirkannya, maka ia pasti bisa memuliakan istrinya.

Papa terus melanjutkan langkahnya menuju supir kesayangannya itu. Bagaimana tidak, papa menganggap bang Rey seperti keluarga sendiri. Entah berapa banyak bantuan yang sudah diberikan papa pada keluarga lelaki itu. Ia memang hidup jauh dari kata berada, ibunya yang juga sakit-sakitan membuat hati papa terketuk untuk membantu keluarganya, sampai biaya operasinya papa yang menanggung.

“Maksud kamu apa, Rey?”

“Jika tidak ada lagi solusi yang lain, dan supaya keluarga Bapak tidak menanggung malu atas batalnya pernikahan non Hanum, maka dengan ikhlas saya mau menikahi putri Bapak.” Lelaki bermata sipit itu tertunduk sebagai rasa hormatnya pada papa.

“Ka-kamu serius Rey?” Papa memegang kedua bahu lelaki itu.

“InsyaAllah, Pak. Ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebaikan Bapak untuk menyelamatkan nyawa ibu Saya.” Bang Rey mengalihkan pandangannya padaku.

Tidak bisa kugambarkan perasaan pada saat lelaki itu meminangku di depan mama dan papa. Ibu bang Rey, bu Lasmi yang juga berdiri di samping anaknya langsung membuka cincin yang melingkar di jari manisnya. Wanita yang memakai jilbab hitam itu lalu berjalan mendekatiku dan memasangkan cincinnya di jemariku.

Pernikahan pun berjalan sesuai dengan kehendak papa, lelaki paruh baya itu terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini. Entah apa yang membuatnya begitu semeringah, padahal ia tau sendiri anak tunggalnya menikah dengan seorang supir.

Di awal-awal pernikahanku dengan bang Rey, ada sedikit yang membuatku merasa canggung, mungkin karena aku tidak mengenalnya terlalu dalam. Namun entah sejak kapan, aku semakin jatuh hati padanya. Ia mampu membuat sikapku berubah, karena kesholehannya.

Setiap waktu selalu ia bimbing aku ke jalan yang baik. Sejak saat itu aku mencoba untuk hijrah, mulai mendekatkan diri pada Sang Pencipta, dan menutup aurat dengan jilbab juga gamis. Mungkin karena kesholehannya, membuat papa begitu merestui pernikahan ini.

“Bun, sudah dikasih tau sama Ayah tentang fotonya dalam buku itu?” Tiba-tiba Aleya memelukku dari belakang.

“Haa! foto dalam buku?” Bang Rey yang baru saja keluar kamar mandi langsung kaget mendengar apa yang dibilang putri kecilnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status