“Lu kemana aja, Bro?”
“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.
“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.
“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.
“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.
David menyisir rambutnya perlahan setelah mengaplikasikan gel rambut sebesar ibu jari. Sudah pukul enam empat puluh menit. Biasanya ia sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Gara-gara Andra memaksa akhirnya hampir sepanjang malam David menceritakan dengan rinci mengapa ia bisa kembali pada Adelia dan segera akan menikah. Hal itu juga lah yang membuatnya sedikit terlambat bangun. Pemilik rambut ikal berkulit coklat itu masih terlelap karena baru tidur dini hari. Dia lulusan desain grafis yang memilih untuk menjadi pekerja lepas dari pada terikat seperti David. Di jaman serba digital ini kemampuannya banyak dibutuhkan. Ia terbiasa mengerjakan suatu projek sampai melupakan tidur namun ia akan tidur seharian bila projeknya telah selesai. Dari luar Andra tampak begitu tak teratur. Namun sesunguhnya ia adalah lelaki paling terjadwal yang dikenal David. “Bro ... bangun bentar!” David menyentuh ujung jari kaki Andra dengan kakinya yang sudah bersepatu. Andra menggeliat mereg
David mengemudikan mobilnya memasuki sebuah kompleks perkantoran berlantai empat. Seorang secutiry mengehentikan mobilnya dan menghampiri di sisi kanan mobil. Pria bertubuh tegap itu tampak membawa sebuah tongkat panjang dengan cermin cembung besar di bawahnya. David membuka kaca mobilnya. Pria itu memberikan hormat dan mengucapkan salam. David tak mendengar dengan jelas apa yang pria itu katakan. Tapi David paham bahwa ini adalah pemeriksaan sesuai prosedur komplek perkantoran ini.Security itu kemudian mengelilingi mobil David, memeriksa bagian bawah mobil menggunakan cermin cembung bertangkai itu. Setelah selesai, ia mempersilahkan David untuk masuk ke area parkir melalui lobi gedung. Adelia berkantor di lantai 3. Bekerja full time sebagai Customer Service Relationship di sebuah perusahaan asuransi membuat calon istrinya itu banyak beraktivitas di luar kantor. Bertemu dengan pihak-pihak terkait dari berbagai kalangan. Inilah yang sering dimanfaatkan sepas
Pukul tujuh belas lima menit, David sudah menunggu Adelia di parkiran gedung perkantoran yang tadi siang ia datangi. Para pekerja satu persatu sudah mulai meninggalkan kantor. Beberapa menghampiri pasangannya yang menunggu di parkiran sama seperti David. Ada yang tengah hamil, ada yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya. Sebuah pemandangan yang membangkitkan harapan David akan kejadian masa depan yang mungkin akan dilaluinya bersama Adelia. Dari lobi gedung tampak Adelia keluar sambil membawa tas jinjing dan beberapa berkas dalam map berwarna biru. Ia tampak melambaikan tangan pada rekan kerjanya, lalu melangkah dengan ringan ke arah mobil David. Wajahnya masih segar seperti tadi siang. David menduga sebelum pulang ia merias ulang lagi riasannya. Sama seperti rekan guru David pada umumnya. “Udah lama ya?” ujar Adelia begitu membuka pintu. “Ah, enggak ... paling sepuluh menit,” jawab David sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ini langung ke rumah atau kemana
Pukul dua puluh lewat empat puluh menit David pamit pulang. Pak Ruslan mengingatkan lagi tentang permintaannya menjadikan temu keluarga sekaligus proses lamaran. Bu Ratri dan Adelia mengantarkannya sampai ke teras. Calon ibu mertua David itu mengusap-usap bahu David seolah memberikan dukungan atas sikap dingin suaminya. Sekaligus menguatkan David agar tetap bersedia mendampingi putrinya.Lambaian tangan dan senyuman dua ibu dan anak itu mengakhiri makan malam tak nyaman David bersama calon mertuanya. Bau kerumitan kehidupan rumah tangga dalam hal hubungan dengan keluarga istri sudah tercium sejak dini. Seandainya dulu ia tidak menyerahkan sepenuhnya hal ini pada Adelia, mungkin ceritanya tak akan seperti ini. Mereka berdua seolah melompati sebuah proses untuk melewati proses lain yang lebih berat sebelum mencapai tujuan yang sama.David membelokkan mobilnya ke sebuah minimarket yang sering bersebelahan dengan kompetitornya. Minimarket franchise bermaskot lebah ini menj
[“Assalamualaikum, Bu. Sehat ya, Bu?”] sapa David setelah Laras memberikan sambungan telepon pada Ibunya. [“Wa’alaikumussalam ... Alhamdulillah sehat, Vid.”] [“Begini, Bu ... untuk sabtu ini aku dan Adelia minta ijin gimana kalo langsung lamaran aja, jadi cukup sekali aja Bapak dan Ibu ke sana. Terus kita datang lagi waktu akad,”] David mencoba merangkai kata sesopan mungkin agar Ibunya tak tersinggung. [“Kenapa, Vid? Apa yang terjadi sama Mamanya Adelia?”] suara Bu Maryam terdengar panik. [“Aku nggak tahu persis, Bu. Tapi ini permintaan orang tua Adelia, mungkin takut terjadi apa-apa. Infonya kondisi Mamanya beberapa hari ini kurang stabil.”] David dengan berat hati berbohong pada Ibunya. [“Ooh, kalo kami di sini nurut aja, Vid. Sebenarnya nggak ada istilah temu keluarga di keluarga kita dari dulu. Cuma kemarin kan kalian ke rumah bilangnya mau temu keluarga dulu, ya Bapak Ibu nurut aja. Ibu pikir itu adat keluarganya Adelia,”] terang Bu Mary
Jumat pagi, David bertukar kendaraan dengan Andra sampai siang hari. Andra merencanakan kencan pertama dengan orang baru, seorang mahasiswi semester tiga, belum menyentuh usia dua puluh. Ia begitu bersemangat mencoba menjalin hubungan baru. Sementara David memilih untuk berolahraga bersama Adelia sejak pukul enam. Hari ini mereka berdua sama-sama ambil cuti untuk persiapan lamaran esok. Adelia berhenti terengah-engah setelah menyelesaikan satu putaran lapangan sepakbola. Ia tampak menunduk menyandarkan kedua tangan pada lutut dan berusaha mengatur napasnya. David yang sudah berlari lebih dulu, kembali lagi menghampiri kekasihnya itu. “Mau istirahat?” “Kamu?” “Aku sekali lagi ya? Nggak apa kan?” “Aku tunggu di sini aja ya?” Adelia langsung duduk dengan meluruskan kakinya. Napasnya masih tersengal, belum dapat ia atur. David melanjutkan jogging memutari lapangan sepakbola itu sekali lagi. Banyak juga orang-orang yang berolahraga di temp
“Gimana kencan Lu, Bro?” “Ah, susah kalo masih bocah, Vid,” keluh Andra. Ia meletakkan kunci mobil David di atas meja, lalu menyandarkan diri di bean bag seketika menghembuskan napas panjang. “Lah kenapa?” David meraih kunci motor Andra di sling bag-nya dan melemparkan ke samping Andra. “Masa kencan temen-temen satu gengnya ikut semua. Kan tiba-tiba merasa dimiskinkan gue. Untung bensin Lu banyak,” lanjut Andra. “Jadi?” “Ya udah, nggak gue lanjutin dah pedekate-nya,” Andra melenguh pasrah. “Bukan, bensin gue ... Lu isi nggak?” “Ya ... enggak lah, kan gue udah miskin tadi,” kilah Andra. Ia menoleh ke arah David, lalu cepat-cepaat mengambil kunci mobil dan pergi meninggalkan kost. David tersenyum namun juga miris melihat sahabat langkanya itu. Jika boleh David sempat terpikir untuk mengkarantina Andra, dan mengembangbiakkannya agar tidak punah. Persahabatan mereka berdua sudah pada tahap tidak mengenal s
“Halo, Pa. Cepat pulang, Mama jatuh di kamar mandi.” Suara Adelia terdengar begitu panik.“Hah? Iya, Nak. Papa pulang, kondisi Mama gimana ini?” jawab Pak Ruslan, ia masih disibukkan dengan banyak pesanan furniture.“Masih nggak sadar, Pa.”“Sementara hubungi dokter Zul tetangga kita. Dia mau kok datang ke rumah, darurat ini. Papa segera pulang, Nak,” tutup Pak Ruslan.Pak Ruslan meneguk kopi terakhirnya. Ia segera meraih kunci mobil yang tergantung di dinding ruang kerja. Beberapa konsumen yang sudah buat janji untuk datang, ia batalkan via pesan singkat. Ia mempercayakan semua pekerjaan pada seorang pekerja senior kepercayaannya. Kini yang ada di benaknya hanyalah Ratri Kecil, panggilan sayangnya untuk sang istri.Istrinya dulu adalah teman sepermainan di kampung. Teman saling ejek dan teman mengaji di surau. Ratri sangat mirip dengan ibunya. Itulah asal panggilan Ratri Kecil. Sedang ibunya