#BUNGA_ILALANG
#Part3_Rahasia"Syahdu, apa - apaan kamu. Lepaskan dia!" Seorang laki - laki berumur 40 tahun yang masih kelihatan gagah dan kupanggil Ayah itu sudah berdiri di depan pintu rumah berteriak dengan wajah garang.Tapi Syahdu tak peduli dengan teriakan itu, tangannya justru semakin kencang melingkar di perutku seakan tak mau terlepas."Syahdu, lepas dulu," lirihku di telinganya dan dia hanya menggeleng-gelengkan kepala yang membuat Ayah semakin naik pitam kemudian menghampiri kami."Dasar perempuan gila!" teriak Ayah sambil menarik paksa tubuh Syahdu hingga meronta kesakitan lalu menampar pipi Syahdu bertubi-tubi.Syahdu menangis histeris dengan wajah terlihat memendam amarah dan dendam. Sepertinya Ayah sering melakukan itu pada Syahdu. Dia berusaha melawan sambil berteriak - teriak tapi Ayah mencekal lengan Syahdu dengan erat membuatnya tidak bisa berkutik."Hentikan, Yah! Apa ini yang sering Ayah lakukan pada perempuan ini?! 20 tahun aku menjadi anak Ayah, baru sekarang tahu sifat asli Ayah!"Dadaku bergemuruh melihat pemandangan itu. Tidak terima dan tidak rela, Syahdu diperlakukan kasar. Seandainya dia bukan ayahku sudah kutonjok mukanya berkali - kali. Tapi sebuah takdir memaksaku harus menahan emosi."Perempuan ini gila, Banyu! Dia tidak bisa dikasih tahu dengan kata-kata, harus dengan tangan! Kamu lihat sendiri, memeluk laki-laki yang tidak dia kenal, apa itu namanya kalau bukan gila!""Sekarang Banyu tanya, Yah. Siapa perempuan ini? Istri simpanan Ayah?""Itu bukan urusanmu! Darimana kamu tahu rumah ini?""Sepintar apapun menyimpan kebusukan pasti akan tercium juga, Yah!" caciku getir, yang sebenarnya cacian untukku juga."Kenapa Ayah tega mengkhianati Ibu? Ini kan alasan Ayah jarang pulang ke rumah. Dan Banyu juga tidak yakin Ayah tulus memperistri perempuan yang Ayah anggap gila ini! Ayah hanya ingin harta dan tubuhnya, kan?""Jaga mulutmu, Banyu! Kamu tidak usah ikut campur urusan Ayah. Pulang kamu! Tinggalkan tempat ini! Dan ingat jangan bicara apapun pada Ibumu kalau tidak mau penyakit jantung ibumu kambuh!""Banyu menyesal menjadi anak Ayah!""Pergi kamu anak durhaka!"Rasa muakku pada Ayah membuatku ingin segera beranjak dari tempat ini. Tapi melihat Syahdu, ada rasa tidak tega meninggalkannya. Apalagi melihat pipinya yang penuh lebam, sorot matanya yang meredup tak seceria dulu seolah menyimpan banyak luka di hatinya. Seandainya bisa akan kubawa dia.""Apa yang kamu tunggu, Banyu?! Tinggalkan tempat ini!" teriak Ayah melihatku masih mematung di halaman.Baru saja kakiku melangkah pergi, suara teriakan Syahdu yang melengking pilu, menghentikan langkahku."Jangan tinggalkan aku! Aku mau ikuuuut! Tunggu! Aku ikut!" Syahdu meronta dari pegangan Ayah, berteriak dengan tangis yang membuat hatiku tergetar, perih.Dengan tenaga yang entah darimana, akhirnya Syahdu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Ayah lalu berlari ke arahku, memelukku lagi."Jangan tinggalkan aku, Mas." Dadaku berdesir. Pertama kali dia memanggilku Mas. Baru menyadari bahwa dia tidak pernah tahu namaku."Banyu, namaku Banyu, Syahdu," bisikku pelan di telinganya. Dan ternyata dia bisa mencernanya."Mas Banyu ... Tolong bawa aku. Aku nggak mau di sini! Aku nggak mau dengan dia! Aku mau pulang! Aku mau ketemu Bapak! Bapaaak!" tangisnya yang mulai parau kembali melengking.Namun tiba-tiba sekali lagi Ayah menarik paksa lengan Syahdu dan menyeretnya menjauhiku."Lepaskan! Aku mau ikut Mas Banyu!" Sekeras apapun Syahdu meronta, tak menghentikan tarikan tangan Ayah, terus saja menyeretnya masuk ke rumah seperti menyeret seekor kambing, sangat biadab.Dadaku yang sudah disulut api amarah, tapi aku hanya bisa terpaku dengan hati membeku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mengungkap kejujuran aku tak sanggup, tapi melihat penderitaan Syahdu, apa aku sanggup menjalani kehidupanku selanjutnya dengan normal.Apa yang terjadi dengannya, itu karena perbuatanku. Dan aku harus menebusnya. Aku harus membebaskan Syahdu dari penderitaan. Tapi bagaimana caranya? Bagaimanapun memang Ayah yang lebih berhak atas Syahdu. Sebuah kenyataan bahwa Syahdu adalah ibu tiriku. Dan statusku yang sudah menikah, membuat posisiku sangat sulit untuk menolong Syahdu.Suara tangis seorang anak perempuan, seketika menyadarkanku akan keberadaannya. Anakku ... Itukah anakku? Seorang gadis kecil yang cantik jelita persis ibunya. Tapi rambut lurus dan bentuk hidungnya itu punyaku. Ingin mendekati dan menciumnya, tapi teriakan Ayah menghentikan langkahku."Mbok Nah! Bawa Dinda masuk!" Dan seorang perempuan tua bergegas menggendong anakku masuk ke rumah.Tapi wajah cantik dan mata polosnya sudah terekam dan tersimpan manis di hatiku memberiku semangat untuk memperjuangkannya dan ibunya, entah bagaimana caranya.Sayup-sayup masih terdengar suara tangis Syahdu dari dalam rumah yang sudah tertutup rapat. Dan namaku masih terdengar jelas disela-sela tangis Syahdu, membuatku berat untuk beranjak. Tapi tak ada yang bisa kulakukan di sini, hanya menambah rasa pilu.Sampai di rumah, Ibu dan Arumi ternyata sudah menungguku dengan wajah cemas."Gimana, Banyu?""Apanya, Bu?""Ayahmu. Benar dia punya rumah lain? benar dia punya wanita simpanan?" cerca Ibu tanpa jeda."Tenang dulu, Bu. Iya benar Ayah punya rumah di Jonggol. Tapi tidak benar ayah punya wanita simpanan. Rumah itu di kontrakkan. Nggak ada Ayah di sana," paparku menyembunyikan kebenaran bukan karena aku membenarkan perbuatan Ayah tapi lebih pada untuk kebaikan semua, maafkan aku, Bu.Terlihat wajah Ibu yang berseri lagi. "Alhamdulillah, Ibu lega, Banyu. Ibu tadi sudah berpikir yang tidak-tidak dengan keluarga ini, entah apa Ibu sanggup menghadapinya.Lain Ibu lain Arumi. Di kamar Arumi terus saja menjejaliku pertanyaan seolah dia tidak percaya ceritaku."Kok menurutku ada yang aneh dengan penjelasanku ke Ibu tadi, Mas.""Aneh yang mana?""Tadi pagi kurir yang ke sini bilang lemari itu di pesan anak buahnya Ayah atas nama Ayah. Masak Ayah beliin yang ngontrak lemari.""Mungkin yang ngontrak ada hubungan dengan anak buah Ayah. Sudahlah, Rum. Jangan di bikin pusing.""Mas cerita ke aku. Kita kan sudah menikah, sudah jadi satu bukan dua lagi. Nggak boleh ada yang dirahasiakan.""Nggak ada yang dirahasiakan, Rum. Sudah tidur! Sudah malem. Malam ini libur dulu ya, capek!" ucapku dengan mengerlingkan mata ke Arumi tapi mulutnya malah manyun lalu membalikkan badan membelakangiku.Membayangkan penderitaan Syahdu, membuatku kehilangan nafsu. Apalagi kalau ingat apa yang kudapat selama ini ternyata Ayah dapatkan dengan cara merampas kebahagiaan Syahdu. Biaya kuliahku, rumah ini dan secara tidak langsung Arumi juga ... Sangat memalukan dan miris ... Ternyata kebahagiaanku di atas penderitaan Syahdu.Sudah tengah malam, mataku belum juga terpejam. Lamat-lamat kudengar suara mobil memasuki halaman. Pasti Ayah. Mengingat kejadian tadi siang, rasanya sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada Ayah. Entah, apa aku masih bisa bersikap biasa seperti sebelumnya.Pagi hari setelah sholat Subuh sengaja aku pergi dari rumah untuk menghindari ketemu dengan Ayah."Rum, aku ada janji sama teman di Jakarta, ada sesuatu yang harus kuselesaikan sebelum kita berangkat ke Jepang. Pamitin pada Ibu nanti ya Mungkin aku pulang sorean.""Berangkat sepagi ini, Mas? Masih gelap gulita.""Iya, menghindari kemacetan. Tahu sendiri kalau jam kerja Jakarta macetnya kayak apa.""Ya sudah, Mas. Hati-hati ya. Nggak sarapan dulu? Kusiapin ya.""Nggak usah, Rum. Aku pengin cepat selesai urusannya biar kita bisa berangkat dengan tenang.""Iya, Mas. Semoga dimudahkan ya, Mas.""Aamiin. Makasih, Rum," ucapku malu harus membohongi istri lalu kukecup keningnya untuk sedikit menebus rasa bersalah.Kulajukan mobilku tapi tidak ke arah Jakarta. Jalanan masih lengang, tidak sampai dua jam aku sudah sampai di rumah ini lagi. Suasana yang sangat sejuk dengan sedikit kabut dan hawa dingin yang menusuk kulit. Terlihat perempuan tua kemarin yang kalau tidak salah namanya Mbok Nah sedang menyapu halaman yang banyak daun pohon rambutan."Assalamu'alaikum, permisi.""W*'alaikumsalam. Eh ini kan Mas yang kemarin?""Iya, Mbok. Masih inget ya.""Saya sahabatnya Syahdu. Syahdu nya sudah bangun, Mbok.""Sudah, Mas. Tapi sepertinya menemani tidur Neng Dinda lagi. Sebentar ya saya bangunin.""Eh, nggak usah Mbok. Biarin. Saya pengin ngobrol dengan Mbok Nah, kira-kira mengganggu nggak ya, sambil nunggu Syahdu bangun.""Nggak, Mas. Hayo sambil nemenin Mbok Nah masak.""Wah, makasih, Mbok."Untuk pertama kalinya aku masuk ke rumah yang lumayan luas ini tapi tidak sebesar rumahku. Interior yang sederhana dengan barang-barang yang terkesan simpel. Begitu pun dapur, penataannya terkesan kuno kurang sentuhan nyonya rumah. Pasti Mbok Nah yang full ngatur perdapuran. Tapi yang terpenting dapur ini bersih.Sambil melihat Mbok Nah meracik, aku mulai mengorek masa lalu Syahdu dan bapaknya."Mbok Nah sudah lama kerja di sini?""Saya ini pengasuhnya Mbak Syahdu dari dia lahir dan kehilangan ibunya, Mas." Aku terperangah, itu berarti dia bekerja di rumah Syahdu sudah 20 tahun."Berarti setelah Syahdu menikah, Mbok Nah langsung ikut Syahdu ke sini ya, Mbok?""Nggak, Mas. Saya diajak Pak Guruh kesini setelah Pak Broto, bapaknya Mbak Syahdu meninggal. Sepertinya Pak Guruh ketakutan kalau saya tetap di kampung akan membocorkan rahasia besarnya pada penduduk desa.""Rahasia apa, Mbok?"Bunga Ilalang Part 4_ Masa lalu Kusruput teh hangat yang baru saja disuguhkan Mbok Nah sambil mencomot pisang goreng, menemani Mbok Nah yang mulai memotong-motong sayuran di meja berhadapan denganku. "Rahasia apa ya, Mbok?" Aku mengulang pertanyaanku dengan dada berdebar."Saya percaya dengan Mas ... " "Banyu, Mbok.""Iya, ... Mas Banyu. Kalau saat ini saya begitu percaya Mas Banyu dan sampai menyuruh sampeyan masuk ke rumah ini, itu karena saya kemarin melihat Mbak Syahdu memeluk Mas Banyu. Sebelumnya Mbak Syahdu tidak pernah tiba-tiba memeluk orang yang tidak dikenal. Meskipun orang menganggapnya gila, tapi sebenarnya dia tidak gila. Jadi saya yakin Mbak Syahdu kenal Mas Banyu, kalian pasti dekat. Dan saya punya harapan Mas Banyu bisa menolong Mbak Syahdu," tutur Mbok Nah dengan mata berkaca-kaca."Iya, Mbok. Saya sebenarnya putra dari Pak Guntur. Cucu Mbah Sinem. Pasti Mbok Nah kenal kan dengan embah saya?""O ... Iya. Tentu saja Mbok Nah kenal. Jadi Mas Banyu ini putra Pak G
"Dua bulan berlalu, Alhamdulillah ibunya Mbak Syahdu tidak hamil, kesehatan jiwanya berangsur membaik dan akhirnya bersedia menikah dengan bapaknya Mbak Syahdu." Plong ... lega rasanya mendengar penjelasan Mbok Nah, Alhamdulillah aku tidak bersaudara dengan Syahdu."Lalu, Mbok?""2 tahun setelah pernikahan mereka, lahirlah Mbak Syahdu. Tapi malang, Ibunya Mbak Syahdu harus meninggal pas melahirkan karena pendarahan hebat. Mbak Syahdu pun sempat kekurangan oksigen tapi Alhamdulillah selamat. Bapaknya Mbak Syahdu akhirnya merawat putrinya seorang diri. Masa kecil Mbak Syahdu memang sudah terlihat beda dari anak lain. Dia terlambat bisa jalan dan mengucapkan kata. Ketika menginjak remaja, badannya saja yang sudah terlihat orang dewasa tapi pikiran dan sikapnya masih kayak anak kecil."Memangnya Syahdu tidak sekolah, Mbok?""Sekolah, Mas. Tapi dari SD juga sudah kesulitan dalam membaca dan menulis. Waktu kelas 1 SMP, dia sering berontak di kelas. Berteriak-teriak. Pusing katanya. Nggak n
"Atas permintaan Pak Guntur, pernikahan itu harus dilakukan diam-diam. Sekedar ijab qobul saja di rumah. Pernikahan mereka hanya pernikahan siri mengingat status Pak Guntur yang sudah beristri. Dan Pak Guntur juga meminta identitasnya disembunyikan. Setelah Ijab, Mbak Syahdu langsung dibawa ke sini. Masih ingat bagaimana Mbak Syahdu menangis histeris harus berpisah dengan bapaknya. Tapi Pak Fajar tidak bisa berbuat apa-apa karena setelah menikah, Pak Guntur memang lebih berhak atas Mbak Syahdu.Sepeninggal Mbak Syahdu, Pak Fajar jadi sakit-sakitan, Mas. Selain karena kehilangan Mbak Syahdu, Pak Fajar juga tertekan dengan perlakuan Pak Guntur yang terus-nenerus menuntut haknya atas perkebunan dan pabrik mete. Tapi Pak Fajar tetap berusaha mempertahankan miliknya itu. Sampai suatu hari, Pak Guntur datang sendiri tanpa Mbak Syahdu ke rumah Pak Fajar, menengok Pak Fajar yang sedang sakit. Di kamar, Simbok sempat mendengar mereka bersitegang. Sepertinya Pak Guntur memaksa Pak Fajar untu
Turun dari kereta mini, Syahdu masih merengek-rengek menagih janjiku untuk mengajaknya bermain yang tidak-tidak. Membuat jantungku berdebar tak karuan dan aliran darahku berdesir cepat. Kenapa rengekan perempuan nggak normal sanggup menggugah syahwatku. "Ayo, Mas. Katanya tadi mau ngajak main kayak dulu," rengek Syahdu dan aku pun hanya bisa menelan ludah sambil berkali-kali beristighfar, menguatkan diri.Bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya tapi aku harus berusaha menjelaskan dengan bahasa anak-anak dalam perjalanan kami ke danau."Nggak boleh, Syahdu. Permainan itu hanya boleh dilakukan kalau sudah menikah.""Menikah? Menikah itu bagaimana?""Menikah itu seperti Syahdu dan Pak Guntur," jawabku singkat."Nggak mau! Syahdu nggak mau menikah! Gara-gara menikah, Syahdu sering dipukul, ditampar, ditendang. Sakit tau, Mas,"celoteh Syahdu sambil sibuk mempraktekkan ucapannya, tangannya menampar pipinya sendiri, kaki menendang tanah dengan wajah memendam amarah."Syahdu punya salah
"Kemana kamu, Syahdu?" Ditengah kekalutanku tiba-tiba petugas keamanan mengabariku."Mas, ada gadis yang yang menggendong anak kecil sedang berteriak-teriak memanggil Mas Banyu.""Iya, Pak. Itu Syahdu. Dimana, Pak?""Di tempat pemberhentian kereta di dekat pintu masuk."Buru-buru aku dengan diantar petugas keamanan menuju tempat yang di maksud. Terlihat Syahdu duduk di dekat loket sambil mendekap Dinda dengan wajah kelelahan dan ketakutan. Melihatku, buru-buru dia menghambur ke pelukanku dan menangis sesenggukan."Kenapa kamu tinggalin Mas Banyu? Kan Mas Banyu sudah pesan, jangan kemana-mana!" "Tadi Syahdu kebelet pipis jadi Syahdu nyari kamar mandi. Tapi nggak ketemu jadinya Syahdu ngompol, Mas. Lalu ada kereta berhenti, Syahdu naik aja. Syahdu takut. Syahdu nggak ketemu Mas Banyu," jelasnya kemudian menangis lagi. "Sudah, diam nangisnya. Kan sudah ketemu Mas Banyu sekarang. Ayo pulang, ya. Sampai sudah sore begini. Kamu lapar kan? Kita sampai belum makan siang gara-gara kamu hilan
"Syahdu, kenapa kamu tidur di sini?" tanyaku penuh selidik pada Syahdu yang juga terduduk kebingungan karena nyawanya belum pulih tapi Ayah menarik lengannya lalu berkali-kali menampar pipi Syahdu."Hentikan, Yah! Ini tidak seperti yang Ayah lihat. Ayah telah salah sangka. Ayah lihat kan kami masih berpakaian utuh. Kami tidak melakukan apa-apa, Yah. Aku jamin itu.""Dasar, anak tak tahu diuntung! Jadi dari kemarin kamu seharian tidak di rumah bahkan tidak pulang itu karena kamu di sini, Banyu?! Apa maumu? Kamu menyukai Syahdu? Jawab Banyu!""Ayah yang harus menjawab pertanyaan Banyu! Apa yang sudah Ayah lakukan pada Bapaknya Syahdu?!""Apa maksudmu?" Terlihat wajah Ayah yang tiba-tiba pucat ketakutan."Banyu sangat menyesal, Ayah sudah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta! Sampai harus membunuh bapaknya Syahdu!""Lancang mulutmu, Banyu! Ayah mulai mengangkat tangannya mau menamparku lagi tapi kucekal lengannya."Benar kan, Yah?" "Siapa yang mencekoki kamu dengan fitnah it
Ternyata itulah pertemuan terakhirku dengan Ayah. Di hadapanku dan karenaku Ayah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit. Kebencianku pada Ayah yang berapi-api seketika luntur. Pada kenyataannya aku tetap merasa kehilangan. Ada rasa sedih yang mendalam, rasa bersalah dan menyesal."Maafkan Banyu, Yah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ayah."Dan Ibu yang terlihat begitu shock. Menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Bahkan Ibu sama sekali tak menyadari keberadaan Syahdu dan Dinda di antara kami. Syahdu yang begitu terpuruk, menangis tanpa jeda. Bukan karena kepergian Ayah tapi karena kehilangan Mbok Nah, sosok yang sudah dianggap Syahdu seperti seorang ibu. Entah kemana Mbok Nah pergi. Aku sudah tidak punya waktu untuk mencarinya karena harus mengurus Ayah. Dengan terpaksa Syahdu dan Dinda akhirnya kubawa pulang ke rumah tanpa tahu, bagaimana aku akan menjelaskan pada Ibu dan Arumi."Siapa perempuan dan anak ini, Mas?" Cerca Arumi menatap curiga Syahdu yang
"Jangan sekarang ya, Rum. Kita masih dalam suasana berduka. Tapi aku janji nanti akan aku ceritakan semua padamu dan Ibu.""Kami ingin penjelasan sekarang juga, Mas Banyu! Iya kan, Bu?""Iya, Banyu, jelaskan sekarang! Siapa dia?""Dia ... Dia istri Ayah," jawabku yang membuat Arumi dan Ibu tersentak kaget."Apa maksudmu, Banyu? Kamu bercanda, kan?""Tidak, Bu. Dia memang istri simpanan Ayah." Ibu menangis dan berteriak histeris."Tega kamu, Yah. Biadab! Suami tak tahu di untung! Pengkhianat!""Sudah, Bu. Maafkan Ayah. Ayah sudah tidak bersama kita lagi. Setiap manusia pernah melakukan khilaf. Kita maafkan Ayah ya, Bu, supaya Ayah tenang di sana." Kubiarkan Ibu menangis sepuasnya di pelukanku."Kenapa Ayahmu tega membohongi Ibu, mengkhianati Ibu, Banyu? Ibu pikir Ayah suami baik-baik. Tapi ternyata ... Jadi ini alasan Ayah jarang di rumah. Kenapa Ibu tidak menyadarinya sama sekali. Ibu kembali menangis sambil memukul-mukul dadaku meluapkan kemarahannya pada orang yang sudah tidak ada.