Guyuran air di wajah perlahan-lahan menyadarkanku dari pingsan. Aku megap-megap dikarenakan air tersebut, lalu terbatuk. Pandanganku mengedar ke sekeliling. Sebuah ruangan asing yang gelap juga berdebu. Hanya ada barang-barang bekas di sekeliling dan cahaya lampu tepat di atasku. Lampunya sedikit bergoyang-goyang. Aku hendak bangkit berdiri, tetapi baru tersadar tangan dan kaki terikat oleh pegangan dan kaki kursi kayu. Seketika saja emosi melandaku, meronta-ronta berusaha terlepas dari ikatan yang menempel erat pada kursi. "Sialan! Buka!" teriakku pada kegelapan di depan sana. Cahaya lampu hanya menyinari sekitar tempatku diikat, tetapi tidak di depan sana. Lampu gantung itu dipakaikan sebuah kap. Menjadikan cahaya lampunya terbatas. "Bukaaa!" teriakku lagi. Namun, tidak ada jawaban. Hanya samar-samar suara kereta api yang terdengar dari sini. Sepertinya tempatku disekap dekat dengan rel kereta api. Aku
Aku berteriak keras seraya menutup kuping. Membayangkan sebentar lagi cahaya dari mobil itu akan menghantam tubuhku. Terdengar decitan keras dari mobil yang berhenti tiba-tiba itu. Hampir saja bagian depan mobilnya menyentuh pahaku. Tubuh merinding dan lutut terasa lemas, hampir saja aku mengalami kecelakaan malam ini, seperti yang dialami Kak Naila yang menjadi penyebab kematiannya. Tubuhku luruh begitu saja di aspal sembari terus menutup kedua telinga. Pandanganku terasa kosong. Aku benar-benar diserang syok secara beruntun. Terdengar bunyi pintu mobil yang dibanting. Tidak lama kemudian, muncul sepasang sepatu boots hitam mengkilap tepat di hadapan. Aku masih tetap sama, menutup kuping seraya memandang kosong ke depan. "Nilfan." Suara bariton seseorang menyapa indra pendengaran. Terdengar begitu familer. Sontak aku mendongak kala mendengar suara pria tersebut. Terlihat Zhafran sedang menunduk seraya menatapku dengan alis
Tatapan tajam kulayangkan, tidak suka dengan sikap Zhafran yang main se-enaknya menarik diri ini. 'Dia pikir aku tali tambang apa?' batinku mendengkus kesal. "Kenapa? Kenapa kamu narik saya keluar?" tanyaku sedikit ketus. Zhafran tidak menjawab. Dia hanya menatapku diam dengan mata elangnya itu. Kedua tangannya terulur kepada diri ini. Aku sontak mundur beberapa langkah darinya, merasa kurang nyaman dengan apa yang hendak dilakukan pria berandalan itu. Zhafran kembali mengayunkan kakinya mendekat sambil terus menatap dengan raut dingin. Aku kembali mundur, tetapi Zhafran terlebih dahulu meletakkan telapak tangannya di bahuku. "Kamu mau apa, sih, Zhaf?" tanyaku sedikit memekik. Tidak suka dengan sikap Zhafran yang sok misterius. Zhafran tetap tidak menjawab. Dia hanya menatapku intens. Aku benar-benar tidak nyaman dengan tampang dingin Zhafran serta mata elangnya itu saat ini. Tangan Zhafran bergerak memb
Mendengar pertanyaanku, seketika membuat Zhafran menatapku tajam. Wajahnya pun kembali datar. Namun, tidak lama kemudian, dia tersenyum smirk. Zhafran mengetuk-ngetuk dagu seraya terlihat seperti berusaha mengingat sesuatu. Lantas, pria berandalan itu membuka satu per satu jari-jari tangannya sembari menyebut nama seseorang. "Rose, Anggrek, Lily, Melati, Seruni, Kenanga ...." Zhafran terus membuka satu per satu jari-jari tangannya sembari menyebut nama seorang wanita. Aku meneguk saliva dengan susah payah, mendengar banyaknya daftar wanita yang pernah tidur bersama pria berandalan itu. Habis ke-sepuluh jarinya, Zhafran menuju sofa sampingku. Mendaratkan bokong di situ, lalu membuka sepatu dan kaus kakinya. Kembali dia melanjutkan hitungannya dengan menggunakan jari-jari kakinya juga. Pria aneh! "Amarilis, Alamanda, Lavender, Geranium, Tulip, Bougenville, Kembang Sepatu, Kamboja ....""Hah?" Alisku bertaut sama lain
Mendengar pertanyaanku, seketika membuat Zhafran menatapku tajam. Wajahnya pun kembali datar. Namun, tidak lama kemudian, dia tersenyum smirk. Zhafran mengetuk-ngetuk dagu seraya terlihat seperti berusaha mengingat sesuatu. Lantas, pria berandalan itu membuka satu per satu jari-jari tangannya sembari menyebut nama seseorang. "Rose, Anggrek, Lily, Melati, Seruni, Kenanga ...." Zhafran terus membuka satu per satu jari-jari tangannya sembari menyebut nama seorang wanita. Aku meneguk saliva dengan susah payah, mendengar banyaknya daftar wanita yang pernah tidur bersama pria berandalan itu. Habis ke-sepuluh jarinya, Zhafran menuju sofa sampingku. Mendaratkan bokong di situ, lalu membuka sepatu dan kaus kakinya. Kembali dia melanjutkan hitungannya dengan menggunakan jari-jari kakinya juga. Pria aneh! "Amarilis, Alamanda, Lavender, Geranium, Tulip, Bougenville, Kembang Sepatu, Kamboja ....""Hah?" Alisku bertaut sama lain
Aku tidak tahan lagi. Segera membuka kelopak mata. Langsung saja tatapanku disambut oleh rahang tegas Zhafran yang berada tepat di depan mataku. Pria itu sedang mengecup keningku. Begitu lama. Sontak saja desiran aneh menjalar di seluruh pembulu darah. Tubuhku rasanya panas dingin, sedangkan jantung kembali berdegup kencang dan cepat. Aku mengepalkan tangan, berusaha menetralisir perasaan yang melanda. Aku segera menutup mata kembali, kala merasakan Zhafran menarik kepalanya untuk menjauh. Kembali kurasakan pria berandalan itu mengusap puncak kepalaku dengan lembut. Aku rasanya seperti es-krim yang diletakkan di bawah sinar matahari. Zhafran berhasil membuatku meleleh dengan semua tingkah di luar nalarnya malam ini. "Good night, Biang Masalah!" ucap Zhafran lembut sambil terus mengusap puncak rambut berponiku. Aku menahan geli di hati, mendengar julukan Zhafran kepadaku. Berharap dia tidak mengetahui kalau aku sekarang sedang berpura
Zhafran mendongak, menatapku yang berada di atas kepalanya. Tatapan elangnya itu tidak bisa aku artikan. Ada kemarahan, kesenduan, dan kebingungan di dalam sana. Pandangan kami beradu tajam beberapa saat, aku mencoba menyelisik pekat cokelat itu. Mencari apa yang ia sembunyikan di balik netra tajamnya. Dia hendak bangkit berdiri. Namun, aku gegas mencekal lengan kekarnya. Zhafran menatapku tajam, begitu pun sebaliknya. "Lepasin tangan gue! Enggak usah modus!" Zhafran mendengkus seraya mengentakkan tanganku. Dia mengayunkan kaki pergi menjauh. Aku segera mengejarnya. "Apa susahnya, sih, kamu jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu selalu menghindar saat saya bertanya tentang Kak Naila?" Aku bertanya sembari mengejar punggung Zhafran. "Saya yakin, kamu banyak mengetahui tentang apa yang terjadi sama Kak Naila. Saya cuman pengen kamu ngasi tau ...."'Bruk!"Aww!" Aku mengaduh kala Zhafran berhenti tiba-tiba, hingga membuat hidun
Tubuhku menegang disertai dengan mata yang membulat sempurna. Zhafran yang berada tepat di hadapanku juga bereaksi sama. Dia mematung disertai mata yang memelotot sempurna. Hampir saja bola mata Zhafran keluar dari tempatnya. Namun, bersamaan dengan itu, wajah Zhafran juga sedikit memucat. "Saya enggak liat apa-apa ...!" pekikku segera menutup muka dengan kedua telapak tangan. "Shit!" Terdengar Zhafran mengumpat keras. Tangan yang tadinya ia gunakan mendorong bahuku ke lemari, ditariknya. Aku merasakan kain tebal berbulu yang tadinya menimpa kakiku, diangkat. Napas lega ku-embuskan setelahnya. Namun, aku belum berani menurunkan telapak tanganku dari wajah. Degup jantung pun berdebar tidak karuan, membayangkan apa yang barusan sekilas ditangkap oleh netraku. Ya, ketika Zhafran marah dan mendorong tubuhku kasar ke lemari tadi, tiba-tiba saja handuk yang melilit di pinggangnya melorot. Aish! Benaran, aku tidak melihat apa pun.