Bunga ilalang Part 27_ Gila"Banyu, tolong! Ini Arumi mengamuk!" Teriak Ibu dari lantai atas.Mas Banyu yang sedang menyuapiku bubur, buru-buru meletakkan mangkok, "Sebentar ya, Syahdu," lalu tergopoh gopoh ke lantai atas.Sejak aku hamil dan nggak bisa masuk nasi, Mas Banyu telaten menyuapiku bubur sedikit demi sedikit supaya aku nggak muntah. Mas Banyu juga sangat memanjakanku. Tak boleh menyentuh pekerjaan rumah sedikitpun. Aku cuma disuruh tiduran terus. Bahkan Dinda pun dicarikan pengasuh. Setiap pulang kerja Mas Banyu juga langsung ke kamarku. Samar-samar kudengar suara Mbak Arumi berteriak teriak dan suara barang-barang yang berjatuhan seperti dilempar. Entah apa yang terjadi dengannya. Memang beberapa hari belakangan ini, Mbak Arumi terlihat aneh. Sering duduk diam dengan penampilan berantakan, rambut acak acakan. Bahkan setiap melihat Mas Banyu bersamaku yang biasanya marah tapi akhir-akhir ini hanya diam. Kupikir Mbak Arumi memang sudah berubah jadi orang baik.Lagi, terd
"Papaaaaaa!" Jeritku lalu spontan memeluk papanya Mas Adit tanpa sungkan karena haru dan bahagia.Papa terlihat kaget tapi akhirnya memelukku sambil mengelus rambutku seolah aku mendapatkan kasih sayang seorang bapak lagi."Ini, Pa, istrinya Adit?" tanya seorang laki-laki di samping Papa dan Papa hanya menjawab dengan mengangguk."Papa, Mas Adit mana? Ini siapa, Pa? Kok wajahnya mirip Mas Adit.""Ini Mas Yoga, Syahdu, kakaknya Adit.""Terus Mas Adit mana?""Kamu dan Dinda baik-baik saja, Syahdu?" Aku mengangguk."Papa, Mas Adit! Mas Adit mana?" Kupegang kedua lengan Papa dan kugoyang goyang badannya berharap mendapat jawaban."Sebentar, Syahdu, Papa ada urusan dengan suami palsumu itu dulu." "Apa maksud anda menyebutku dengan suami palsu? Anda hanya tamu di sini jadi jaga ucapan Anda!" "Lalu apa sebutan yang pantas untuk anda yang mencuri istri orang?! Anda juga tahu, kan? Syahdu ini masih sah istri anak saya, Adit! Lalu kenapa anda nekat menikahinya, Tuan Banyu?!" tanya Papa berap
"Mas Adit! Papa! Mama! ... Syahdu pulang!" Aku berdiri di depan pintu memanggil mereka tapi tak ada sahutan, aku masuk saja ke dalam karena kebetulan pintu terbuka.Dinda pun ternyata masih kenal dengan rumah ini. Langsung minta turun dari gendongan Mas Banyu lalu manggil-manggil Mas Adit."Papa Dit! Papa Dit! Eyang!" Kugamit tangan Dinda sedangkan Mas Banyu menunggu di teras, nggak mau kuajak masuk."Mas Adit! Papa! Mama! Ini Syahdu pulang!" Aku terus berjalan menyusuri ruang demi ruang dan sampai di taman belakang aku melihat punggung seorang lelaki yang duduk di kursi tapi ada rodanya dan seorang wanita yang memakai kerudung di sampingnya.Mereka terlihat akrab, si wanita menyuapi si lelaki. Kakiku semakin mendekat pada mereka. "Mas Adit mana? Mama mana? Papa mana?" Tanyaku pada mereka"Mereka menoleh ke arahku, mataku membulat, tersentak, "Mas Adiiiiit!"Aku dan Dinda berlari memeluk Mas Adit, "Mas Adit, Syahdu kangen. Kenapa Mas Adit ninggalin Syahdu di Stasiun? Jangan tinggalin
Sesampai di rumah Embah, aku berlari ke kamar. Kuhempaskan tubuh ke ranjang, menangis tersedu sedu, meluapkan segala perasaan yang aku juga tak mengerti. Baru kali ini aku merasakan."Syahdu, kamu itu kenapa? Semua permintaanmu sudah Mas Banyu turuti. Kita pulang kampung, kamu ketemu Adit, tapi masih saja kamu sedih begini." Mas Banyu mengusap kepalaku yang membelakanginya."Terima kenyataan Syahdu. Kamu ditakdirkan untukku. Dan Adit ditakdirkan untuk perempuan itu. Mulai detik ini lupakan Adit. Kita tutup lembaran lama, kita mulai rumah tangga kita dengan lembaran baru, fokus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran buah hati kita."Lalu dia berbaring di sampingku, lengannya melingkar erat memelukku, "Mas Banyu kangen kamu yang dulu, Syahdu. Yang tatapan polosnya hanya untuk Mas Banyu. Kamu ingat, Syahdu, dikamar ini pertama kali, tubuh kita menyatu, dan akhirnya mengikat erat jiwa kita. Kamu satu satunya perempuan di hati Mas Banyu dan Mas Banyu juga yakin saat itu Mas Banyu
Sepeninggal Mas Adit, Mas Banyu memapahku masuk ke dalam. Rasa sedih dan campur aduk, entah apa namanya, membuatku tak punya gairah untuk melakukan apapun. Bahkan makan pun juga malas. Kubaringkan tubuh di kursi panjang ruang tamu setelah kutolak ajakan Mas Banyu untuk makan. Sedangkan Dinda main sama Embah di teras rumah. Baru saja terlelap sebentar, Mas Banyu sudah duduk di kursi panjang tempatku berbaring lalu menaruh kepalaku di pangkuannya sambil tangannya mengusap rambutku dan tangan yang satu mengusap usap perut buncitku."Perutmu baik-baik saja kan, Syahdu? Sudah nggak kenceng lagi, kan?""Sedikit," jawabku."Makanya kamu jangan banyak pikiran biar nggak ngaruh ke anak kita ini, Syahdu. Dia bisa merasakan lho kalau Mamanya sedih." Mas Banyu terus mengusap lembut perutku."Le, nggak jadi ke pasar beli oleh-oleh?" teriak Simbah dari teras."Nggak, Mbah, Banyu nggak jadi pulang Bekasi besok. Nggak tega, Mbah, ninggalin Syahdu di sini dalam keadaan begini.""Memangnya kenapa lag
Bunga ilalang Part 31_Tak sayang lagi. (1)"Kalian saling kenal?" Papa tampak mengernyitkan dahi sambil menatap Mas Banyu dan perempuan itu bergantian."Ratna ini adalah salah satu karyawan saya, Pak," jawab Mas Banyu dengan wajah panik."Kenapa bisa kebetulan ya, Pak Banyu. Saat itu Mbak Ratna ini juga ada di stasiun dan menolong Adit. Mbak Ratna ini pulalah yang membawa Adit ke rumah sakit, juga yang menghubungi dokter jiwa itu. Apa mungkin keberadaan Mbak Ratna di stasiun ada hubungannya dengan Anda, Pak Banyu?""Iya. Karena memang saya menyuruh Ratna untuk menjemput saya di Stasiun. Maaf, Pak, saya permisi dulu. Mau kembali ke Bekasi sore ini juga.""Nggak mau! Syahdu nggak mau pulang ke Bekasi! Syahdu mau di sini!" teriakku."Kenapa buru-buru, Pak Banyu? Apa anda takut sesuatu?""Saya tidak takut apapun, Pak! Saya hanya takut ketinggalan pesawat. Ayo, Syahdu, buruan!" Mas Banyu lalu menarik tanganku dengan cepat yang membuatku terhuyung huyung."Pelan-pelan, Mas Banyu. Syahdu ca
nggak mau kembali ke Bekasi!""Syahdu, pekerjaan Mas Banyu bisa terbengkalai kalau kelamaan di sini.""Pokonya Syahdu nggak mau pulang ke Bekasi!""Sudah, biarin Syahdu di sini, Banyu. Kamu kalau mau pulang ke Bekasi dulu, pulanglah. Urusin pekerjaanmu. Minggu depan kamu jemput lagi. Kasihan, Syahdu belum puas di kampung halaman," ujar Embah."Tapi, Mbah, nanti ngrepotin Embah, nggak?" tanya Mas Banyu."Nggak, Embah malah seneng ada temen.""Syahdu, beneran kamu mau disini dulu?" Aku mengangguk."Ya, sudah, besok Mas Banyu tinggal dulu ya. Minggu depan Mas Banyu jemput."Setelah mandi, aku menyuapi Dinda di halaman depan di bawah pohon mangga. Melihat anak-anak yang sedang bermain, entahlah aku sudah tidak ingin lagi ikut main walaupun mereka membujukku. Aku ingin menjadi wanita dewasa seperti wanita itu, wanita yang sudah merebut Mas Adit.Sejetika mataku mengerjap ketika melihat wanita yang baru saja ada di pikiranku berjalan di jalanan depan rumah sambil mendorong kursi roda."Mas A
"Iya, Pak. 5 bulan jalan 6. Tentu saja tidak, Pak. Saya melihat dari ukuran dan bentuk janinnya. Memang perut Bu Syahdu terbilang kecil untuk umur kehamilan segitu. Tapi dari hasil USG, keadaan janin bagus, Pak. Sehat. Ukuran dan bentuknya juga normal. Sudah sesuai dengan umur kehamilan 22 Minggu.""Ini tidak mungkin.""Apanya yang tidak mungkin, Pak Banyu?""O, maaf, Dok, tidak apa-apa.""Baik, ini Bu Syahdu saya kasih obat penguat janin dan vitamin. Tidak perlu dirawat. Setelah cairan infus habis, bisa pulang sekarang juga hanya saja perlu bedrest beberapa hari dulu ya, Pak." Mas Banyu mengangguk dengan wajah sedih."Bu Syahdu, banyak istirahat ya, tiduran dulu, jangan banyak jalan, jangan melakukan aktifitas dulu apalagi aktifitas berat. Jangan lupa diminum obatnya.""Iya, Dok."Setelah cairan infus habis, pagi buta kami pun pulang. Selama perjalanan Mas Banyu hanya diam. Wajahnya seperti tegang dan diliputi kesedihan. Tak ada lagi ciuman dan usapan di perutku seperti waktu berang