Adelia membuka kaca jendela penumpang mobil MPV tiga baris milik perusahaan. Ia melambai pada pujaan hati yang berdiri di balkon lantai dua Prime Coffee. Wajahnya nampak berseri-seri, senyumnya merekah membuatnya tampak semakin mempesona. David membalas lambaian tangannya. Perempuan cantik itu lalu hilang oleh mobil yang sudah melaju, namun aroma parfumnya masih tertinggal.
David menghela napasnya, ia tersenyum sendiri. Ada banyak emosi yang bercampur di hatinya. Ia duduk kembali di tempat Adelia tadi mendekap lengannya. Di hadapannya masih ada separuh cup Moccachino milik Adelia dengan bekas lipstik di tepinya. Ia sudah sering menemui hal ini dulu, tapi entah mengapa kali ini bekas lipstik itu terasa spesial. David meraih gawainya, mengabadikan dengan kamera.
“Halo, ya, Del. Ada apa?” tanya David. Tiba-tiba gawainya berdering ketika ia keluar dari aplikasi kamera.
“Vid, masih di Prime Coffee?” tanya Adelia dari seberang.
“Masih, tapi sebentar lagi aku pulang. Ada apa, Del?”
“Oh, nggak apa, Vid. Aku nggak tahu … kok aku kangen ya sama kamu?” Adela tampak ragu mengakui, ia sebenarnya malu.
“Hah? Nggak salah, Del? Belum ada lima menit loh?”
“Aku tahu, Vid. Mmm … ya sudah, aku cuma mau bilang itu aja. Assalamualaikum.” Adelia menutup teleponnya, bahkan David belum sempat membalas salam.
David terpekur, ada apa ini sebenarnya? Ini menyenangkan, tapi sungguh di luar ekspektasi. Ia merasa tak siap, tapi memaksakan diri untuk siap menghadapi. Semua terasa begitu berbeda. Sudah begitu banyak hal terjadi hari ini, bahkan ini belum pukul sebelas. Biasanya ia masih menyelesaikan pelajaran di jam kedua. David menghabiskan Long Macchiato-nya, lalu bergegas meninggalkan Prime Coffee.
“Oi, Bro! Tumben kemari?” sapa Andra, mereka bertemu di tangga. Andra nampak menoleh ke belakang David seperti mencari sesuatu.
“Lah, emang nggak boleh gue ke sini?” jawab David sekenanya. “Ngapain clingak-clinguk? Nyari apa Lu?” lanjut David.
“Sendirian aja Lu?” Andra sedikit mengecilkan suaranya.
“Pasti ngeledek nih, kebiasaan!” Andra terkekeh, lalu seorang perempuan muncul dari arah toilet di bawah tangga. Andra tersenyum, ia lalu menggandeng perempuan itu menaiki anak tangga.
“Sorry, Bro. Permisi kita mau lewat.” Andra kembali meledek.
“Cewek Lu, Bro?”
“Iya lah! Oh iya kenalin ini Melisa, ini David,” Andra mengenalkan Melisa dengan David. Perempuan itu menyodorkan tangan kanannya, David menyambut.
“David….”
“Melisa….”
“Oh, ini cewek Lu yang dari Surabaya itu? Yang balik...” buru-buru Andra menutup mulut sahabatnya itu.
“Eits, banyak omong Lu, ah. Dah lepasin tangan cewek gue!” Andra tampak terdesak, ia tak ingin rahasianya diketahui Melisa. Melisa sendiri lebih banyak diam. Ia hanya tersenyum simpul melihat kelakuan dua sahabat ini.
“Apaan sih pake nutup mulut orang segala! Dah sana kalo mau mojok, gue cabut dulu.” David melepaskan tangan Andra, tapi entah mengapa Melisa tidak melepaskan jabat tangannya.
“Oi! Jangan kelamaan dong salamannya, ada cowoknya nih!” Andra menarik lengan kanan kekasihnya. David senyum-senyum saja, andai Andra tahu Melisa lah yang tak ingin melepaskan tangannya. Mereka berdua berlalu dan menghilang di lantai dua. David menghampiri kasir dan menyerahkan struk pesanannya.
***
Suara ketukan pintu membangunkan David dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah mencoba mengacuhkan, namun akhirnya ia membuka matanya setelah memastikan memang benar namanya yang disebut. David mengusap beberapa kali kedua matanya. Ia melirik jam dinding, pukul tujuh lewat lima menit. Ia lalu mengingat-ingat apa dia melupakan janji atau sesuatu, karena ia tidur cukup lama.
David bangkit dan segera memutar kunci kamar. Handel pintu ia tarik, sebenarnya ia sedikit kesal karena namanya terus dipanggil.
“Jani? Ngapain?” David terkejut melihat Anjani tersenyum berdiri di hadapannya.
“Selamat malam, Kak. Wah, sudah tidur ya? Maaf aku langsung ke sini aja, soalnya chatku checklist doang. Nyoba telepon tapi nggak aktif,” terang Anjani. Ia langsung menghambur masuk ke dalam kamar tanpa diminta.
“Eum, Kakak cuci muka dulu ya?”
“Mandi dulu juga nggak apa, Kak,” jawab Anjani ringan.
“Sebentar ya, lima menit!” David setengah berlari masuk ke kamar mandi. Anjani tak menjawab. Ia sibuk memperhatikan tiap sudut kamar kekasih yang baru tadi pagi ia pacari. Ruang berukuran 4x4 meter ini lumayan tertata, padahal penghuninya seorang lelaki. Didominasi warna putih, layout ruang ini tampak begitu serasi. Udaranya juga tidak pengap meski tertutup cukup lama saat penghuninya tidur tadi.
“Hape Kakak mati nih,” ujar David sambil menekan-nekan tombol power gawainya. Ia lalu mengisi ulang baterai gawainya, ia hidupkan dan ia letakkan lagi di tempatnya semula.
“Emang tidur dari jam berapa, Kak?” Anjani duduk di sebuah bean bag yang cukup besar di sudut kamar, tepat di sebelah lemari.
“Terakhir lihat jam sih jam 4, nggak tahu deh tidurnya jam berapa. Jarang banget tidur siang, sekalinya tidur kelewatan deh.” David tertawa kecil diikuti senyum Anjani memperhatikan gerak-gerik kekasihnya. David lalu berdiri di depan cermin lemarinya. Mengusap-usap rambutnya dengan handuk, lalu membuka lemari.
“Eh, kamu ke sini naik apa, Jani?”
“Naik motor, Kak. Kenapa?”
“Ya sudah kita naik motor kamu aja ya?” David melongok ke arah Anjani tanpa menutup pintu lemarinya.
“Kita mau kemana, Kak?” tanya Anjani heran, ia baru saja meraih sebuah buku yang nampaknya agenda milik David dari sisi bean bag.
“Makan lah, belum makan kan?” suara David sedikit tenggelam, ia memasukkan kepalanya dalam lemari mencari sesuatu.
“Belum, ya sudah terserah Kakak aja,” Anjani tersipu, banyak kejadian di hari ini yang terjadi begitu saja. Tiba-tiba menyesal memutuskan hubungan, tiba-tiba mengajaknya David bertemu. Tiba-tiba datang ke kost, tiba-tiba masuk ke dalam kamar kost. Kini tiba-tiba diajak David makan malam, semuanya tanpa rencana.
David menutup pintu lemari, ia tampak telah siap dan sedang memandangi bayangannya di cermin.
“Loh? Sejak kapan Kakak ganti baju?” tanya Anjani sedikit terkejut. Ia pikir David masih memilih pakaiannya tadi.
“Nggak sadar Kakak ganti baju tadi? Nggak lihat apa-apa kan?” tanya David santai saja sambil menyisir rambutnya. Anjani terheran, tak habis pikir apakah memang seperti ini kelakuan pria dewasa? Anjani menggeleng saat David menoleh ke arahnya.
“Yuk, berangkat!” ajak David sambil mengenakan hoodienya.
Anjani lalu bangkit dan melangkah keluar kamar. David menyusul dan mengunci pintu. Ia lalu mengulurkan tangannya kepada Anjani. Anjani tersipu, beberapa saat ia tampak ragu. Ia lalu menyambut uluran tangan David. David menoleh, ia tersenyum. Di tatap mata kekasihnya itu dengan begitu hangat.
“Maksud Kakak kunci motornya mana, Jani?” Anjani tersentak, buru-buru ia ambil kunci motor dari dalam tasnya.
Ia sungguh malu, wajahnya merah padam. Ia tertunduk, David tertawa geli melihat tingkah mahasiswi magang ini. Cepat-cepat ia tahan tawanya, tak ingin membuat kekasihnya menahan malu lebih lama. David meraih kunci motor dari tangan Anjani lalu berjalan menuju sepeda motor yang diparkir tak jauh dari kamarnya. Anjani mengikuti dari belakang, masih tertunduk.
Mereka berdua sudah duduk di atas sepeda motor matic milik Anjani. Anjani nampak gugup pertama kalinya duduk sedekat ini dengan David. Aroma segar sabun mandi David tercium olehnya, ia yakin karena David tidak memakai parfum tadi. Ujung rambut David di bagian belakang masih begitu basah dan menetes ke hoodienya.
“Jadi mau makan dimana, Anjaniku?” goda David segera setelah sepeda motor dihidupkan.
“Hah? Gimana, Kak?” Sebenarnya Anjani mendengar, namun ia ingin mengkonfirmasi sekali lagi bahwa David menyebutnya Anjaniku.
“Mau makan dimana, Jani?”
“Kok nggak sama kaya yang tadi sih?” Anjani mendorong lembut bahu David. David pun menyadari keinginan Anjani, namun ia sengaja menyebutnya berbeda.
“Apanya yang nggak sama?”
“Tadi loh, Kakak manggil aku apa?” Anjani mendekatkan tubuhnya ke punggung David. Ia letakkan dagunya di pundak kiri David, ia bersiap mendengar kata yang ia inginkan.
David menjalankan sepeda motor keluar dari komplek rumah kost. Ia sengaja menjaga kecepatan rendah sepeda motor Anjani agar lebih lama bersama kekasih barunya ini. Jalanan yang tidak terlalu ramai membuat hanya suara angin yang terdengar di keheningan mereka berdua.
“Kak,”
“Ya?”
“Beneran nggak mau panggil aku kaya tadi?” tanya Anjani membuyarkan keheningan.
“Panggil apa sih, Anjaniku?” goda David. Anjani tak menjawab, ia melingkarkan kedua lengannya di perut David. Ia peluk kekasihnya itu, ia tersenyum. Dekatnya tubuh mereka seolah berbanding lurus dengan perasaanya pada David. Cinta di hatinya kini telah terisi penuh.
“Jadi kita jalan aja gini ya? Kamu nggak laper? Mau makan dimana nih?”
“Terserah Kakak aja.” Anjani masih begitu nyaman memeluk David dari belakang, ia tak ingin memikirkan hal lain selain menikmati momentum, termasuk memikirkan akan makan dimana.
Tiba-tiba sebuah mobil minibus mendahului dan berhenti melintang di depan mereka. David menghentikan laju sepeda motor seketika. Anjani nyaris saja berteriak histeris. Dua orang pria turun dari dalam mobil. Setengah berlari mereka menghampiri David. Seorang tampak tak asing bagi David. Pria tersebut langsung mencengkeram hoodie David.
“Lu David kan?”
“Wuih, santai dong! Gue David, kenapa?” David bingung dengan apa yang terjadi. Tapi ia tak ingin dengan mudah diintimidasi. Apalagi di hadapan Anjani.
“Turun Lu! Ikut kami, kami mau bikin perhitungan sama Lu!” bentak pria itu. Seorang pria lain mencabut kunci kontak sepeda motor Anjani.
“Ini apa sih? Siapa kalian?”
“Ini soal Adelia, paham Lu!”
“Ada apa ini, Kak? Kenapa bawa-bawa Adelia?” Anjani ketakutan, ia menyembunyikan tubuhnya di belakang David.
“Gue suruh ikut ya ikut, nggak usah banyak tanya!” Pria tersebut menghunjamkan tinjunya ke perut David. Anjani berteriak, David jatuh tersungkur di tanah memegangi perutnya. Kedua pria itu menyeret David ke dalam mobil. Seorang kembali kepada Anjani dan mengembalikan kunci kontak sepeda motor yang tadi ia ambil. Mobil itu pun melaju membawa David meninggalkan Anjani yang masih gemetaran.
Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya. Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam ole
“Jani….” “Kak David? Kakak baik-baik aja?” Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David. “Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,” “Oh, oke Kak, tunggu sebentar.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping. “Masuk dulu, Kak.” Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit le
“Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya. “Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan. “Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.” “Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal. “Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya. “Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.
Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s
“Lu kemana aja, Bro?”“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.