Share

Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa
Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa
Penulis: Anatasia Etik Pratiwi

1. Hilangnya mahkota

BUNGA ILALANG

Part 1

"Mbah, itu kenapa ada seorang gadis ikut bermain sama anak-anak? Aneh ...," tanyaku pada Mbah putri yang sudah sepuh, memakai kain jarit dengan rambut putih disanggul dan akulah Banyu Biru, pelajar SMA yang sebentar lagi lulus, cucu kesayangan Mbah Sinem.

Ada yang janggal ketika menatap kerumunan anak-anak yang sedang bermain di bawah pohon mangga di halaman rumah Embah.

Seorang gadis cantik dengan kulit putih bersih bak pualam, tubuh tinggi semampai dengan rambut ikal yang tergerai panjang ikut bermain bersama mereka. Padahal sepertinya gadis itu seumuran denganku.

"O itu. Namanya Syahdu. Dia memang beda dengan gadis normal. Ada kelainan, Le."

"Edan, Mbah? (Gila, Mbah) tanyaku dengan mata melotot.

"Bukan gila, hanya tingkah dan pikirannya seperti bocah."

"Tapi penampilannya bersih dan terawat ya, Mbah. Nggak kayak wong edan."

"Dibilangin ora edan. Dia itu anak tunggal orang terkaya di kampung sini. Anak juragan mete. Punya kebun pohon mete berhektar - hektar dan punya pabrik yang mengolah biji mete sampai jadi mete mateng. Ibunya sudah meninggal waktu melahirkan dia. Ayu yo, Le. Mau Mbah kenalin?"

"Nggak, Mbah. Takut dikejar - kejar wong edan aku," jawabku gengsi, padahal dalam hati penasaran.

Malamnya, kenapa aku jadi susah tidur gara - gara membayangkan wajah wong edan itu. Kuakui dia memang cantik. Seumur - umur baru kali ini aku melihat wanita secantik itu. Gadis Ndeso tapi ora ndesoni. Bening. Teman tercantik di sekolahku saja kalah.

Pagi hari,

"Le, Embah ke sawah dulu ya. Ayo, ikut!"

"Nggak, Mbah. Masih capek karena perjalanan jauh kemarin. Banyu jaga rumah saja ya, Mbah," jawabku yang memang baru terasa capeknya setelah perjalanan pertamaku sendirian, Bekasi - Wonogiri dengan naik bus kemarin.

"Ya sudah. Kamu istirahat saja. Makanannya sudah Mbah siapin di dapur."

Sepeninggal mereka, aku tiduran saja di kamar sambil berselancar di dunia Maya. Melihat yang tidak-tidak membuat aku berpikir yang tidak tidak juga.

Tiba-tiba terdengar suara gedebag gedebuk seperti langkah kaki yang terburu-buru masuk ke rumah. Sengaja memang pintu rumah tidak kututup supaya bisa merasakan semilirnya angin. Toh kata embah di kampung ini aman.

Jantungku seperti mau copot karena terkejut, seorang gadis tiba-tiba sudah masuk ke kamarku lalu menutup pintu kamar. Seolah tak peduli ada manusia yang terbaring di ranjang. Aku seperti dianggap hantu yang tak terlihat.

"Hooi!!! Ngapain masuk nyelonong saja ke kamar laki-laki!" teriakku dengan mata yang sudah melotot lebar tapi sepertinya dia tidak takut.

"Ssst ... diem! Jangan berisik! Nanti ketahuan sama teman temanku," ucapnya lirih dengan nada khas anak-anak sambil menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya

Kemudian dia mengendap endap ke arah jendela, mengintip ke luar. Dari belakang aku tidak bisa menahan untuk tidak menatap tubuhnya yang hanya berbalut t shirt warna putih dan celana pendek sepaha yang memamerkan kaki jenjangnya yang putih mulus. Dadaku berdesir ... menelan saliva

Menikmati sebuah obyek yang sangat pas dengan pikiranku yang tidak-tidak tadi.

Mimpi apa aku semalam, disuguhi makhluk secantik ini di kamar. Darah mudaku tiba-tiba bergelora, desiran-desiran aneh menyisir di sekujur tubuh. Syahwatku bergejolak tak tertahan.

"Syahdu, duduk sini," panggilku berdebar debar dengan nafas yang semakin memburu.

Syahdu menuruti perintahku, berjalan ke ranjang tanpa sungkan. Padahal ini adalah pertemuan pertama kita tanpa kenalan. Lalu dia duduk di depanku. Menatap mata Syahdu, setan menguasai pikiran dan tubuhku. Kukecup bibirnya dan aku pun terlena ... begitu cepat ...

.

.

.

Dan terjadilah, kurenggut mahkotanya tanpa paksaan. Pasrah tanpa meronta. Syahdu terdiam setelah merintih sebentar. Bahkan wajahnya terlihat merona..Aku yang sangat menyesal, tapi Syahdu terlihat biasa saja. Tak ada tangis, tak ada wajah kehilangan.

"Syahdu, maafkan aku ya. Aku khilaf. Aku sudah merusakmu," lirihku terisak sambil memeluknya erat, sungguh aku sangat menyesal meskipun aku baru mengenalnya.

Setelah kulepas pelukanku, Syahdu menatapku kosong tapi ketika senyumnya melengkung manis, aku bisa merasakan kebahagiaannya. Seolah sebuah ucapan terima kasih entah untuk apa.

"Yang tadi namanya permainan apa?" tanyanya polos yang semakin membuat dadaku nyeri disayat rasa bersalah, kenyataannya dia tidak tahu apa - apa.

"Besok main seperti tadi lagi ya," ucapnya dengan tatapan memohon.

Syahdu beranjak dengan jalan yang sedikit beda. Sepertinya masih menahan sesuatu di bawah perut.

"Syahdu, sebentar!" Kuhampiri dia lalu kurapikan rambutnya yang acak - acakan dengan jemariku.

Aku juga merapikan bajunya yang masih belum pas. Terlihat Syahdu menatapku beda. Bukan tatapan kosong lagi. Seperti tatapan harapan dan haru. Apa mungkin gadis tidak normal seperti Syahdu bisa jatuh cinta? Tiba - tiba sebuah kecupan sudah mendarat di pipiku, membuatku tersentak, mengerjap.

Dengan tersipu, Syahdu pun kemudian berlari meninggalkanku. Bermain kembali di halaman seperti tidak pernah terjadi apa - apa. Aku menatapnya dari balik jendela dengan perasaan campur aduk.

Apa yang sudah terjadi baru saja, seperti mimpi, begitu cepat tapi meninggalkan kesan yang dalam.

Aku berusaha menepis rasa bersalah dan dosa. Rasa bahagia yang tak kupungkiri, merasakan sesuatu yang selama ini hanya terpendam sebatas mimpi. Tapi hari ini, aku mengalaminya. Begitu indah ... bahkan getaran dan desiran itu masih terasa.

Syahdu yang tak kukenal dan tak normal sekejap menjadi wanita paling istimewa di hatiku. Pertemuan dan pengalaman pertama di usia muda ... dengan cinta pertama.

Tiba-tiba rasa takut menyelinap dalam kebahagiaanku. Bukan takut dosa tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Syahdu. Bagaimana kalau dia hamil. Bagaimana kalau dia mengadukanku pada ayahnya. Aku mulai cemas ...

Besoknya kuputuskan pulang ke Bekasi. Seperti seorang pencuri yang berusaha kabur. Kenyataanya aku memang tidak siap menghadapi akibat dari perbuatanku. Aku ingin lari dari rasa takut.

"Piye to, Le. Katanya mau liburan di sini lama. Lha kok mendadak mau pulang, nggak betah di kampung?"

"Ini ada pemberitahuan mendadak dari sekolah, Mbah. Disuruh ke sekolah secepatnya, ada yang perlu diurus untuk persyaratan kelulusan." Aku sudah lihai berbohong.

"Yo, wis. Hati-hati. Lebaran nanti ke sini lagi ya, Le. Nengok Embah."

"Iya, Mbah. InsyaAllah."

Sesampai di Bekasi, nyatanya rasa takut dan cemas itu terus mengikutiku. Bahkan membuatku sulit tidur. Aku terserang insomnia yang membuat hidupku berubah. Masa remajaku tak ceria lagi. Kebersamaan bersama teman - teman pun tak bisa kunikmati.

Aku memilih lebih banyak di rumah, mengurung dikamar dengan badan letih, lemas dan kantuk yang tak terobati.

Aku mulai browsing untuk mencari obat kecemasanku. Inikah akibat dari zina? Aku telah melakukan dosa besar. Aku bersimpuh menangis memohon ampun, menyesali perbuatanku.

"Ampuni hambaMu ini ya Alloh. Hamba mohon ketenangan,"

Taubat ... Itulah obatnya. Kulakukan sholat taubat Nasuha, memperbanyak dzikir dan membaca Qur'an. Alhamdulillah, rasa tenang mulai menyusup di relung hati. Adem. Aku mulai bisa tidur.

Satu yang ingin kulakukan, segera bekerja supaya bisa menikahi Syahdu. Itu satu - satunya cara untuk menebus kesalahanku.

Setelah lulus SMA, aku pun bekerja di salah satu PT di Bekasi sebagai operator. Tapi itu tak lama. 6 bulan kemudian, Ayahku mendadak kaya raya. Kehidupan kami berubah drastis. Kami pindah ke rumah yang sangat besar. Ayah juga beli mobil 2. Satu buatnya, satu buat di rumah. Walaupun sekarang ayah jadi jarang di rumah. Katanya karena usaha barunya memang di luar kota.

Aku pun disuruh ayah kuliah. Tak tanggung - tanggung, di luar negeri dan aku memilih Jepang. Entahlah ada yang aneh menurutku dengan ayah. Kata ibu, ayah sekarang punya usaha baru, bukan lagi karyawan biasa. Tapi ketika aku minta penjelasan ayah, jawabnya :

"Sudah, nggak usah di pikir. Tugasmu, selesaikan kuliah secepatnya supaya bisa segera bantu ayah."

Jadi aku pun diam dan tak mau tahu lagi urusan ayah. Yang terpenting, masa depanku kini terbentang luas. Aku pun resmi menjadi mahasiswa dan pekerja paruh waktu di salah satu restoran siap saji di Jepang tepatnya di kota Katsura, Kyoto.

Lambat laun, bayangan Syahdu dan rencana menikahinya memudar. Sampai sejauh ini tak ada khabar buruk dari Wonogiri tentang Syahdu. Jadi kuanggap semuanya baik - baik saja. Aku aman dan bebas.

2 tahun kemudian

Di Jepang, Aku pun mulai dekat dan akhirnya menjalin hubungan istimewa dengan teman satu kampus asal Indonesia tapi beda jurusan. Aku ambil ekonomi, dia ambil Hubungan Internasional. Kami di pertemukan di salah satu organisasi di kampus. Arumi ... Tidak secantik Syahdu, tapi di mataku dia istimewa. Dan atas pengalaman pahitku dengan syahdu, kali ini aku menjaga kesucian hubunganku dengan Arumi.

Lebaran tahun ini, aku dan Arumi memutuskan pulang ke Indonesia untuk menghalalkan hubungan kami. Walaupun belum lulus kuliah, tapi atas kesepakatan kami dengan orang tua masing-masing, biaya kuliah tetap di tanggung orang tua sedangkan untuk kehidupan sehari - hari kami berusaha mandiri.

Karena rumah Arumi yang di Yogyakarta, orangtuaku memutuskan untuk berlebaran di rumah embah Wonogiri sekaligus persiapan sampai hari H pernikahanku yang akan dilaksanakan di Yogyakarta.

Semalaman kami menikmati perjalanan Bekasi - Wonogiri yang kukemudikan gantian dengan kakak sepupu karena ayah masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan jadi tidak bisa berangkat bersama kami. Nanti mau menyusul naik pesawat saja. Kami pun akhirnya sampai.

Hatiku berdesir ketika kaki ini menapak di halaman rumah embah, lalu memasuki kamar ini ... wajah perempuan itu kembali hadir dan masa lalu itu kembali mengusik.

Dan di balik jendela jeruji kayu ruang tengah ini, kembali menatap kerumunan anak tapi tak ada perempuan itu.

"Mbah, kok tumben wong edan itu nggak kelihatan main sama anak-anak?" tanyaku penasaran pada embah yang menemaniku.

"Syahdu, Le?"

"Iya, Mbah."

"Miris ceritane, Le," ucap Mbah Putri terlihat sedih yang membuat jantungku berdebar kencang.

"Kenapa Syahdu, Mbah?" tanyaku kuatir.

"2 tahun kepungkur ( 2 tahun yang lalu), Syahdu tau tau meteng ( hamil). Nggak diketahui siapa yang menghamili. Setiap ditanya Syahdu hanya geleng - geleng," kata - kata Mbah Putri seperti petir yang menggelegar.

"Syahdu ... "

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Kata mbah putri seperti petir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status