Share

2. Pertemuan

Bunga ilalang

Part 2. Pertemuan

"Syahdu ..." Dadaku seperti tertekan beban Berton - ton. Terasa menyesakkan dengan penyesalan dan rasa bersalah yang entah apa aku bisa menebusnya.

Sebuah kenyataan pahit bahwa aku punya seorang anak dari perempuan berkelainan yang kusebut gila.

Aku berusaha mengendalikan diri , bersikap biasa di depan Embah walaupun sebenarnya tubuh ini ingin meluruh bersujud memohon ampun atas azab ini.

"Lalu, Mbah? Bagaimana nasibnya Syahdu?" tanyaku menahan rasa pilu yang menyesakkan.

"Akhirnya ada laki - laki yang mau menikahi Syahdu."

"Syahdu sudah menikah berarti, Mbah?" tanyaku berdebar.

"Iyo, Le. Sudah. Pernikahan yang disembunyikan. Entah alasan bapaknya Syahdu apa. Tak ada perayaan, tak ada undangan. Kita sekampung saja nggak ada yang tahu siapa suaminya Syahdu. Yang jelas bukan orang kampung sini tapi orang jauh.

Syahdu langsung diboyong ikut suaminya. Tiga bulan dari pernikahannya, bapaknya Syahdu meninggal. Setelah itu rumah, semua kebun jambu mete dan pabriknya dijual oleh suami Syahdu. Setelah itu tidak ada khabarnya lagi sampai sekarang."

Duh Gusti ...

Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan semua ini. Perbuatanku yang hanya sekejap tapi mampu meluluh lantakkan hidup Syahdu. Entah bagaimana nasibnya sekarang. Tapi perasaanku mengatakan Syahdu tidak dalam keadaan baik - baik saja.

"Kasihan ya, Mbah," Aku berusaha menyembunyikan rasa bersalahku.

"Iyo, Le. Mbah juga kangen bocah kae (itu). Biasane srunthal - srunthul mlebu omah kene ( biasanya sering masuk rumah sini). Terakhir kesini, Syahdu kayak orang bingung, tau - tau masuk rumah kayak nyari sesuatu. Bahkan masuk kamar nyari di kolong tempat tidur. Embah tanya

'Nyari Opo, Nduk? Dolananmu ilang neng kene?' ( Nyari apa, Nduk? Mainanmu hilang di sini?' Bocahe cuma manthuk - manthuk ( menggangguk).

Mbah yo nggak ngerti dolanan Opo sing ilang."

"Aku, Mbah. Aku yang di cari Syahdu," kata - kata yang hanya sampai di tenggorokan, tiba - tiba aku sangat merindukan Syahdu.

Menjelang pernikahanku yang seharusnya mempersiapkan segalanya, tapi aku berpacu dengan waktu mencari jejak Syahdu. Kutelusuri di bekas rumahnya, di pabrik bapaknya, di kebun jambu mete. Tapi tak ada satu pun informasi yang kudapat. Syahdu seperti hilang di telan bumi.

"Sejak dinikahkan, sudah tidak ada lagi khabar Mbak Syahdu, Mas," tutur satpam di pabrik.

Aku putus asa. Akhirnya aku harus menjalani pernikahan dengan memendam rahasia besar dan tanda tanya tentang keberadaan Syahdu. Kembali aku diliputi rasa cemas dan ketakutan. Menikmati malam pertama dan malam malam berikutnya tanpa kenikmatan sedikit pun. Pikiranku dipenuhi dengan Syahdu, Syahdu dan Syahdu ...

Sampai kami semua kembali ke Bekasi serta Arumi yang kuboyong sekalian. Seperti biasa ayah yang hanya menginap di rumah sehari kemudian ke luar kota nginap berhari - hari. Bagi Ibu itu sudah biasa jadi tidak di persoalkan.

Pagi yang cerah aku habiskan di kamar berduaan dengan Arumi.

"Mas, kenapa Mas Banyu harus pakai pengaman?"

"Aku belum siap punya anak, Rum. Nanti ya setelah kita lulus dan sudah siap materi."

"Anak punya rejekinya sendiri, Mas. Sebenarnya aku tidak setuju kita menunda - nunda anak. Kita biarin saja mengalir apa adanya. Kita pasrahkan sedikasihnya karena anak adalah rezeki kita."

"Kita masih muda, umur kita baru 20 tahun, Rum. Kita perkokoh pernikahan kita dulu juga perkokoh keuangan rumah tangga kita," jawabku yang tidak semuanya benar, Syahdu itulah alasanku.

"Terus ngapain kita nikah kalau nggak pengin punya anak?"

" Pengin ... Aku pengin punya anak. Tapi bukan sekarang. Yang terpenting dari pernikahan ini, kita terhindar dari zina."

Obrolan kami di hentikan oleh teriakan ibu.

"Banyu, coba ke sini dulu!"

"Iya, Bu. Ada apa?" Kulihat Ibu tergopoh - gopoh menghampiriku.

"Itu ada kiriman barang. Kamu dan Arumi yang beli? Coba kamu lihat dulu sana."

"Banyu nggak pesen apa - apa, Bu." Lalu kami ke depan.

Terlihat seorang kurir membawa sebuah almari pakaian untuk anak - anak.

"Iya, Mas. Ini kiriman dari siapa untuk siapa Mas?"

"Dari Pak Sandi atas nama Pak Guruh."

"Iya, benar ini rumah Pak Guruh. Tapi barangnya kok tidak sesuai ya, Mas. Di sini tidak ada anak kecil. Adik saya sudah SMP. Kayaknya nggak cocok kalau pakai lemari itu."

"Sebentar ya, Mas. Saya telepon Pak Sandi dulu." Tak berapa lama, sambil menerima telfon, terlihat Mas Kurir mencatat alamat yang di maksud.

"Maaf, Mas. Ternyata Pak Sandi salah info. Seharusnya di kirim ke rumah Pak Guruh yang satunya."

"Rumah yang mana? Ayah punya rumah lagi selain ini?" tanyaku terkejut dengan penjelasan kurir.

"Kurang tahu, Mas. Ini saya dikasih alamat rumah Pak Guruh yang di Jonggol," ucap Mas kurir sambil menyodorkan kertas, kuambil gadgetku dan kupotret alamat itu.

"Banyu, kenapa ayahmu nggak pernah cerita soal rumah itu? Dan almari itu buat siapa? Kenapa ibu punya firasat buruk." Wajah Ibu terlihat pucat dan cemas.

"Tenang , Bu. Ibu jangan berpikir yang macam - macam dulu. Kita harus yakin Ayah orang baik. Tapi Banyu akan selidiki rumah itu. Ibu nggak usah kuatir ya." Aku mencoba menenangkan Ibu.

Siangnya aku berangkat ke Jonggol sendirian. Sepanjang jalan aku berdoa semoga pradugaku salah. Aku masih ingin memiliki keluarga yang utuh tanpa adanya orang ketiga.

Setelah bertanya entah berapa orang tadi, aku sampai di rumah yang besar yang terletak bukan di perkotaan tapi di pelosok yang masih sejuk hawanya.

Terlihat dari kaca mobil, seorang perempuan muda sedang menemani bermain anak perempuan yang masih batita. Hatiku berdebar. Wanita simpanan yang sering kudengar dari berita - berita, apa mungkin sekarang ayahku juga punya. Ya Allah semoga pikiranku ini salah.

Aku beranikan diri keluar mobil dan mendekati perempuan itu.

"Assalamu'alaikum, permisi," sapaku yang membuat wanita itu menoleh padaku lalu berdiri.

Mataku membulat tak percaya, jantungku berdebar kencang. Dia terpaku menatapku, dengan wajah yang penuh lebam.Tiba - tiba dia berlari ke arahku memelukku erat sambil menangis sesenggukan.

Walaupun sudah dua tahun dan cuma ketemu sekali, ternyata dia tidak pernah melupakan wajahku. Syahdu ... Perempuan penghuni hatiku sekarang sudah berdiri di depanku. Seperti ada sebuah ikatan di antara kami, sama - sama ingin melampiaskan rindu yang sudah lama tertahan.

Bahkan aku lupa dengan statusku yang sudah menikah. Kubiarkan Syahdu berlabuh di dadaku, memeluknya erat. Kami pun larut dalam penyatuan rasa yang entah aku sampai tidak bisa mendefinisikan rasanya.

Tak ada kata dari mulut Syahdu. Hanya suara tangis yang begitu menyayat seolah ingin melampiaskan kesedihan dan penderitaannya selama ini. Sebuah teriakan membuyarkan penyatuan kami.

"Syahdu, apa - apaan kamu. Lepaskan dia!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status