To-tol ... looong!"
Mata pisau itu sudah berada tepat di depan mataku. Jantung berdegup kencang, napasku tercekat. Aku sangat ketakutan.'Tolong Nilfan, Ya Allah!' pekikku dalam hati.Mata pisau itu terus maju. Tenagaku begitu lemah, tidak mampu lagi untuk menahannya lebih lama.Tiba-tiba saja, sosok ber-hoodie hitam itu terempas ke kiri. Zhafran datang, dia langsung menendangnya. Aku bernapas lega seraya bangun dari ranjang. Syukurlah."Siapa lo?!"Sosok ber-hoodie tidak menjawab, dia malah mengacungkan senjata tajam.Aku memperhatikan sosok ber-hoodie yang memakai masker hitam itu. Dia menatap Zhafran waspada seraya mengambil ancang-ancang menyerang.'Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku?'Sosok ber-hoodie maju, melayangkan pisaunya ke leher Zhafran. Gegas Zhafran menarik kepalanya ke belakang. Sosok ber-hoodie susul melayangkan pisau ke perut Zhafran. Untung saja Zhafran sigap menarik p"Pokoknya, Papah ingin kamu hukum seberat-beratnya Bima ini, Bry!" Mata Tuan Besar memerah, menatap nyalang ke sosok ber-hoodie semalam. 'Jadi, nama dia Bima. Apa sapu tangan itu miliknya? Apa dia yang sudah mendorongku ke kolam? Kenapa dia mau membunuh saya?' batinku bertanya-tanya seraya menatap tajam pria yang bernama Bima itu.Melihat kami yang barusan datang, membuat ketiga pria beda usia itu serempak mengalihkan pandangan. Bryan memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Aku perhatikan, tatapan Bryan begitu intens. Tidak lama kemudian, dia membuang pandangan. "Lo? Masih ada muka lo kemari!"Zhafran yang melihat Bima langsung menyerangnya. Melayangkan pukuluan beruntun ke wajah Bima. "Kenapa lo pengen bunuh Nilfan? Siapa yang udah nyuruh lo?" Zhafran terus memukul Bima, sedangkan Bima hanya pasrah tanpa perlawanan. Bima terjatuh, Zhafran lanjut menendang-nendang perutnya. Membuat Bima mengerang keras seraya
"Apa yang pengen lo tau? Hmm ...." Zhafran kembali berujar dengan berat. Dia menangkup sebelah pipiku. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tingkah Zhafran. Apalagi berada di dalam sebuah kamar dan sedekat ini. Aku membuka mata, menatap wajah Zhafran yang hidungnya sedikit lagi akan menempel dengan hidungku. Aku menarik kepala ke belakang. Namun, Zhafran menahan tengkukku. Membuat kening kami kembali menempel. Aku makin gelisah dibuatnya. Takut Zhafran bertindak kurang ajar. "Lo mau tau apa tentang Naila? Gue mau ngasi lo info, asal ada bayarannya ...." Zhafran tersenyum smirk dengan tatapan nanar seraya mendekatkan bibirnya. Aku berusaha melepaskan cekalannya seraya menarik kepalaku menjauh, tetapi Zhafran terus menahan tengkukku. Aku kalap, benar-benar emosi dengan perlakuan Zhafran. Sebelum dia melakukan hal yang tidak diingankan, gegas aku mengangkat kaki, mendengkul bagian tengahnya. "Ouhh!" Zhafran melenguh keras samb
"Siapa yang sudah menghamili Kak Naila, Bi?" Aku bertanya lagi. Tatapan tajam kulemparkan kepada Bi Inah yang mulai terlihat salah tingkah. Melirik kanan kiri dengan ekspresi khawatir juga takut. 'Kenapa reaksi Bi Inah seperti itu?' batinku mulai mencurigai tingkah Bi Inah yang terlihat aneh. "Bi?" panggilku yang langsung membuat pandanganya terhenti menatapku, "siapa, Bi?" lanjutku bertanya dengan penuh penekanan. "Bibi, 'kan, sudah bilang kalau kematian Naila itu karena kecelakaan. Dan soal Naila hamil? Kamu ngada-ngada saja, Nil! Naila sama sekali enggak hamil!"Bi Inah berucap setengah berteriak. Dia menepis tanganku, lelu mengayunkan kaki menjauh. Aku gegas mengejarnya, mencekal kembali tangan yang sedikit kurus itu. "Saat Nilfan memandikan jenazah Kak Naila, Nilfan lihat perut Kak Naila membuncit. Perkiraan hamilnya itu sudah memasuki bulan kelima atau enam. Para pelayat juga menyadari hal itu, membuat mereka
Aku menyusuri setiap sisi arae kolam yang luas itu. Namun, barang yang kucari sudah tidak ada di tempatnya. Tidak ada apa-apa, selain bangku panjang dan meja bundar di samping sana. "Ke mana sapu tangan itu?" gumamku mengedarkan pandangan ke seluruh area kolam."Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku? Benarkah orang itu Bryan?" Aku mengingat-ingat seseorang yang mendorongku kemarin malam. Pandanganku terhenti di balik tanaman bunga bugenvil. Ada seorang pria tua bertumbuh tambun sedang menatapku dengan mata memerah di sana. Pak Aji. Dia memandangku penuh ketidaksukaan. Aku hanya memandangnya dalam diam, bingung harus apa. Pria tua itu pasti sekarang terpukul atas kejadian yang menimpa anaknya. "Permisi, Pak." Aku mengangguk sopan. Namun, dia tetap pandangan tajamnya. Pasti dia sangat marah denganku karena sudah menjadi penyebab putra satu-satunya mendekam di penjara. Aku melangkah menuju ke kamar. Namun, ketika ba
Ketika sedang berusaha meraih kotak karton itu, aku terlonjak kaget tiba-tiba mendengar suara seseorang dari belakang. Bersamaan dengan itu, kakiku tergelincir dari kursi belajar. "Kyaa ...."Aku terjatuh dari kursi. Tidak disangka, tubuhku akan ditangkap pemuda berandalan itu. Mata elangnya itu menatap dengan intens, sedangkan aku terpaku di pangkuannya dengan mata membulat sempurna. Takut karena sudah ketahuan memeriksa kamar Bryan dan malu karena jatuh di pangkuannya. Untuk beberapa saat, pandangan kami saling beradu. Aku seperti hanyut dalam netra cokelat Zhafran yang tajam. Sampai kejadian di kamarnya tadi pagi terlintas di kepala, di mana Zhafran berusaha kurang ajar terhadapku. "Turunkan saya!" seruku menggoyang-goyangkan kaki menendang ke depan. Zhafran seperti orang yang sedikit terkesiap. Dia membuang pandangan sekilas, lalu melepaskan gendongannya tiba-tiba. "Aooooww!" jeritku kesakitan kala bokong mendarat d
Mendengar perkataan serta melihat raut wajah Zhafran yang horor, sontak membuatku menelan saliva dengan susah payah. Gegas aku menarik telapak tangan dari daun pintu dengan berat hati. Bukan tidak rela Zhafran menutup pintu kamarnya, tetapi aku sangat ingin sekali mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Setelah menarik tanganku, Zhafran menutup begitu saja pintu kamarnya dengan keras. Membuatku sedikit terlonjak kaget mendengar dentaman pintu kamarnya. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. "Saya yakin, kamu tau sesuatu. Bagaimanapun caranya, saya akan buat kamu untuk memberiku informasi tentang Kak Naila. Bagaimanapun caranya!" tekadku yakin menatap tajam pintu kamar Zhafran yang tertutup. Terkadang, aku bingung dengan pria itu. Sifatnya sering berubah. Sebentar baik, sebentar lagi seperti monster. Atau mungkin aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan kalau dia seorang pria yang baik, tetapi ternyata mema
Mobil terus melaju, menjauh dari rumah Zhafran. Tidak lama kemudian, mobil dilajukan dengan kencang. Membuat mataku membulat merasakan mobilnya melesat dengan kencang. Namun, aku tetap membekap mulut seraya menutup mata di balik kursi kemudi. 'Saya memang pengen sekali jalan-jalan keluar untuk melihat kota, tapi bukan bersama pria berandalan ini!' keluhku dalam hati. Aku sangat takut, jangan sampai ketahuan oleh Zhafran. Tidak ingin dikatakain lancang lancang lagi. Yah, walaupun memang benar. Tidak seharusnya aku naik ke mobil orang tanpa izin. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Melihat keluar jendela. Mataku takjub melihat pemandangan kota. Gedung-gedung besar yang menjulang tinggi sering kali berlarian di kaca mobil. Terkadang mobil Zhafran melewati monumen patung yang terkenal. Ingin rasanya aku bangkit dan melihat lebih. "Ok, sebentar lagi gue bakal sampai."Suara Zhafran mengembalikan keteganganku. Aku kembali membekap
Aku mendengar suara Zhafran memerintah. Lantas, dua orang pria datang mendekat. Mencekal kedua lengan ini, menarikku untuk bangun. "Lepas!" Aku memberontak hendak menarik tangan dari mereka. Namun, kedua pria itu mencekalnya kuat. Pandanganku masih saja memburam akibat efek tendangan di wajah yang sangat keras tadi. Kurasakan juga mulutku mengeluarkan darah yang begitu banyak. Aku mengerjapkan mata dengan keras, lalu menggeleng kuat. Berharap bisa mengembalikan kejernihan pandangan. "Lepas! Lepaskan saya!" Aku masih terus memberontak pada kedua pria itu. Perlahan-lahan pandanganku mulai jernih. Aku melihat Zhafran berjalan mendekat ke diri ini dengan raut dinginnya. Mata elang itu, seolah-olah tombak yang ia hujamkan kepadaku. Sekarang, jarak kami hanya sekitar satu langkah saja. Aku menatap Zhafran dengan intens disertai dada yang naik turun dengan cepat. Lantas, aku menundukkan pandangan. Tidak ingin lagi menatap mata taj