Beranda / Romansa / Buncitnya Jenazah Kakakku / Bab 7: Hukuman dari Zhafran

Share

Bab 7: Hukuman dari Zhafran

Penulis: Ngolo_Lol
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-15 20:06:31

Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya.

Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.

Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya?

Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku.

Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih!

Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata.

Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar!

Zhafran terus mendekat seraya menatapku tajam, sedangkan aku terus mundur. Tubuhku panas dingin melihat matanya yang setajam anak panah itu. Dia berhasil membuatku ketakutan.

"Mundur!" seruku, balik menatap dia tajam. "Kau mau apa?"

Aku langsung memasang kuda-kuda seraya mengepalkan tangan sejajar dengan dagu. Menatap pemuda itu dengan tajam.

"Kalau kau berani macam-macam, akan saya patahkan tanganmu!" ancamku. Namun, tidak mempan terhadapnya.

Zhafran terus-terusan maju mendekat. Sekarang, posisi kami hanya berjarak dua jengkal saja.

Aku yang takut dia bertindak kurang ajar, langsung melayangkan kepalan kanan di wajahnya. Namun, dia menangkisnya. Aku susul melayangkan tangan kiri, tetapi dia kembali menangkisnya. Kedua pukulanku terhenti di udara. Pandangan kami saling beradu tajam.

Aku mencoba menarik tanganku dari cekalan Zhafran, tetapi dia menggenggamnya erat.

Zhafran menatapku tajam dengan raut wajahnya yang datar, sedangkan aku menatapnya nyalang. Emosiku sudah di ubun-ubun, ingin sekali menghajar pria itu habis-habisan.

"Lepas!" desisku dengan rahang mengeras.

Dia pun langsung melepaskan cekalannya, sesaat sebelum melemparkan seringai kepadaku.

Pria aneh!

"Lo pikir, gue bakalan ngapain lo, hah?" tanya Zhafran seraya menjauh. Seringai kembali dia lemparkan.

Aku membuang muka seraya menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. Sial! Apa yang aku pikirkan tadi?

"Kenapa kamu bawa saya kemari?" tanyaku to the point.

Aku kembali menatapnya tajam, memindai pria itu dari bawah hingga ke atas. Celana jeans robek-robek, kaus hitam tipis, kalung rantai, telinga diantingin, rambut dicat orengs, dan raut muka dingin. Siapa yang tidak akan berpikiran negatif, jika dibawa ke dalam kamar oleh pria seperti itu.

Zhafran tidak menjawab pertanyaanku, dia beralih menuju ke arah jam sembilan. Mendorong sebuah pintu lagi. Ternyata dia pergi ke balkon.

Dia menatapku tajam. Merasa dia memberi kode untuk pergi ke arahnya, aku pun melangkahkan kaki menuju balkon.

"Gue mau lo bersihin kaca jendela kamar gue!" ucap Zhafran dingin. Dia menunjuk salah satu luar jendela dekat balkon.

"Kamu gila, nyuruh saya bersihin jendela itu? Bagaimana caranya?" pekikku tidak terima perintahnya.

"Itu bukan urusan gue. Pokoknya, gue mau lo bersihin jendela itu!" tegasnya. "Ingat, lo di sini cuman sebagai ART, berarti lo wajib nurutin semua perintah majikan. Paham!" lanjutnya berucap angkuh.

Setelah mengucapkan hal itu, Zhafran masuk kembali ke dalam kamar.

Aku berjalan ke pinggir balkon, melihat ke bawah sana. Astaga, tinggi antara balkon ini dengan tanah, lebih dari tiga meter. Bagaimana caranya aku membersihkan jendela itu? Bagaimana jika aku sampai terpeleset pada saat membersihkannya nanti?

Aku juga phobia dengan ketinggian. Saliva kutelan berkali-kali dengan susah payah.

"Ambil ini!"

Tidak lama kemudian, Zhafran kembali muncul dengan beberapa helai lembar berwarna putih di tangannya. Sebuah tisu.

Alisku mengernyit melihat benda yang dipegangnya.

"Untuk apa itu?" tanyaku bingung.

"Buat bersihin dosa lo!" jawabnya.

"Hah?" Aku semakin kebingungan.

"Ya, buat bersihin jendelanya!" jelas Zhafran. "Udah, cepat sana!" lanjutnya dingin.

Aku mengambil beberapa helai tisu itu, mengenggamnya. Pekerjaan macam apa ini?

"Jika saya sampai jatuh, gimana?" cicitku menatap Zhafran dengan wajah memelas. Berharap dia kasihan.

"Bukan urusan gue!"

"Bagaimana kalau saya mati, jika sampai jatuh nanti?" lirihku tetap memasang wajah memelas.

"Lo enggak bakalan mati hanya dengan jatuh diketinggian empat meter. Palingan cuman tulang lo aja yang patah, seperti lo yang udah patahin tulang hidung gue!" ucapnya penuh penekanan.

Jika dipikir-pikir, Zhafran sama sepertiku. Selalu memberikan pelajaran kepada orang yang sudah menyakitinya, tetapi aku-kan cewek. Harusnya dia pandang bulu sebelum membalas.

Pria kurang ajar! Berandalan!

"Kenapa lo malah diam di situ? Sana buruan, bersihin jendelanya!" Dia mendorong lenganku. Membuat diri ini mendekat dengan pinggir balkon.

"Tap-tap-tap ...." Aku menggantung kalimat, merasa gengsi untuk mengatakan phobia pada ketinggian.

"Tap-tap, apa? Mau gue tampar?" serunya dengan mata nyalang.

Sontak aku mengangkat kedua tangan, menutupi kedua belah pipiku.

"Saya takut ketinggian." Aku berucap lirih mengatakan yang sejujurnya. Berharap dia kasihan dan membatalkan perintahnya.

"Justru itu lebih bagus. Supaya lo bisa belajar sebaik-baiknya, buat enggak kurang ajar lagi sama gue!" Dia berucap dengan sombong. Mundur beberapa langkah, lalu duduk di pagar balkon.

"Buruan sana!" perintahnya seraya melipat tangan di dada dan menaikkan sebelah alisnya.

Aku lupa kepada siapa mengharapkan belas kasihan. Mana mungkin pria berandalan itu mengasihaniku.

Perlahan, aku mulai melangkah kaki mendekat ke jendela yang berada di samping balkon. Jantung bertalu-talu pada saat kaki kiri harus kukeluarkan dari balkon, berpijak pada bibir tembok luar dinding yang hanya mampu menampung setengah telapak kakiku saja.

Pandanganku beralih ke bawah, sontak saja jantung bertambah debarannya disusul dengan keringat dingin di tangan dan kaki. Napasku juga mulai sesak.

Posisiku sekarang sudah berada di luar balkon. Tangan kanan mencengkram kuat pada pagar balkon. Kaki kanan masih berada di sela-sela pagar balkon, sedangkan kaki kiriku sudah berpijak pada bibir luar dinding tembok yang luasnya hanya setengah telapak kaki itu saja. Membuatku kaki kiriku harus berjinjit pada saat berpijak.

"Cepat bersihin!" Lagi, Zhafran memerintah. Berseru dengan keras.

Aku menatapnya sekilas. Pandangan mulai kabur sebab mataku mulai berembun. Terlihat, Zhafran menyeringai puas melihat keadaanku yang kesusahan untuk membersihkan jendela.

Dengan tangan gemetar dan lutut yang terasa lemas, aku berusaha mulai mengusap jendela itu dengan tisu, membersihkannya.

Jantungku bertalu-talu melihat pemandangan di bawah. Sekuat apa pun aku mencoba, tetapi tanah selalu menarik perhatianku untuk meliriknya. Begitu dalam. Tangan dan kakiku semakin dingin dan mulai banjir keringat.

"Ibu, Nilfan takut," gumamku. Bayang wajah Ibu yang selalu mewanti-wanti agar aku berhati-hati di kota, terlintas di kepala.

Napasku kian sesak, ditambah dengan penglihatan yang makin memburam. Seluruh mataku dipenuhi oleh bulir air. Saking parahnya phobia yang kualami sampai membuatku seperti ini.

Angin tiba-tiba berembus kencang, hingga membuat poniku tersibak. Bersamaan dengan embusan angin itu, mataku melotot sempurna kala merasakan tangan kananku yang mencengkeram pagar balkon tergelincir dan terlepas!

"Kyaaak!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Reyva
aduh.... beneran jatoh kah???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 112: Sebuah Perasaan

    Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 111: Ungkapan Rasa

    Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 110: Iblis itu Kembali

    Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 109: Tanggapan Orang-orang

    Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 108: Putar Haluan

    Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan

  • Buncitnya Jenazah Kakakku   Bab 107: Dilema

    "Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status