Jumat pagi, David bertukar kendaraan dengan Andra sampai siang hari. Andra merencanakan kencan pertama dengan orang baru, seorang mahasiswi semester tiga, belum menyentuh usia dua puluh. Ia begitu bersemangat mencoba menjalin hubungan baru. Sementara David memilih untuk berolahraga bersama Adelia sejak pukul enam. Hari ini mereka berdua sama-sama ambil cuti untuk persiapan lamaran esok.
Adelia berhenti terengah-engah setelah menyelesaikan satu putaran lapangan sepakbola. Ia tampak menunduk menyandarkan kedua tangan pada lutut dan berusaha mengatur napasnya. David yang sudah berlari lebih dulu, kembali lagi menghampiri kekasihnya itu.
“Mau istirahat?”
“Kamu?”
“Aku sekali lagi ya? Nggak apa kan?”
“Aku tunggu di sini aja ya?” Adelia langsung duduk dengan meluruskan kakinya. Napasnya masih tersengal, belum dapat ia atur. David melanjutkan jogging memutari lapangan sepakbola itu sekali lagi. Banyak juga orang-orang yang berolahraga di temp
“Gimana kencan Lu, Bro?” “Ah, susah kalo masih bocah, Vid,” keluh Andra. Ia meletakkan kunci mobil David di atas meja, lalu menyandarkan diri di bean bag seketika menghembuskan napas panjang. “Lah kenapa?” David meraih kunci motor Andra di sling bag-nya dan melemparkan ke samping Andra. “Masa kencan temen-temen satu gengnya ikut semua. Kan tiba-tiba merasa dimiskinkan gue. Untung bensin Lu banyak,” lanjut Andra. “Jadi?” “Ya udah, nggak gue lanjutin dah pedekate-nya,” Andra melenguh pasrah. “Bukan, bensin gue ... Lu isi nggak?” “Ya ... enggak lah, kan gue udah miskin tadi,” kilah Andra. Ia menoleh ke arah David, lalu cepat-cepaat mengambil kunci mobil dan pergi meninggalkan kost. David tersenyum namun juga miris melihat sahabat langkanya itu. Jika boleh David sempat terpikir untuk mengkarantina Andra, dan mengembangbiakkannya agar tidak punah. Persahabatan mereka berdua sudah pada tahap tidak mengenal s
“Halo, Pa. Cepat pulang, Mama jatuh di kamar mandi.” Suara Adelia terdengar begitu panik.“Hah? Iya, Nak. Papa pulang, kondisi Mama gimana ini?” jawab Pak Ruslan, ia masih disibukkan dengan banyak pesanan furniture.“Masih nggak sadar, Pa.”“Sementara hubungi dokter Zul tetangga kita. Dia mau kok datang ke rumah, darurat ini. Papa segera pulang, Nak,” tutup Pak Ruslan.Pak Ruslan meneguk kopi terakhirnya. Ia segera meraih kunci mobil yang tergantung di dinding ruang kerja. Beberapa konsumen yang sudah buat janji untuk datang, ia batalkan via pesan singkat. Ia mempercayakan semua pekerjaan pada seorang pekerja senior kepercayaannya. Kini yang ada di benaknya hanyalah Ratri Kecil, panggilan sayangnya untuk sang istri.Istrinya dulu adalah teman sepermainan di kampung. Teman saling ejek dan teman mengaji di surau. Ratri sangat mirip dengan ibunya. Itulah asal panggilan Ratri Kecil. Sedang ibunya
David dan keluarganya sudah memasuki batas kota. Tidak ada rombongan besar, hanya ada keluarga inti ditambah Andra. Agar orang tuanya nyaman karena juga membawa bingkisan dan buah tangan, David memutuskan untuk menyewa mobil tiga baris. Andra menawarkan diri untuk mengemudi dari pada duduk di baris ketiga bersama barang bawaan. Sepanjang perjalanan ia sengaja banyak berkelakar, terutama dengan Bapak untuk menghilangkan ketegangan dan mencairkan suasana. Lima menit lagi mereka akan tiba di rumah Pak Ruslan. Perasaan David jadi semakin tak menentu. Dia antusias, tapi juga sekaligus cemas. Ia khawatir Pak Ruslan akan tak terkendali. Wajar saja yang ia tahu anak gadisnya telah dinodai. Jika memang akhirnya ia mengatakan perihal kehamilan Adelia, David hanya bisa pasrah. Kemarahan orang tuanya sudah pasti akan meledak. “Vid, santai aja lah ... tegang amat kaya mau disunat,” ledek Andra. “Hush! Andra, kamu jangan ngeledek terus, kamu ini belum merasakan lho!” ujar
“Maaf, Vid....”“Apa ini termasuk rencanamu dan Mama?” bisik David.“Nggak, Vid. Ini murni rencana Papa,” jawab Adelia.“Del, sini....” Bu Maryam melambai pada Adelia memintanya mendekat.Sesungguhnya Adelia merasa tak nyaman dengan permintaan Papanya. Apalagi tempo hari atas nama Papanya juga ia meminta untuk langsung melakukan lamaran alih-alih temu keluarga. Tapi untuk berargumen di depan orang tua David tentulah tak mungkin. Berisiko untuk menimbulkan pertanyaan lanjutan.“Kamu mau mas kawin apa, Nak?” tanya Pak Ahmad.Adelia terhenyak, ia bahkan belum membicarakan hal ini dengan David. Ia tentu ingin mas kawin yang spesial. Yang kekinian semisal uang berjumlah tanggal pernikahan atau tanggal ulang tahun. Sepertinya keinginan itu harus disimpan dalam-dalam. Dengan keputusan Papanya yang mendadak ini, hal yang paling mungkin adalah meminta mas kawin yang mudah dan bisa disanggupi
“Hai, Daud Vikri Darussalam bin Ahmad Darussalam.” “Ya, saya!” “Saya nikahkan putriku, Adelia Putri binti Ruslan Zain kepadamu, dengan mas kawin cincin emas seberat 5 gram dibayar tunai!” Pak Ruslan menghentakkan tangannya ke bawah. “Saya terima nikahnya, Adelia Putri binti Ruslan Zain dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” jawab David lantang. “Bagaimana saksi? Sah?” tanya Pak Zakaria. “Sah!” jawab Andra dan Pak Syahrul, paman Adelia kompak. “Alhamdulillah....” Pak Zakaria kemudian memimpin doa, melafalkan syukur dan pujian bagi Allah atas terlaksananya akad nikah David dan Adelia. David mengadahkan tangannya mengamini doa Pak Zakaria yang entah sudah berapa ayat. Tak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya kini. Gadis cantik di sebelahnya kini sudah sah menjadi istrinya. Ia mengadahkan tangan dan mengamini doa yang sama. Sudah banyak hal yang mereka lewati penuh debar tak beraturan. Dan kini mereka akan memul
“Vid, gue ke kostan Lu aja ya?”“Lho, nggak di kostan Lu sendiri?” jawab David sekenanya.“Ada kerjaan gue, kostan Lu kan free WIFI.” Andra menyeringai di balik kemudi. “Pak, Bu, saya ijin nggak nganter sampe rumah ya?”“Iya, Ndra. Nggak apa, Ibu makasih lho udah dibantuin. Udah jadi saksi nikah segala. Maaf ngerepotin, ini harusnya si David ngasih apa gitu ke kamu, Ndra,” ujar Bu Maryam ramah.“Tuh, dengerin tuh, Vid. Ngasih apa kek? Mobil kek, atau rumah?” kelakar Andra.“Yee ... gue aja belum punya rumah. Itu kan udah gue kasih nginep di kostan gue plus fasilitasnya,” protes David.“Nanti aku kenalin sama temenku yang jomblo deh, Ndra. Mau nggak?” celetuk Adelia.Setelah peristiwa penting penuh debaran dan air mata, akhirnya Adelia bisa tenang. Duduk di mobil baris kedua diapit kedua mertua sungguh hal yang romantis, sedikit kik
“Ibu Bapak nggak masalah kan makan rendang?” “Nggak, emang kenapa, Del?” tanya David. “Ya nggak apa, berarti Bapak Ibu sehat, nggak ada darah tinggi gitu. Jadi nggak ada pantangan makan kan?” lanjut Adelia. “Insya Allah Bapak Ibu sehat, Del. Memang Papa Mama ada pantangan?” tanya Bu Maryam. “Kalo Papa nggak bisa makan yang kolesterol tinggi, Bu. Papa punya darah tinggi. Kalo Ibu nggak boleh banyak makan manis.” “Ooo ... nggak bisa makan enak dong?” tanya David. “Iya, makanya waktu kamu makan di rumah itu banyak lalapan dan ikan kan?” terang Adelia. David masih ingat bagaimana marahnya Pak Ruslan malam itu. Tamparan kerasnya dan matanya yang memerah amat cocok dengan riwayat darah tingginya. Namun pantangan Bu Ratri yang tak boleh banyak makan manis David masih meragukan. Ia setengah yakin bahwa ini alibi untuk mendukung pura-pura sakitnya Bu Ratri. Nanti akan ia tanyakan pada istrinya apa yang sebenarnya terjadi sampai mereka d
Pukul empat empat belas pagi, David membuka mata. Rasanya ia masih begitu mengantuk. Namun ia mendengar ada aktivitas di dapur. Itu pasti Ibu, selelah apa pun Ibu pasti terbangun sebelum subuh. Hal ini sudah ia lakukan berpuluh-puluh tahun. Mungkin selama ia sudah mengenal sholat subuh. Sedang Bapak biasanya sudah bangun sebelum Ibu. Bapak adalah seorang suami yang selalu tidur setelah dan bangun sebelum istrinya.David merasakan lengan kirinya kesemutan. Perempuan cantik itu masih terlelap berbantal lengan dan berguling tubuh suaminya. Hembusan napas Adelia yang teratur terasa hangat di dada David. David tersenyum, ia merasa beruntung sekali menjadi suami istrinya. Bahkan dalam kondisi tak sadar istrinya tetap mempesona. David gerakkan lengan kirinya perlahan, ia hendak bangun. Tapi pelukan istrinya tak mengijinkannya.“Sayang ... udah pagi, aku mau bangun dulu,” bisik David di telinga istrinya.Adelia menggeliat, ia hanya menggeram dan mengusap tel