Share

Sandiwara

Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya.

Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam oleh cincin batu akik Pak Ruslan. Di sudut bibirnya mengalir cairan merah berbau anyir. Adelia berteriak, ia hendak menghampiri, namun mamanya menahannya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu apakan anakku? Hah!”

Pak Ruslan mencengkeram leher David. Tubuh David terbentur dinding. Aroma mulut Pak Ruslan begitu lekat tercium, ia membentak tepat di wajah David. Matanya memerah, gigi-giginya saling beradu. Perlahan David mengangkat wajahnya, ditatapnya mata penuh emosi milik Pak Ruslan. Napasnya tersengal karena cekikan pria bertubuh gempal itu.

“Apa maksud Bapak? Saya nggak ngerti,” ujar David lirih. Mata Pak Ruslan membesar mendengar kata-kata David.

“Jangan, Pa!”

Adelia menghambur dan segera menahan tangan kiri papanya yang hendak melayangkan tamparan kedua. Ia menangis memohon agar papanya menahan diri dan berbicara dengan kepala dingin. David memandang adegan itu dengan tatapan penuh kebingungan, tak ada satu pun petunjuk sebenarnya apa yang tengah terjadi. Perlahan cengkeraman tangan kanan Pak Ruslan di lehernya mengendur. David mampu mengatur napasnya, area wajah kirinya terasa amat sakit.

Pak Ruslan perlahan duduk di sudut sofa. Adelia duduk di lantai, di sisi papanya. Bagas mendorong David hingga duduk di lantai, berseberangan dengan Adelia.

“Kak Bagas, nggak usah kasar ke David bisa kan? Dia calon suamiku!” bentak Adelia di tengah isak tangisnya.

“Hah? Calon suami? Bahkan tadi dia sudah asyik berduaan dengan pacar barunya, apa yang kamu harap dari dia? Tanggung jawab? Cih!” jawab Bagas tak kalah membentak.

Calon suami? Bertanggung jawab? Apa yang sebenarnya terjadi? David memandang raut wajah masing-masing keluarga ini. Tak mungkin ini cuma prank untuk mengerjainya, tak ada motif untuk itu. David menunduk, perasaannya kacau. Ia lalu melihat ke arah jemari Adelia yang sedari tadi bergerak berulang. Telapak tangannya naik turun mengisyaratkan untuk menurunkan emosi, lalu memperlihatkan ibu jari. David terjemahkan sebagai isyarat untuknya agar tetap tenang dan semua akan baik-baik saja. Terkonfirmasi saat mereka berdua bertemu pandang dan Adelia tersenyum singkat.

“David, tolong jawab saya. Apa kamu tahu Adelia tengah hamil?”

David terkejut, ia diam beberapa saat. Dialihkan matanya pada Adelia. Perempuan bermukena itu tertunduk, namun ia menunjukkan ibu jarinya pada David.

“Ha … Hamil?”

“Ya, kamu nggak tahu?” tanya Pak Ruslan lagi, kali ini ia sudah lebih tenang. David menggeleng, ia memandang seluruh mata orang di ruang ini, begitu menghakimi. “Adel, bilang sama Papa, siapa bapaknya?” Pak Ruslan membentak putri bungsunya itu. Tangis Adelia meledak, ia terisak beberapa saat.

“David, Pa….” Jawab Adelia pelan, ia tak berani menatap wajah David.

“Del, apa yang kamu lakukan?” protes David, ia masih tak mengerti dengan jalan yang Adelia tempuh.

“Ini anakmu, David. Aku hanya melakukannya denganmu.” ujar Adelia meyakinkan sambil menunjuk perutnya.

David menggelengkan kepalanya, ia tak percaya Adelia menggunakan cara seperti ini demi lepas dari tunangannya dan kembali padanya. Memang benar ia menyerahkan sepenuhnya hal itu pada adelia. Mengakhiri pertunangannya, tapi cara ini sungguh sangat memalukan.

“Woi, Lu nggak mau ngaku? Hah?” Bagas tiba-tiba berteriak dan menendang tubuh David. Adelia berteriak, ia menjadikan dirinya tameng untuk David.

“Kak Bagas, udah aku bilang jangan kasar sama David! Kenapa sih nggak bisa tahan emosi? David baru tahu aku hamil sekarang, wajar dong dia kaget.” bela Adelia, air matanya mengalir deras.

“Kamu ini, Dek, mikirnya gimana sih, kenapa kamu terima lamaran Rangga? Bikin malu keluarga!” umpat Bagas, ia lalu berlalu dari ruang tengah menuju ke belakang.

“Sini, Nak,” Bu Ratri membimbing putrinya untuk bangkit dan duduk bersama dengannya dan suaminya. “Bangun David, duduk di atas!” Ia menunjuk sofa di sebelah mereka bertiga. David bangkit dan menuruti Bu Ratri.

“Papa udah nggak tahu lagi mau ngomong apa, takut main tangan lagi. Gimana juga yang di perut Adelia ini cucu Papa, Papa nggak mau dia kenapa-kenapa.” Pak Ruslan tampak sudah mampu meredam emosinya. Ia merangkul Adelia yang masih tertunduk melipat-lipat ujung mukenanya.

“Jadi Mama minta kamu bertanggung jawab dengan menikahi Adelia. Bisa saja dia tidak mengakui kehamilannya, ia teruskan pertunangannya. Tapi anak Mama ini memilih mengaku, tanda ia begitu mencintaimu, David.” Bu Ratri membuka perbincangan yang lebih kondusif.

“Maaf, saya nggak ngerti. Lalu bagaimana dengan pertunangannya, Ma?” Bisa saja David membela diri dan mengatakan bahwa ini hanyalah sandiwara Adelia. Tapi entah mengapa ia justru  mengikuti skenario. Ia merasa ingin menebus kesalahannya karena mengacuhkan Adelia dulu. Ia hanya mengikuti perasaannya.

“Pertunangannya sudah dibatalkan, rupanya Adelia mengaku ke Rangga soal kehamilannya. Sebelum kamu dibawa Bagas ke sini, Rangga datang dan membatalkan lamarannya.” terang Bu Ratri.

Untuk seorang ibu yang anaknya dinodai ia nampak begitu tenang. Bahkan Rangga adalah anak temannya, David mencium gelagat yang tak biasa. Ia mencoba menangkap raut wajah Adelia, tapi perempuan itu masih menunduk bersembunyi di balik mukena dan dekapan ayahnya.

“Baik, saya akan bertanggung jawab. Tapi beri saya waktu untuk membicarakan ini pada orang tua dan keluarga. Bagaimanapun pernikahan melibatkan dua keluarga besar,” jawab David diplomatis.

“Oh, kalau soal itu tak usah khawatir. Mama dan Adelia sudah membicarakan hal ini dengan orang tuamu via telepon. Mungkin sebentar lagi mereka menghubungimu.”

David tertegun, ia meraih gawai di saku celananya. Gawainya mati, tadi baru sempat dicharge sebentar sebelum pergi bersama Anjani. Astaga, Anjani? Apa yang harus dikatakannya pada Anjani? Bagaimana keadaanya sekarang setelah ia diculik tadi? David menjadi tak tenang, namun tentu tak bisa segera meninggalkan tempat ini.

“Lalu apa yang dikatakan orang tua saya, Ma?”

“Beliau berdua tak keberatan, justru minta secepatnya. Maaf kalau Papa dan Bagas kasar ke kamu tadi. Begitulah kalau laki-laki sudah emosi. Terima kasih sudah tak meladeni emosi mereka.” Sekali lagi David merasa kata-kata Bu Ratri sangat kontradiktif dengan kondisi yang diskenario-kan ini.

“Ini salah kami sebagai orang tua, Vid. Kami lalai menjaga anak kami. Papa tak bermaksud menyakitimu, itu luapan emosi, sebenarnya juga bentuk penyesalan Papa,” ujar Pak Ruslan sambil menahan tangisnya. Adelia lalu menenangkan Papanya, ia memeluk dan menghapus titik air mata yang mulai menetes di pipi Pak Ruslan.

Selanjutnya tak banyak yang dibicarakan orang tua Adelia. Hanya nasihat-nasihat khas orang tua yang diberikan kepada anaknya yang akan menikah. Mereka berdua bahkan mempersilahkan David dan Adelia untuk tinggal di rumah ini setelah menikah. Sementara David masih terus menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya.

Pukul sepuluh lewat dua puluh malam, David berpamitan. Ia menyalami Pak Ruslan, mencium tangan yang tadi menamparnya dengan keras. Bahkan telinganya masih sedikit berdenging, luka di bibirnya masih terasa perih. Pak Ruslan lalu memeluknya, membisikkan banyak nasihat di telinganya. Begitu pula Bu Ratri, memeluk dan membelai rambutnya seperti anak sendiri. Ia tampak tak kuasa menahan haru, ada sesuatu di matanya yang ia sembunyikan.

David meminta Adelia memesankan ojek online. Mereka duduk berdua di teras rumah. Dua pria yang tadi membantu Bagas menculiknya sudah tidak ada lagi. Bagas pun sudah mengunci dirinya di dalam kamar.

“Maaf sampai harus seperti ini, Vid.” Adelia membelai wajah David, ia membersihkan sedikit noda darah di sudut bibir David.

“Kamu sudah gila, Del.” ujar David singkat. Ia menekan tulang pipinya yang membiru.

“Maaf, aku kira ini satu-satunya cara biar aku kembali sama kamu. Kamu nggak keberatan kan, Vid, jadi suamiku?”

“Itu memang tujuanku memacarimu dulu, tapi apa prosesnya harus banget kaya gini? Orang tuaku gimana? Ngomong apa kamu sama Ibu?” protes David.

“Tenang aja, Vid. Ibumu nggak tahu kok soal kehamilanku,” ujar Adelia menenangkan.

“Kok bisa? Jadi ibu tahunya apa?” tanya David penasaran.

“Dah ah, nanti kita lanjutin aja via chat, itu ojolnya udah dateng.” Adelia menunjuk pada seorang ojek online yang sudah menunggu di luar pagar dan mengklakson dua kali.

"Eh, kamu nggak hamil beneran kan, Del?"

"Ya enggak lah, Vid." Adelia membelalakkan matanya.

"Dari ekspresi buruk pun ia masih begitu cantik," batin David.

“Oke lah, aku pamit dulu. Salam buat Kak Bagas, bilangin kalo sekali lagi dia mukul aku pasti aku balas,” seloroh David. Adelia tertawa, bahkan ia tak tahu David nyaris pingsan dihantam kakaknya itu di bagian perut. “Oh iya, besok pagi aku jemput. Ikut aku pulang menemui orang tuaku ya?” Adelia mengangguk.

“Hati-hati ya, Sayang.”

“Hah? Apa? Sayang? Sudah boleh lagi ya panggil Sayang?” Adelia tersenyum manis, ia melambaikan tangan pada calon suaminya itu. Sebuah proses besar telah ia lalui, ia merasa apapun bisa ia lakukan agar terus dapat bersama David. Bahkan mengorbankan harga diri di hadapan keluarganya sendiri dan keluarga Rangga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status