Share

Bab 6: Tak Sengaja Mencari Masalah

Pikiranku seketika melayang ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya setelah sehari dikebumikannya Kak Naila. Aku teringat dengan Zhafran yang datang ke kampung waktu itu. Ada urusan apa ia sampai datang ke kampungku?

"Nilfan, sudah selesai belum?" tanya Bi Inah membuyarkan lamunanku.

Segera aku memberikan sayurannya. "Ini, Bi."

"Lanjutkan, Nil. Masak sayurannya sana!" ucap Bi Inah tanpa menoleh. Dia tetap fokus membuat ayam goreng.

"Bi, emm ...." Ragu-ragu aku berucap.

"Apa?" Bi Inah menoleh, mengahadapku.

"Kak Naila ... punya pacar enggak, Bi?" tanyaku mencoba memancing, kira-kira Kak Naila ada hubungan dengan Zhafran atau tidak.

Seketika raut wajah Bi Inah berubah. Tadinya wajah itu terlihat santai, tetapi sekarang berubah tegang.

Mataku menatapnya tajam, menyelisik wajah Bi Inah. Melihatku yang menatapnya tajam, wanita itu langsung melirik kiri-kanan, seperti orang yang sedang berusaha mencari sebuah alasan.

"Bi!" ucapku setengah membentak.

"Ah, iya, enggak ada, Nil. Kamu tau sendiri, 'kan, Naila itu gadis pemalu. Mana mungkin dia berani pacaran." Bi Inah menjawab seraya membelakangiku, dia kembali menggoreng ayam.

Jawaban yang diberikan Bi Inah, sangat tidak memuaskanku!

Bukan jawaban itu yang kucari. Entah kenapa, aku merasa Bi Inah tahu sesuatu tentang di balik kematian Kak Naila. Dia juga seperti menyembunyikan banyak hal dariku.

"Bagaimana bisa, Kak Naila kecelakaan?" tanyaku lagi.

"Ya, kan, waktu itu Bibi sudah bilang di telepon, Nil. Naila hari itu sedang pergi ke pasar seperti biasanya, buat beli bahan-bahan di dapur. Naasnya, kemalangan menimpanya, Na-Na ...." Bi Inah tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, dia terisak.

Tidak bisa dipungkiri, mereka berdua sudah begitu dekat selama Kak Naila menjadi partner kerjanya. Apalagi Bi Inah tidak mempunyai anak. Pasti Bi Inah sudah menganggap Kak Naila sebagai anaknya sendiri.

Aku mengembuskan napas kasar, kesal tidak mendapat jawaban. Sempat kupikir, Bi Inah bersengkongkol dengan si pelaku, tetapi apa untungnya? Dan apa motifnya? Ah, spekulasi yang buruk.

"Terus, si penabrak itu gimana, Bi?" Aku kembali melemparkan pertanyaan.

Bi Inah juga sudah menghentikan tangisnya. Dia kembali memandangku.

"Buat apa kamu tanya-tanya hal itu, Nil? Apa kamu belum mengikhlaskan kepergian kakakmu?" tanya Bi Inah balik.

"Kita semua hanya manusia biasa. Tidak ada yang tau, kapan maut akan menghampiri kita. Yang terjadi sama Naila itu kecelakaan. Kamu harus mengikhlaskannya! Jangan sampai arwahnya tidak tenang karena kamu yang masih belum mengikhlaskannya," lanjut Bi Inah berceramah.

'Saya sudah mengikhlaskan kepergian Kak Naila, jauh dari sebelum Bibi mengatakan hal itu. Tapi, saya tidak mengikhlaskan pelaku yang melenyapkan Kak Naila berkeliaran bebas di luar sana!' batinku menatap tajam wajan yang berisi sayuran. Emosi tiba-tiba mengendalikanku.

"Astaga ... Nil!" pekik Bi Inah.

Sontak aku menatapnya dengan kebingunan.

Gegas Bi Inah mengangkat tumis sayuranku yang sudah gosong.

Astaga, aku lupa menuangkannya air!

"Kamu kenapa ceroboh sekali, Nil?" Bi Inah berdecak, menatapku kesal.

"Maaf."

Setelah mengucapkan hal itu, aku memilih keluar dari dapur. Meninggalkan Bi Inah yang masih sibuik dengan beberapa masakan. Jika aku masih tetap berada di dapur, kemungkinan besar emosiku akan meledak sebab tidak mendapatkan apa yang kucari.

Entah kenapa, aku perhatikan Bi Inah seperti menyembunyikan sesuatu. Sangat terlihat jelas dari wajahnya yang berubah tegang tadi. Aku juga merasa Bi Inah mencoba mengalihkan pembicaraan ketika aku bertanya tentang orang yang menabrak Kak Naila. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja?

Aku mengembuskan napas kasar. Langkah kaki membawaku ke taman depan rumah. Melihat ada kerikil di hadapan, aku menendangnya keras sebagai wakil kekesalan karena tidak menemukan jawaban yang kuinginkan.

"Aooww!"

Tidak lama setelah melayangnya kerikil yang kutendang tadi, suara seseorang berseru kesakitan terdengar. Suaranya terdengar familier.

Oh, tidak, Jangan-jangan itu dia?

Gegas aku berjinjit, mencoba mencari si korban dari kerikil yang kutendang.

Di depan sana, di balik beberapa tanaman bunga mawar, terlihat kepala Zhafran menyembul berdiri. Bersamaan dengan terlihatnya kepala Zhafran, aku bergegas menunduk, berjongkok.

"Astaga ... bagaimana ini? Dia pasti akan sangat marah sekali denganku. Ini sudah kedua kalinya saya membuatnya kesakitan. Tiga kali dengan beberapa minggu yang lalu. Eh, tapi, kan, waktu itu dia yang salah."

Aku bergumam, berbicara sendiri sembari melangkahkan kaki dalam keadaan berjongkok menuju ke tanaman lidah mertua. Bersembunyi di sana.

"Ya Allah, saya harap itu berandalan enggak nemuin saya," mohonku menengadahkan tangan di atas.

Di saat menengadahkan tangan dan wajahku mendongak ke atas, wajah Zhafran terlihat dari balik tanaman lidah mertua.

Oh, tidak, aku ketahuan!

"Lo ngapain di situ?" tanyanya penuh penekanan. Matanya menatapku tajam. Sesekali dia menyapu-nyapu kepala bagian kirinya.

Perlahan aku bangkit dari berjongkok, cengar-cengir tidak jelas. Mencoba menetralkan perasaan yang ketakutan. Aku tidak akan takut, jika tidak bersalah. Namun, kali ini aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku menendang kerikil sembarangan.

"Siapa yang ngelemparin gue pake batu tadi?" tanya Zhafran seraya bertolak pinggang. Matanya semakin menajam. Ibarat anak panah yang siap dilemparkan.

Aku menelan saliva susah payah, menggaruk kepala yang tidak gatal. Mencoba mencari alasan.

"Siapa?!" bentaknya yang langsung membuatku terlonjak kaget.

Sontak mataku membulat dibuatnya, jantung langsung berdebar kencang. Entah kenapa, aku ketakutan. Baru kali ini aku dibentak oleh seorang pria. Suara bariton-nya begitu besar, hingga menggetarkan jantung.

"Maaf ...," cicitku menatapnya lekat.

"Lo bilang maaf?" Dia bertanya dengan wajah mengejek.

"Maaf, saya enggak sengaja." Lagi, aku mengucapkan kata maaf. Harusnya itu sudah lebih dari cukup. Seorang Nilfan sangat jarang meminta maaf kepada seorang cowok.

"Lo udah tiga kali kurang ajar sama gue, dan gue sama sekali belum balas perbuatan lo itu." Dia berucap penuh penekanan. Wajahnya dimajukan mendekat denganku.

Aku menarik kepala sedikit ke belakang, merasa risi sedekat itu dengan wajahnya.

"Jangan lo pikir gue diam aja, terus lo bisa bertindak seenaknya?" lanjut Zhafran.

Aku menggeleng cepat mendengar perkataannya.

"Sungguh, saya benar-benar enggak sengaja. Lagipula saya sudah minta maaf. Kepalamu juga nggak kenapa-napa. Masih utuh, 'kan?" Aku berucap cepat dan asal bicara.

'Ah, Nilfan, dasar bodoh, kau bicara apa, sih? Kau mencari masalah baru saja!' rutukku dalam hati.

Mendengar perkataanku yang asal, mata Zhafran berubah nyalang menatapku. Terlihat rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal erat.

"Lo benaran songong, yah, anaknya. Udah salah, malah nyolot lagi!" geramnya. "Lo enggak takut sama gue? Hmm!" Dia maju mendekat. Sangat dekat.

Aku mundur dan dia terusan maju mendekat. Sekarang, punggungku terbentur tiang rumah yang menjulang tinggi.

Oh, tidak, aku terjebak!

"I-ibuku pernah bilang, 'takut itu hanya kepada Allah, bukan kepada berandalan', ops!" Gegas aku menutup mulut, kala tidak sengaja mengucapkan kata berandalan.

Haish, susah kalau punya mulut terlalu jujur!

Lagi pula, aku heran dengan penampilan cowok itu yang seperti berandalan, sedangkan dia tinggal di istana.

"Huh, sepertinya kau benar-benar ingin diberi pelajaran." Zhafran menyeringai, lalu mencekal erat lenganku.

Aku memukuk tangannya, tetapi dia malah menarikku masuk ke dalam rumah.

"Lepas!" seruku, tetapi Zhafran bergeming dan terus menarikku ke suatu ruangan.

Kini, kami sudah melewati tangga, naik ke lantai atas.

"Lepas! Kau mau membawaku ke mana?" seruku sembari terus memukul keras lengannya. Namun, pemuda itu seperti kebal dengan pukulanku.

Sembari mencekal lenganku erat, dia membuka pintu di hadapannya. Lantas, kembali menarik tanganku masuk ke dalam kamar.

Astaga ... pelajaran apa yang akan dia berikan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status