Share

Bab 4 : Beasiswa

Terbit matahari menyapaku di sabtu pagi. Tubuhku yang setengah sadar langsung panik menyadari matahari telah sepenggalan naik. Aku bergegas melaksanakan subuh dan dhuha. Selesai itu, aku memutuskan untuk olahraga pagi, mengingat matahari belum terik meski telah naik.

Kala aku berjalan keluar dari kos, aku melihat Kak Yahya duduk menulis di teras depan seperti kemarin. Kali ini dia tampak sangat serius, yang membuatku ragu untuk menyapanya. Aku memutuskan untuk berlalu.

“Apakah paduka tidak marah?” kalimat tanya itu keluar dari mulutnya kala aku menaiki motor. Eh? Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan?

“Apakah paduka tidak marah?” kalimat itu dia ulangi. Apa karena aku tidak menyapanya?

“Pagi… Yahya,” sapaku mencoba menghindari kata ‘Kak’ seperti pintanya. Sebuah senyuman tipis aku lihat terbentuk di wajahnya, yang dia hilangkan secepat dia membentuknya.

“Olahraga pagi?” tanyanya. Aku anggukkan kepalaku. Dia hanya menghela nafas lalu kembali menulis.

“Jagalah dirimu wahai gadis, jangan terjebak dalam kegelapan yang dihempaskan padamu,” pesannya. Apakah itu sebuah pesan kekhawatiran?

“Tenang... Yahya, aku bisa menjaga diriku,” balasku dengan senyuman.

“Aku tidak mengkhawatirkanmu,” belanya datar. Kalimat tadi sepertinya ingin mengatakan sebaliknya, namun aku abaikan. Aku hanya memberikan senyumanku sementara aku mengeluarkan motorku menuju fasilitas olahraga, atau disebut dengan singkatan fasor, kampus.

Saat aku di jalan menuju fasor, sempat terpikir di benakku. Kos itu punya 9 kamar, tetapi hanya Kak Yahya yang aku temukan setelah tiga minggu aku tinggal di sana. Apakah kos itu tidak laku atau bagaimana ya? Apa karena posisinya yang kurang strategis?

Akhirnya, aku tiba di fasor dan mulai mengelilingi lapangan dengan lari kecil. Sekitar empat puluh menit aku lewati di sana, hingga peluh keringat memenuhi tubuhku di balik pakaian olahragaku. Fasor pada hari ini cukup ramai, namun tidak terlalu ramai. Sayangnya, tidak ada satupun wajah yang ku kenal ada di sini.

“Aku masih tidak yakin itu benar Shadox yang aku temui,” gumamku seraya beranjak ke motor setelah olahraga. Rencananya, aku akan mandi di kos setelah keringat ini hilang. Selama di perjalanan, aku memikirkan apakah benar Shadox yang di situs kepenulisan adalah Shadox yang menjadi asisten praktikumku.

Saat aku tiba, aku melihat Shadox masih di depan teras, namun kali ini dengan laptop di pangkuannya. Ketikan beruntun dapat aku dengar. Apakah benar-

“Assalamu’alaikum,” sapanya melihat kedatanganku.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku. Dengan rasa penasaran yang membludak dalam benakku, aku mendekatinya.

“Menulis cerita?” tanyaku.

“Hanya menuangkan pena dalam kisah. Caraku berbagi suka dan duka di muka bumi Tuhan,” jawabnya. Kali ini, kalimat itu meyakinkanku bahwa dia adalah Shadox sang penulis itu. Bagaimana tidak, bionya sendiri menulis itu.

Hanya menuangkan pena dalam kisah. Caraku berbagi suka dan duka di muka bumi Tuhan. Tiap lembar yang dihambur melepas dahaga yang memusnahkan.

“Hanya menuangkan pena dalam kisah. Caraku berbagi suka dan duka di muka bumi Tuhan. Tiap lembar yang dihambur melepas dahaga yang memusnahkan,” ucapku di hadapannya, melafalkan tulisan yang ada di akunnya selama ini. Dia tampak sedikit terkejut.

“Shadox, penulis terkenal yang identitas aslinya masih misteri kan?” tanyaku langsung. Dia hanya diam, sebelum terkekeh kecil. Apakah ini lucu baginya?

“Tidak ada tempat fiksi dalam kenyataan,” jawabnya. Dia seperti berkilah, namun tidak membantah bahwasanya dia adalah Shadox. Satu titik airmata jatuh dari sisi kanan matanya.

“Kenapa kamu sangat tersembunyi?” tanyaku tajam. Dia melihat ke sekitar, namun daerah kos ini memang tidak terlalu ramai di pagi hari, mengingat tidak strategisnya tempat ini. Aku melihat Kak Yahya lalu menghela nafas.

“Biarkan jiwa ini bernafas dalam diam,” jawabnya. Jujur saja, kalau bukan karena respon dia yang sepertinya tidak suka karena ketahuan, aku ingin sekali membagikan ini ke story ig ku sekarang. Pasti menyenangkan dong bilang ke dunia ‘aku menemukan Shadox’, yang para penggemar berebut untuk menemukannya.

“Aku berkenan membiarkan, selama paduka berkenan menjawab tanya hamba,” jawabku. Dia tersenyum tipis, seakan berterima kasih.

“Apakah penting hamba tahu luka paduka? Tidak jiwa ini berkenan menyayat rapuhnya hati gadis dikau,” tanyanya. Luka? Aku memutuskan untuk memberikan dia kebebasan memilih.

“Tidak pantas hamba memaksa. Selayak paduka perkenan saja,” jawabku. Dia tersenyum.

“Haturkan pujian kasih kepada gadis,” balasnya. Wajahnya kembali datar sebelum melanjutkan, “perkenan satu tersampaikan, bahwasanya paduka ingin tak terlihat.”

“Terlepas dari segala, membentuk kenyataan sendiri,” jawabku. Dia terkekeh.

“Apakah karya itu sangat menarikmu?” tanyanya.

“Bagaimana aku bisa tak tertarik? Kisah kehidupan yang dibalut sastra yang kental. Paduka alasan hamba melihat teknologi dalam cahaya lain,” jawabku tersenyum. Dia menghembuskan nafas ke atas, seakan sebuah beban lepas dari benaknya.

“Tuan Azhar, cahaya dikau telah saya luaskan dalam badai,” ucapnya dengan santai. Apakah dia merasa senang? Siapa Tuan Azhar yang dia maksud?

“Saya pamit dulu. Rehat menanti,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya.

“Tuan Soul, abdimu kala dulu telah membawa hamba kepada cahaya ini, terima kasih,” ucapnya kepada dirinya sendiri bersamaan dengan aku pergi ke kamarku. Aku mengabaikan kalimat itu dan kembali ke kamarku.

Saat di kamar, aku mandi dan berganti pakaian, lalu membaca pesan di grup angkatan. Ada beberapa hal baru mereka ributkan lagi entah kenapa.

‘Oh ya, aku iseng ketemu nama asisten yang mati itu lho.’

‘Emang penting? Lu bahas itu dihadapan duo asisten auto mampus nilaimu.’

‘Itu juga ga boleh disebut sembarangan di FTEI, yang ada lu diabisin.’

‘Emang sesakral itu nama orangnya?’

‘Cari aja website Jurnal Seorang Teknologik milik pemilik perusahaan Azhar EduTech. Tau lah siapa. Di sana dia nulis nama temannya itu adalah nama penting FTEI. Sembarangan ngomong bisa diamuk sama warga satu FTEI.’

‘Heh, sebegitunya? Kek gelar aja.’

‘Kalau bukan karena aturan akademik, mau dianugerahi sarjana kehormatan tuh orang. Dia aja jadi patokan hima-hima sekampus.’

‘HEEEH.’

‘Eh? Beneran? Ada yang gituan?’

‘Ini masih gak caya sih kalo orang bisa sebanyak ini kontribusi. Ingat gak tuh kahima ngomong pas ospek?’

‘Yang “Jangan kagum kepada saya atau Mas Kabem. Prestasi saya tidak seberapa dibanding pahlawan FTEI.” Itu kan?’

‘Iyo.’

‘Sumpah. Kabem aja lho tracknya udh banyak bener.’

‘Penasaran tuh orang kontribusi apa pada masanya.’

‘Jujur ya, aku rasa ada dramatisir itu.’

‘Aku sih mikir gitu, tapi karena kita gak tau prestasi dia, kita gak bisa simpulin.’

‘Aku iseng tanya sepupuku yang sudah lulus, tau reaksinya?’

‘Apaan? Bagi-bagi dong.’

[Foto]

‘HEH, jangan sembarangan ngomong nama itu.’

‘Nama asli atau alias, gabisa diomongin sembarangan namanya. Angkatanku menghargai kontribusi besar dia.’

‘Maaf Mba Kay

‘Maaf-maaf. Enak amat sih ngomong nama itu kayak gak tau ceritanya. Katanya maba FTEI. Jangan ngomong nama itu sembarangan lagi. Dia angkatanku.’

‘Kalo mau tau dia ngapain aja nanti aku kasih listnya. Cuma mau bilang aja, banyak temanku yang skripsinya dapat judul gara-gara dia. Tuh yang lulus setelahku juga banyak turunan TA kami, jadi ya simpulin aja. Skripsi model pengabdian masyarakat di fakultas kita juga dibuka gara-gara dia.’

‘Bahkan tuh startup edugame yang femes itu juga awalnya dari dia. Jadi tuh bisa dibayangin ukuran keuntungan ekonomi ke negeri kita. Dia gak tau mungkin setelahnya wafat, tapi kami ingin legacy dia kejaga. Jaga hormatmu ya!’

Membaca chat dari sepupu temanku itu membuatku berpikir. Emang ada orang seperti itu? Bagaimana bisa sampai sebegitu dia dihormati sama teman seangkatannya. Bukannya asisten killer? Aku kembali membaca chat.

‘Oke, tapi kan bukan dia yang menemukan tuh startup. Bukannya pendirinya lulusan universitas Belanda?’

‘Katanya dari dia sih. Penasaran tuh orang sebenarnya bagaimana.’

‘Aku lagi baca jurnalnya tuh. Asyik cerita-ceritanya sih. Cuma aku nemu nih satu yang menarik.’

[Foto]

“Kalau kami bekerja sangat keras, mungkin aku bilang dia bekerja terlalu keras. Dia mencoba membuka sebanyak mungkin gerbang baru, untuk dirinya dan orang tersayangnya. Tanpa dia sadari, dia membuka gerbang untuk kami semua yang dulu hanya membicarakan dia dari lini samping. Kami merasa bersalah dan sangat kehilangan, sampai detik ini.”

“Mungkin akan berakhir saat tidak ada lagi sisa dari angkatan kami di kampus, tetapi selama masih belum semua lepas dari FTEI, selama itu kami tidak akan membiarkan satu mulut sembarang menyebut namanya.”

“Kenapa Tuhan selalu merampas jiwa-jiwa baik terlebih dahulu? Istirahatlah dengan tenang, Hamid Karim/Soul_M_Vermillion.”

Sebegitunya angkatannya menghormati dia. Bagaimana dia bisa mendapat sebegitu penghormatan? Tunggu. Soul_M_Vermillion? Nama lab?

“Soul…,” gumamku, “apakah mungkin?” lanjutku pelan. Jika benar, maka Kak Yahya mengenali orang itu. Aku penasaran, apa sebenarnya kontribusi dia?

Aku memutuskan untuk menutup ponselku. Berbaring sejenak seraya mengenang masa ospek, mungkin ada jawaban yang tidak aku ketahui.

FTEI adalah fakultas dengan jaringan kontribusi sosial masyarakat terluas di seluruh Indonesia, dan menjadikan kampus kita sebagai kampus percontohan dalam pengabdian. Maka dari itu, sosial masyarakat adalah departemen kebanggaan FTEI dan dedikasi penuh dituntut dalam departemen ini. Kami adalah pelopor pemotongan birokrasi rumit di tingkat kampus untuk mengabdi pada masyarakat, yang menjadi acuan kampus-kampus lain.”

Kalimat penjelasan saat BEM FTEI memberikan kuliah di ospek terngiang di kepalaku. Jaringan terluas ya… hmm…

Apa yang membuat FTEI kampus ini berbeda dari kampus lain, maupun dengan fakultas lain? Kami adalah fakultas dengan beasiswa terbanyak di seluruh Indonesia. Ada ratusan beasiswa berbeda yang bisa didapatkan oleh semua mahasiswa, baik baru maupun senior. Kami juga menyediakan beasiswa riset dan beasiswa pengabdian. Kami adalah fakultas perdana yang memberlakukan multi-sistem kelulusan kredit semester, yang memberikan beberapa opsi bagi seluruh mahasiswa FTEI dalam melakukan kuliah. Apakah 8 semester di kampus, 5 semester kampus tambah 3 semester pengabdian, atau 5 semester kampus tambah 3 semester riset.”

Oh ya, beasiswa. Aku baru ingat, aku belum mengurus hal itu. Aku sebaiknya memeriksa apakah ada beasiswa yang memenuhi syaratku. Aku perlu untuk mengurangi beban orang tuaku yang kesulitan untuk kuliahku. Segera aku buka sistem terpusat kampus. Dalam daftar beasiswa, setelah memasukkan semua pengaturan, hanya 4 yang bisa ku pilih.

[Beasiswa Eye of the Beholder – Azhar Education Technologies]

[Beasiswa Laskar Mimpi – Persatuan FTEI]

[Beasiswa Noir – Hasna Augmented Technologies]

[Beasiswa Phalanx – Arrow X Solutions]

Berada di UKT tengah sangat menyakitkan. UKT adalah uang kuliah yang harus dibayarkan setiap semester. Kepanjangannya Uang Kuliah Tunggal. Setidaknya, posisiku lebih baik dibanding UKT atas yang kata Alsya hanya ada 2 beasiswa, yaitu yang pertama dan kedua di daftarku. Aku segera melihat data dari setiap beasiswa.

Beasiswa full UKT dengan saku terbesar tanpa pelatihan adalah Phalanx, namun persyaratannya sangat susah. Noir menjamin UKT, tetapi uang sakunya sangat sedikit. Laskar Mimpi tidak memberi uang saku namun dapat ikut acara-acara alumni. Eye of the Beholder memiliki banyak pelatihan dengan uang saku yang lebih besar daripada Phalanx, namun ada kewajiban kerja di perusahaan setelah lulus selama 5 tahun. Uniknya, Eye of the Beholder tidak ada syarat IP.

Aku menimang opsi yang ku miliki. Ponsel milikku segera aku pakai untuk menghubungi orang tuaku di kampung.

“Assalamu’alaikum ayah,” ucapku saat jaringan tersambung ke seberang.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ayahku dengan suaranya yang sudah senja. Aku langsung menjelaskan tentang beasiswa yang bisa ku ambil.

“Ada empat pilihan ya… ayah jujur cukup terkejut. Ayah kira akan lebih sulit mencari beasiswa untukmu. Apapun pilihan Zihan, ayah dukung kok,” jawab ayahku yang membuatku tersenyum, namun tidak menutup rasa ragu memilihku.

“Zihan ragu, Ayah. Gak tau mau mengambil yang mana,” balasku jujur. Ayahku tidak menjawab untuk beberapa lama, sepertinya beliau ikut berpikir.

“Kuliah bagaimana? Apakah sibuk?” tanya ayahku.

“Hanya tiga hari saja ayah, tetapi ada praktikum yang cukup menguras waktu,” jawabku. Ayahku tampak berpikir.

“Saran ayah ambil Palangs dulu, kalau gak dapat coba Noir,” saran ayahku. Aku menganggukkan kepalaku.

“Baik ayah, terima kasih sarannya,” jawabku. Aku dan ayah lalu bercakap tentang bagaimana tiga minggu di perkuliahan ini, dan ku ceritakan semua, dari kuliah hingga praktikum dan hidup di kos, kecuali tentang pertemuan dengan Kak Yahya.

“Asistennya susah ya? Zihan, ayah mungkin tidak mengerti teknologi tetapi ayah berharap kamu sukses selalu,” ucap ayahku. Aku mengamini kalimat beliau.

“Makasih ayah. Titip salam buat ibu,” ucapku sebelum memberi salam penutup.

Selanjutnya, aku mengurus berkas untuk pendaftaran beasiswa Phalanx. Nama yang aneh menurutku, tetapi penjelasan beasiswanya membuatku cukup tertarik.

“Terima kasih telah memilih beasiswa Phalanx. Kami akan evaluasi berkas anda dalam waktu lima hari kerja. Silahkan kirim email ke perusahaan jika tidak mendapatkan jawaban sampai waktu tersebut.”

Uang Kuliah Tunggal untuk setiap semesterku adalah 10 juta, golongan V. Golongan tertinggi di kampusku adalah golongan X dengan nilai 20 juta. Khusus FK, Fakultas Kedokteran, punya konfigurasi golongan yang berbeda dengan golongan tertinggi mencapai 60 juta.

Masalahnya, gaji ayahku per bulan adalah 9 juta, sementara ibu penghasilan tidak menentukan dengan kisaran 1 sampai 2 juta per bulan, dan aku masukkan 1 juta per bulan di sistem, tapi tetap golongan V. Itulah mengapa aku sangat perlu beasiswa. Rencananya, aku juga ingin mengajukan banding UKT ke kampus semester depan untuk perpotongan jika tidak dapat beasiswa penuh.

Setidaknya, fasilitas yang diberikan kampus dapat dikatakan sangat bagus di fakultasku. Ada banyak kantin dengan sistem yang sangat terintegrasi. Pengurusan beasiswa yang mudah dan dibantu kampus. Banyak tempat untuk mengakses wifi gratis. Akses ke banyak jurnal penelitian. Belum lagi, setiap mahasiswa mendapat akses premium ke berbagai software perkuliahan, dimana kalau di kampus lain belum tentu kami dapatkan sebaik ini.

Sebuah pesan masuk di grup Trio Bebek.

Alsya: AKU DITERIMA KE TAHAP WAWANCARA GAES!

Riris: Beasiswa?

Alsya: Iya! Alhamdulillah ya Allah! Aku gak tau gimana kalo ga dapat, 20 jt ukt nya gila! Gaes! Makan siang kuy! Aku traktirin!

[Alsya mengirim lokasi]

Zihan: WAH! SELAMAT SYA!

Alsya: MAKASIH ZIZIK!

Zihan: HEH!

Riris: Udah udah, aku masih nunggu dari Noir.

Zihan: Aku nyoba Phalanx.

Riris: Syaratnya gila oi! Masa IP wajib diatas 3.5 buat Phalanx biar bisa lanjut? Semester tua juga wajib jalur riset lagi.

Zihan: Seenggaknya nilai SMA ku bisa bantu satu semester.

Riris: Iya sih, situ yang tiga besar sekolah sekaligus UN Kota mah enak.

Zihan: Heh, aku belajar mati-matian itu!

Alsya: Zihan paling IP 4 terus nanti mah.

Zihan: Aamiin. Moga kalian juga.

Riris: Aamiin.

Alsya: Aamiin.

Aku menutup ponselku, bersamaan dengan zuhur tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status