Zhafran mengempaskan tanganku ketika sudah berada di dalam kamar. Dia beralih untuk menutup pintunya.
Pandanganku mengedar ke sekiling. Kamar bernuansa hitam putih yang luasnya sekitar 10×10 ini, penuh dengan dekorasi rock and roll di setiap pojok dan sudut dindingnya.Terlihat di atas nakas sana, foto pria berandalan itu terpajang. Ternyata ini kamar Zhafran. Kenapa dia mengajakku ke kamarnya?Pikiran buruk langsung melintas, memenuhi kepalaku.Setelah menutup pintu, Zhafran mendekatiku dengan raut datar. Tidak ada ekspresi di wajah tampan itu. Eh, tunggu, apa aku barusan bilang dia tampan? Cih!Aku menelan saliva dengan susah payah, menatap pemuda itu dengan waspada. Lantas, pandangan melirik kiri-kanan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata.Aku bukan Kak Naila yang selalu menyelesaikan masalah dengan cara yang lembut. Akan kuberi pria itu pelajaran, jika sampai berani kurang ajar!Zhafran terus mendekat seraya menatapku tajam, sedangkan aku terus mundur. Tubuhku panas dingin melihat matanya yang setajam anak panah itu. Dia berhasil membuatku ketakutan."Mundur!" seruku, balik menatap dia tajam. "Kau mau apa?"Aku langsung memasang kuda-kuda seraya mengepalkan tangan sejajar dengan dagu. Menatap pemuda itu dengan tajam."Kalau kau berani macam-macam, akan saya patahkan tanganmu!" ancamku. Namun, tidak mempan terhadapnya.Zhafran terus-terusan maju mendekat. Sekarang, posisi kami hanya berjarak dua jengkal saja.Aku yang takut dia bertindak kurang ajar, langsung melayangkan kepalan kanan di wajahnya. Namun, dia menangkisnya. Aku susul melayangkan tangan kiri, tetapi dia kembali menangkisnya. Kedua pukulanku terhenti di udara. Pandangan kami saling beradu tajam.Aku mencoba menarik tanganku dari cekalan Zhafran, tetapi dia menggenggamnya erat.Zhafran menatapku tajam dengan raut wajahnya yang datar, sedangkan aku menatapnya nyalang. Emosiku sudah di ubun-ubun, ingin sekali menghajar pria itu habis-habisan."Lepas!" desisku dengan rahang mengeras.Dia pun langsung melepaskan cekalannya, sesaat sebelum melemparkan seringai kepadaku.Pria aneh!"Lo pikir, gue bakalan ngapain lo, hah?" tanya Zhafran seraya menjauh. Seringai kembali dia lemparkan.Aku membuang muka seraya menarik napas dalam-dalam, lalu meniup poni hingga tersibak. Sial! Apa yang aku pikirkan tadi?"Kenapa kamu bawa saya kemari?" tanyaku to the point.Aku kembali menatapnya tajam, memindai pria itu dari bawah hingga ke atas. Celana jeans robek-robek, kaus hitam tipis, kalung rantai, telinga diantingin, rambut dicat orengs, dan raut muka dingin. Siapa yang tidak akan berpikiran negatif, jika dibawa ke dalam kamar oleh pria seperti itu.Zhafran tidak menjawab pertanyaanku, dia beralih menuju ke arah jam sembilan. Mendorong sebuah pintu lagi. Ternyata dia pergi ke balkon.Dia menatapku tajam. Merasa dia memberi kode untuk pergi ke arahnya, aku pun melangkahkan kaki menuju balkon."Gue mau lo bersihin kaca jendela kamar gue!" ucap Zhafran dingin. Dia menunjuk salah satu luar jendela dekat balkon."Kamu gila, nyuruh saya bersihin jendela itu? Bagaimana caranya?" pekikku tidak terima perintahnya."Itu bukan urusan gue. Pokoknya, gue mau lo bersihin jendela itu!" tegasnya. "Ingat, lo di sini cuman sebagai ART, berarti lo wajib nurutin semua perintah majikan. Paham!" lanjutnya berucap angkuh.Setelah mengucapkan hal itu, Zhafran masuk kembali ke dalam kamar.Aku berjalan ke pinggir balkon, melihat ke bawah sana. Astaga, tinggi antara balkon ini dengan tanah, lebih dari tiga meter. Bagaimana caranya aku membersihkan jendela itu? Bagaimana jika aku sampai terpeleset pada saat membersihkannya nanti?Aku juga phobia dengan ketinggian. Saliva kutelan berkali-kali dengan susah payah."Ambil ini!"Tidak lama kemudian, Zhafran kembali muncul dengan beberapa helai lembar berwarna putih di tangannya. Sebuah tisu.Alisku mengernyit melihat benda yang dipegangnya."Untuk apa itu?" tanyaku bingung."Buat bersihin dosa lo!" jawabnya."Hah?" Aku semakin kebingungan."Ya, buat bersihin jendelanya!" jelas Zhafran. "Udah, cepat sana!" lanjutnya dingin.Aku mengambil beberapa helai tisu itu, mengenggamnya. Pekerjaan macam apa ini?"Jika saya sampai jatuh, gimana?" cicitku menatap Zhafran dengan wajah memelas. Berharap dia kasihan."Bukan urusan gue!""Bagaimana kalau saya mati, jika sampai jatuh nanti?" lirihku tetap memasang wajah memelas."Lo enggak bakalan mati hanya dengan jatuh diketinggian empat meter. Palingan cuman tulang lo aja yang patah, seperti lo yang udah patahin tulang hidung gue!" ucapnya penuh penekanan.Jika dipikir-pikir, Zhafran sama sepertiku. Selalu memberikan pelajaran kepada orang yang sudah menyakitinya, tetapi aku-kan cewek. Harusnya dia pandang bulu sebelum membalas.Pria kurang ajar! Berandalan!"Kenapa lo malah diam di situ? Sana buruan, bersihin jendelanya!" Dia mendorong lenganku. Membuat diri ini mendekat dengan pinggir balkon."Tap-tap-tap ...." Aku menggantung kalimat, merasa gengsi untuk mengatakan phobia pada ketinggian."Tap-tap, apa? Mau gue tampar?" serunya dengan mata nyalang.Sontak aku mengangkat kedua tangan, menutupi kedua belah pipiku."Saya takut ketinggian." Aku berucap lirih mengatakan yang sejujurnya. Berharap dia kasihan dan membatalkan perintahnya."Justru itu lebih bagus. Supaya lo bisa belajar sebaik-baiknya, buat enggak kurang ajar lagi sama gue!" Dia berucap dengan sombong. Mundur beberapa langkah, lalu duduk di pagar balkon."Buruan sana!" perintahnya seraya melipat tangan di dada dan menaikkan sebelah alisnya.Aku lupa kepada siapa mengharapkan belas kasihan. Mana mungkin pria berandalan itu mengasihaniku.Perlahan, aku mulai melangkah kaki mendekat ke jendela yang berada di samping balkon. Jantung bertalu-talu pada saat kaki kiri harus kukeluarkan dari balkon, berpijak pada bibir tembok luar dinding yang hanya mampu menampung setengah telapak kakiku saja.Pandanganku beralih ke bawah, sontak saja jantung bertambah debarannya disusul dengan keringat dingin di tangan dan kaki. Napasku juga mulai sesak.Posisiku sekarang sudah berada di luar balkon. Tangan kanan mencengkram kuat pada pagar balkon. Kaki kanan masih berada di sela-sela pagar balkon, sedangkan kaki kiriku sudah berpijak pada bibir luar dinding tembok yang luasnya hanya setengah telapak kaki itu saja. Membuatku kaki kiriku harus berjinjit pada saat berpijak."Cepat bersihin!" Lagi, Zhafran memerintah. Berseru dengan keras.Aku menatapnya sekilas. Pandangan mulai kabur sebab mataku mulai berembun. Terlihat, Zhafran menyeringai puas melihat keadaanku yang kesusahan untuk membersihkan jendela.Dengan tangan gemetar dan lutut yang terasa lemas, aku berusaha mulai mengusap jendela itu dengan tisu, membersihkannya.Jantungku bertalu-talu melihat pemandangan di bawah. Sekuat apa pun aku mencoba, tetapi tanah selalu menarik perhatianku untuk meliriknya. Begitu dalam. Tangan dan kakiku semakin dingin dan mulai banjir keringat."Ibu, Nilfan takut," gumamku. Bayang wajah Ibu yang selalu mewanti-wanti agar aku berhati-hati di kota, terlintas di kepala.Napasku kian sesak, ditambah dengan penglihatan yang makin memburam. Seluruh mataku dipenuhi oleh bulir air. Saking parahnya phobia yang kualami sampai membuatku seperti ini.Angin tiba-tiba berembus kencang, hingga membuat poniku tersibak. Bersamaan dengan embusan angin itu, mataku melotot sempurna kala merasakan tangan kananku yang mencengkeram pagar balkon tergelincir dan terlepas!"Kyaaak!"Tangan kanan yang menjadi pegangan terlepas. Membuat kedua kakiku juga tergelincir. Aku terjatuh."Kyaaak!"Sempat kulihat Zhafran berlari ke arahku dengan ekspresi tegang, sesaat sebelum aku menutup mata. Tidak berani melihat akan seperti apa tubuhku nanti terhantam oleh tanah. Pasti akan sangat menyakitkan dengan tulang-tulangku yang akan patah.Puluhan detik berlalu, belum juga kurasakan tubuhku menghantam tanah atau kesakitan. Aku masih sama, menutup mata dengan tubuh menegang. Belum berani untuk membuka mata. "Naila ...."Suara lembut seseorang menyapa telingaku. Perlahan, aku membuka mata. Menampilkan pria berwajah oval, alis tebal, hidung mancung, serta berahang tegas. Mata cokelatnya dinaungi oleh bulu mata yang tebal. Untuk sesaat, aku merasa nyaman berlama-lama memandang mata teduhnya. Mata itu juga memandangku penuh binar, entah kenapa? Aku beralih memandang ke atas, tempat di mana aku terja
Sontak aku mengangkat kepala, alis kembali mengernyit mendengar perkataan Bryan. Dari mana dia tahu misiku yang sebenarnya ke rumah ini? Mataku mendelik, menatap mata teduh Bryan dengan tajam, sedangkan dia tetap menatapku lekat. Berekspresi santai. 'Apakah saya harus jujur atau mengelak?' batinku bertanya-tanya. Aku menghela napas dalam. "Untuk bekerja," jawabku kemudian. "Ok." Bryan hanya menyahut singkat, lalu melanjutkan makan. Aku pikir akan gampang menemukan pelaku yang bertanggung jawab atas kepergian Kak Naila, tetapi ternyata aku salah. Terlalu banyak tanda tanya. Terlalu banyak teka-teki di rumah ini. Keluarga ini juga menurutku sedikit aneh. Bagaimana mungkin seorang petugas kepolisian bisa seatap dengan seorang berandalan. Kakaknya anggota kepolisian, sedangkan si adik seperti berandalan. "Semoga betah bekerja di sini."Selesai makan, Bryan berucap. Melirikku sekejap, lalu pergi dari
Aku ingin sekali melihat keadaan di dalam. Namun, celah pintu ini begitu kecil, aku tidak bisa melihat siapa pun di dalam sana. Hanya bisa mendengar suara mereka berdua. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menepuk pundak. Karena masih sibuk menguping pembicaraan di dalam, aku hanya menempelkan telunjuk di bibir seraya berkata, "shuut!" Tanpa menoleh untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Orang itu kembali menepuk pundakku, bertambah keras. Aku kesal padanya yang menganggu acara mengupingku. Segera aku berbalik dengan ekspresi kesal. "Apa s---" Aku menggantung kalimat dengan mata membulat, melihat Zhafran yang berada di belakangku. Aku menelan saliva dengan susah payah. Sangat malu karena ketahuan sedang menguping, sedangkan Zhafran seperti biasa, menatapku datar. "Lo ngap---"Belum sempat Zhafran menyelesaikan kalimatnya, gegas aku berjinjit dan membekap mulutnya. Menempelkan kepalanya ke dinding. "Pliss, shuutt, diam." Mata elang Zhafran membulat mendapat serangan ti
Setelah mengucapkan hal tersebut, pria berambut putih itu, pergi begitu saja. Meninggalkan aku dengan berbagai pertanyaan di kepala. Gegas aku mencekal tangan pria tua itu. "Maksud Bapak, apa, yah?" Alisku bertaut. Mata tuanya itu menatapku dalam, seakan-akan mengasihani diri ini. "Di dalam rum---"'Beep!'Suara klakson mobil, membuat perkataan bapak pemulung itu terpotong. Aku berbalik, melihat si penimbul suara. Terlihat tuan dan nyonya rumah besar ini, bersiap-siap keluar rumah setelah pintu gerbang di buka lebar-lebar oleh satpam. Aku hanya menatap diam mobil sedan berwarna putih itu melaju menjauh. "Oh, iya, Pak, ada apa dengan rumah it---"Ketika berbalik, menanyai bapak pemulung tadi. Namun, ia sudah tidak ada. Pergi entah ke mana. "Siapa orang tua tadi? Tahu apa dia tentang orang-orang rumah ini? Kenapa dia menyuruhku berhati-hati?" Pikiranku kembali dipenuhi tanda tanya.
Lewat ekor mata, aku melihat Zhafran terhenti di ambang pintu. Aku tetap melanjutkan salat, tanpa peduli dengan kehadirannya. Ya, rencanaku ialah, ketika Zhafran marah dengan apa yang kulakukan, aku akan berpura-pura salat. Ralat, aku memang belum melaksanakan salat isya malam ini. Berharap ketika melihatku salat, Zhafran tidak jadi menghukumku. "Sial!" Zhafran memukul pintu hingga berdentam. Napasku tertahan di tenggorokan, merasa terkejut dengan suara yang timbul. Namun, tetap berpura-pura fokus dengan gerakan salat-ku. Zhafran belum juga pergi dari ambang pintu, sedangkan gerakan salatku sudah masuk rakaat kedua. Aku sengaja berlama-lama membaca bacaan, agar salatku lebih lama selesainya. Setidaknya, sampai Zhafran lelah berdiri di ambang pintu kamarku dan amarahnya mulai padam. Bi Inah tidak terlihat ikutan datang kemari. Entah dia tidak mau ikut campur dalam masalah ini atau dia takut untuk ikut campur. Ya, sadar, kali ini aku y
Seluruh tubuhku tenggelam. Tanganku meraih-raih, sedangkan kaki menendang-nendang, berusaha mencari pijakan. Aku meneguk dan menghirup air dalam jumlah yang besar. Membuat dada terasa sesak, hidungku pun perih. "Tol-looong ...!" Aku berusaha berteriak. Berharap ada yang datang menyelamatkanku. Perlahan pandangan mulai memburam, lalu aku kehilangan kesadaran. "Bangun!"Samar-samar terdengar suara pria berseru, pipi ini ditepuknya. Ingin membuka mata, tetapi rasanya begitu berat. Aku juga merasa tubuh ini sangat lemas. Terasa juga ada seseorang yang menekan dadaku. Lantas, orang tersebut mengatur kepalaku, mengangkat dagu dan memencet hidungku. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Samar-samar terlihat wajah pemuda berandalan itu datang mendekat ke wajahku. Bahkan, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Mataku membulat sempurna melihat perlakuannya yang kurang ajar itu. Aku terbatuk mengeluarkan air dari mulut. Dengan marah, aku mend
Mendengarku bertanya, Zhafran sedikit terkejut. Mungkin dia tidak menyadari, jika aku juga menyimak dan mendengar suaranya yang pelan tadi. Dia menatapku sekilas. Aku lihat, pandangannya seperti sedikit mengasihaniku. Namun kenapa? Atau mungkin aku yang salah tanggap? "Hantu. Di kolam renang sana, ada penunggunya." Zhafran menjawab malas. Lantas, pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan penuh tanda tanya. Aku tahu, Zhafran hanya menjawab asal pertanyaanku tadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya, tetapi apa? Selepas kepergian Zhafran dari kamar ini, aku berusaha berdiri mengambil pakaian di dalam koper. Sudah beberapa hari aku di kota. Namun, belum memindahkan pakaianku ke lemari. Selain malas, lemarinya juga dikunci. Aku belum melihat barang-barang peninggalan Kak Naila di dalam sana. Aku lupa menanyakan kunci lemari itu pada Bi Inah. "Apa benar yang mendorongku tadi hantu?" gumamku sambil memakai sweater hijau. Aku meng
Aku menatap lekat Bryan, lalu beralih memandang sapu tangan maroon saling bergantian. 'Apa Bryan yang mendorongku semalam?' batinku bertanya-tanya. Aku mundur beberapa langkah, memandang kedua saudara itu saling bergantian dengan mata berembun. Tiba-tiba kepalaku kembali memberat dan pusing. Lantas, kegelapan datang menelanku. ****Perlahan kubuka kelopak mata, mengedarkan pandangan. Sebuah ruangan asing yang bernuansa putih. Aku mengerjap berkali-kali, merasakan kelopak mata begitu panas. Tubuhku begitu lemas, perut juga terasa perih, belum terisi makanan. "Lo udah sadar?" Terdengar suara Zhafran bertanya. Dia baru saja datang sambil membawa kantung kresek putih. Zhafran duduk di samping ranjangku seraya meletakkan kantung. Dia mengeluarkan beberapa buah dari dalam kantung."Lo sukanya buah apa?" Zhafran memperlihatkan buah apel dan jeruk di kedua tangannya. Aku hanya diam, memandangnya lem